Batasan Al-Mashlahah
Sunday, 25 September 2016
SUDUT HUKUM | Maslahat dalam syariat Islam memiliki dhowabith (batasan)
yang harus dipenuhi untuk menentukan substansi mashlahat yang bersifat umum (kulli)
dan mengkaitkannya dengan dalil hukum tafshilinya. Sehingga ada
keterkain anatara aspek kulli dan aspek tafshilinya. Di samping
itu, juga agar maslahat itu mempunyai kekuatan hukum.[1]
Batasan ini sangat penting agar mashlahat yang dimaksud adalah
mashlahat yang dikehendaki oleh Allah SWT. Selaku pembuat dan sumber hukum agar
mashlahahtidak ditafsirkan secara liar dan tanpa batas, misalnya sesuatu
yang sebenarnya madharat dinamakan mashlahat.
Batasan-batasan mashlahat yang dimaksud adalah:[2]
- Batasan
Pertama: Mashlahat itu termasuk Bagian dari Maqashid Syariah
Mashlahat yang dimaksud harus salah satu bagian dari 5 (lima) unsur dalam
maqhasid syariah atau tujuan yang Allah Swt. Inginkan pada makhluknya yaitu
sebagai berikut:
- Memenuhi hajat agamanya
- Memenuhi hajat jiwanya
- Memenuhi hajat akalnya
- Memenuhi hajat keturunnya
- Memenuhi hajat hartanya

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa setiap perilaku yang bertujuan
untuk memenuhi kelima hajat itu adalah mashlahat dan sebaliknya setiap perilaku
yang menghilangkan kelima hajat tersebut itu adalah mafsadat. Karena mashlahat
adalah memenuhi tujuan Allah Swt yang ingin dicapai pada setiap makhluknya.
- Batasan Kedua: Tidak Bertentangan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.[3]
1. Tidak Bertentangan dengan Al-Qur’an
Setiap mashlahat harus menjadi bagian dari 5 (lima) maqhasid
syariah itu tidak cukup, tetapi harus dipastikan tidak bertentangan dengan nash
Al-Qur’an. Jika suatu mashlahat bertentangan dengan Al-Qur’an, maka
tidak bisa dikategorikan mashlahat dan mashlahat yang didasarkan
pad qiyas yang benar.
2.Tidak bertentangan dengan As-Sunnah
Seluruh ulama baik ulama masa sahabat, tabi’in dan imam madzab
telah konsensus ijmabahwa bahwa mashlahah yang tidak memiliki sandaran qiyas,
jika bertentangan dengan as-sunnah yang bersifat qot’i atau zhanni. Maka
mashlahat tersebuttidak berkekuatan hukum.
- Batasan Ketiga: Tidak bertentangan dengan Mashlahat yang lebih
besar[4]
Mashlahat menjadi berkekuatan hukum, jika tidak bertentangan dengan
mashlahat yang lebih besar. Jika terdapat mashlahat yang lebih besar, maka
mashlahat lebih kecil itu menjadi batal.
Setiap hukum fiqh tidak akan melahirkan mashlahat atau tidak
mengandung mashlahah kecuali jika mashlahah tersebut sesuai dengan hukum
tersebut. Dan mashlahah itu sesuai dengan hukum tersebut jika tidak
bertentangan dengan mashlahat yang lebih besar atau setara.
[1] Oni Sahroni, Adiwarman A. Karim, Maqashid Bisnis & Keuangan Islam Sintesis Fikih dan Ekonomi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), h.17
[2] Oni Sahroni, Adiwarman A. Karim, Maqashid , h.18
[3] Oni Sahroni, Adiwarman A. Karim, Maqashid, h.19
[4] Oni Sahroni, Adiwarman A. Karim, Maqashid, h.21