Hak-hak Mantan Istri
Friday, 9 September 2016
SUDUT HUKUM | Akibat hukum yang terjadi setelah
ikrar talak, yaitu hubungan antara suami istri putus. Selain itu, berdasarkan
Pasal 80 ayat (4) dan Pasal 149 huruf (a) dan (b), serta Pasal 150 huruf (a)
KHI, maka istri berhak untuk mendapatkan: nafkah selama ‘iddah, mut’ah
(kenang-kenangan), dan hak pemeliharaan anak (hadhanah) yang masih di
bawah umur.
Iddah bermakna perhitungan atau
sesuatu yang dihitung. Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haid atau
hari-hari suci pada wanita. Sedangkan secara istilah, iddah mengandung arti
masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya
perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan
untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.[1]
Seorang wanita yang sedang dalam
masa iddah wajib mendapat nafkah apabila perceraian itu dari suatu perkawinan
yang sah.Perceraian itu terjadi karena ditalak oleh suaminya atau oleh Hakim
karena kejahatan suami, atau perceraian itu terjadi karena fasakh dari pihak
suami atau dari pihak istri tetapi bukan karena suatu maksiat istri seperti
khiyar (fasakh) istri karena suami tidak mampu memberi nafkah sesudah mereka
campur (dukhul).[2]
Nafkah adalah semua kebutuhan dan
keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti: makanan, pakaian,
rumah, dan sebagainya. Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekadar
mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang
yang berkewajiban menurut kebiasaan masing-masing tempat. Sebab-sebab yang
mewajibkan nafkah, yaitu: keturunan, pernikahan, dan milik.
Firman Allah swt.:
Hendaklah orang yang mampu member nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah meberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.(QS. Ath-Thalaq:7)
Adapun hak-hak perempuan dalam
masa ‘iddah, yaitu:
1. Perempuan yang taat dalam ‘iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal
(rumah), pakaian, dan segala keperluan hidupnya, dari yang mentalaknya (bekas
suaminya); kecuali istri yang durhaka, maka ia tidak berhak menerima apa-apa.
Rasulullah saw. bersabda:
عن فاطم بنت ق س, قال رسو لَلله ص م : انما النفق والسكني للمرأة اذا كان لزوجها عل ها الرجع . )رواه أحمد والنسائ(
Dari Fatimah bin Qais, bersabda Rasulullah saw.: “Bahwasanya yang berhak mendapatkan jaminan nafkah dan tempat tinggal ialah wanita yang mantan suaminya masih berhak untuk rujuk kepadanya”. (HR. Ahmad dan Nasa’i)
2. Perempuan dalam ‘iddah ba’in yang tidak hamil, baik ba’in dengan talak tebus maupun dengan talak
tiga, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal, tidak yang lainnya. Namun,
sebagian ulama berpendapat bahwa ‘iddah
ba’in yang
tidak hamil, tidak berhak mendapatkan nafkah dan tidak pula tempat tinggal.
Sedangkan yang hamil, maka ia berhak juga atas kediaman, nafkah dan pakaian.
Hal tersebut sejalan dengan
firman Allah swt.:
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusui (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya dan musyawarahkanlah antara kamu (segala sesuatu) dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS. Ath-Thalaq: 6)
3. Perempuan yang dalam ‘iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama
sekali meskipun dia mengandung, karena dia dan anak yang dikandungnya telah
mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal tersebut.
Rasulullah saw. bersabda:
ل س للحامل المتوفي عنها زوجها نفق . )رواه الدارقطني(
Janda hamil yang kematian suaminya tidak berhak mendapatkan nafkah”. (HR. Daruquthni)
Selain nafkah iddah, istri juga
berhak mendapatkan mut’ah, yaitu suatu pemberian dari suami kepada istrinya
sewaktu dia menceraikannya. Pemberian ini diwajibkan atas laki-laki apabila
perceraian itu terjadi karena kehendak suami. Tetapi kalau perceraian itu atas
kehendak istri, maka pemberian itu tidak wajib.
Firman Allah swt.:
Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu telah menikah dengan perempuan-perempuan mukminah kemudian mereka itu kamu talak (padahal) kamu belum pernah menyentuhnya, maka sekali-kali mereka tidak wajib ber’iddah buatmu yang kamu minta untuk disempurnakannya.Akan tetapi berilah mereka itu mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan pelepasan yang baik”.(QS. Al-Ahzab: 49)
Zhahirnya firman Allah “akan tetapi berilah mereka itu mut’ah” itu menunjukkan
wajibnya mut’ah untuk perempuan
yang dicerai sebelum dicampuri, baik sudah ditentukan maharnya ataupun belum.
Ini diperkuat oleh firman Allah yang lain, yaitu:
Perempuan-perempuan yang dicerai itu berhak mendapatkan mata’ dengan wajar, sebagai suatu kewajiban atas orang-orang (suami-suami) yang bertaqwa”.(QS. Al-Baqarah: 241)
Menurut ayat kedua ini justru mut’ah itu ada pada setiap perempuan yang
ditalak. Namun dalam hal ini para ahli fiqh berbeda pendapat:
- Menurut Hasan Basri, mut’ah itu hukumnya wajib, baik untuk perempuan yang sudah ditentukan maharnya ataupun yang belum ditentukan.
- Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah serta Ibnu Abbas, mut’ah itu wajib untuk perempuan yang dicerai sebelum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Sedangkan untuk perempuan yang sudah ditentukan maharnya, maka mut’ah tersebut hukumnya sunnat.
- Menurut Malikiyah, mut’ah itu hukumnya sunnat secara mutlak, untuk semua perempuan yang dicerai.[3]
Mut’ah diberikan kepada perempuan
yang ditalak seperti yang dijelaskan di atas. Semua perempuan yang ditalak suaminya
harus ber-iddah kecuali istri yang ditalak sebelum dicampuri. Di antara fuqaha
yang tersebut di atas, berpendapat bahwa mut’ah itu diberikan kepada setiap
perempuan yang ditalak suaminya. Dengan demikian, tentulah pemberiannya itu
dilaksanakan pada waktu iddah, meskipun tidak ada larangan untuk memberikannya
sehabis masa iddah. Besar kecilnya mut’ah yang akan diberikan itu berbeda-beda
menurut kemampuan suami.[4]
Apabila suami istri bercerai,
sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum mumayyiz (belum mengerti
kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik dan
merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya atau biasa
disebut dengan hadhanah (hak mendidik dan merawat).[5] Dalam waktu itu
hendaklah anak tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah lagi dengan
orang lain. Meskipun anak tinggal bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib
ditanggung oleh bapaknya. Adapun syarat sah mantan istri yang berhak mengasuh
anak, yaitu:
- Berakal
- Merdeka
- Taat beragama
- Dapat menjaga kehormatan dirinya
- Dapat memegang amanah
- Mempunyai tempat tinggal
- Belum menikah lagi dengan laki-laki lain.
Apabila salah satu syarat tidak
terpenuhi, maka hak asuhnya dapat gugur dengan otomatis.[6]
Menurut pendapat Imam Malik, Imam
syafi’i dan Imam Hanafi, apabila perempuan tersebut telah menikah lagi dengan
laki-laki lain, maka “hak tersebut menjadi batal”. Bahkan menurut Ibn Al-Munzir
pendapat yang demikian merupakan ijma’ ulama. Namun, Al-Hasan Al-Basri dan Ibn
Hazm berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak gugur haknya.[7]
Apabila perempuan yang mengasuh
itu sudah tidak menjadi istri dari bapak anak itu atau sesudah tidak dalam
iddah raj’iyah, maka perempuan tersebut berhak untuk menerima upah atas jasa
yang sudah diberikan dalam mengasuh anak itu. Upahnya diambil dari harta anak
itu sendiri kalau dia mempunyai harta atau menjadi kewajiban bapaknya. Demikian
menurut madzhab Syafi’i, Hanbali dan Hanafi.[8]
[1] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sanpai KHI), (Jakarta: Prenada Media,
2004), h. 240
[2] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan
Islam (Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara
Islam), Op. Cit., h. 375
[3] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemahan
Tafsir Ayat Ahkam Ash-Ashabuni, Alih Bahasa: Mu‟ammal Hamidy dan Imron A.
Manan, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2008), h. 767-768
[4] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan
Islam (Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara
Islam), Op. Cit.,h. 385
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,
Op. Cit., h. 426
[6] Syaikh
Al-Qadhi Abu Syuja bin Ahmad Al-Ashfahani, Fiqh Sunnah Imam Syafi‟i (Pedoman
Amaliyah Muslim Sehari-hari), Tahqiq: Syaikh Mustafa
Dieb Al-Bigha, (Bandung: PADI, 2009), h. 249
[7] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan
Islam (Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara
Islam), Op. Cit., h. 401
[8] Ibid., h. 408