Pengertian Ikrah dan Dharurah
Monday, 22 August 2016
SUDUT HUKUM | Secara leksikal
(bahasa) ikrah berarti memaksa.[1] Secara
terminologis, terdapat beberapa pendapat yang berbeda tentang pengertian ikrah
seperti dibawah ini:
Abdul Qadir Audah memberikan
pengertian ikrah sebagai berikut:
Suatu perbuatan yang ditimbulkan dari pemaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dituntut (oleh pemaksa) darinya”.[2]
Sedangkan
Muhammad Abu Zahrah adalah sebagai berikut:
menyuruh seseorang melakukan sesuatu yang dibencinya”[3]
Apabila kita
perhatikan dari beberapa pengertian tersebut di atas, maka yang berbeda hanya
dalam susunan kalimatnya, namun intinya sama yaitu suatu ancaman dari orang
yang memaksa terhadap orang yang dipaksa yang membuatnya harus melakukan suatu
perbuatan yang dipaksakan padanya. Paksaan biasanya disertai dengan ancaman
dapat berupa penyiksaan, ancaman pembunuhan, pemukulan, dan lain-lain.
Dharurat dapat
dipersamakan dengan ikrah. Perbedaanya hanya pada sebab timbulnya
perbuatan di mana dalam ikrah seseorang mendapatkan ancaman yang berasal
dari orang lain (manusia), sedang dalam dharurat seseorang tidak diancam
oleh orang lain melainkan ia mendapat dorongan dalam suatu keadaan yang
mengharuskan ia melakukan perbuatan yang terlarang.[4]
Dharurah menurut makna artinya
bahaya.[5] Secara
terminologis Muhammad Abu Zahrah memberikan pengertian dharurat sebagai:
Menghilangkan sesuatu yang diharamkan karena bias menyebabkan bahaya”[6]
Wahbah
al-Zuhaily mendefinisikan dharurat sebagai;
datangnya bahaya atau kesulitan (masaqqah) yang amat berat pada manusia yang membuat dia khawatir akan terjadinya mudarat atau sesuatu yang menyakitkan atas jiwa, anggota tubuh, akal, harta dan bertalian denganya."
Dari beberapa
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa dharurat adalah situasi yang
dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian atau mendekati kematian. Dengan kata
lain, pengertian tersebut mengarah kepada tujuan pemeliharaan jiwa (hifz
al-nafs). Wahbah Zuhaili menilai pengertian-pengertian tersebut kurang
lengkap, karena dharurat mencakup semua yang berakibat dibolehkannya
yang haram atau ditinggalkannya yang wajib. Maka ia menambahkan selain
memelihara jiwa, dharurat juga memelihara akal, kehormatan dan
memelihara harta.
[1]
Adib Bisri
dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999,
hlm.433.
[2]
Abdul
al-Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy Jilid I, Beirut:
Dar al-Kitab al- Arabi, tth, hlm. 563.
[3] Muhammad Abu Zahra, Ushul
al-Fiqh, Beirut: Daar al-Fikr al-’Araby, tt. hlm. 355
[4]
Ahmad
Hanafi, Asas-asas HukumPidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm.
364- 365.
[5] Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah,
Op.Cit, hlm. 633
[6]
Muhammad
Abu Zahrah, Op. Cit, hlm 43.