Hukum Talak Melalui Surat Menurut Pendapat Ibnu Hazm
Saturday, 24 September 2016
SUDUT HUKUM | Islam memberikan hak
kepada suami untuk menjatuhkan talak kepada istri, hal ini karena suami dianggap
lebih mampu dalam mengendalikan emosi. Imam ‘Allaudin al-Kasani berpendapat
bahwa talak adalah hak yang ditetapkan berada di tangan laki-laki, karena laki-laki
dianggap lebih sempurna akalnya dalam menghadapi masalah dalam keluarga dan lebih
sabar dalam menghadapi perangai istri.[1]

Ibnu Hazm berpendapat
bahwa talak hanya akan jatuh jika dilafadzkan langsung, adapun talak dalam
bentuk surat bukanlah talak sampai talak tersebut di lafadzkan. Hal ini berarti talak
melalui surat adalah tidak sah. Dalam al-Muhalla disampaikan:
Abu Muhammad berkata: Allah SWT telah bersabda: “talak (yang dapat dirujuki) dua kali”. Dan Allah SWT bersabda dalam firman-Nya yang lain: “maka talaklah istri-istrimu pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”. Dan tidak jatuh talak dalam bahasa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya apa yang disebuut talak dengan surat, sesungguhnya jatuh talak itu jika dilafadzkan dengan lafadz talak, maka yang benar sesungguhnya surat tidak menyebabkan jatuh talak sampai talak itu dilafadzkan, karena tidak diwajibkan dalam nash tersebut, dan semoga Allah memberikan taufiknya”.[3]
Dalam hubungannya
dengan talak, Ibnu Hazm bersumber pada:
1. Al-Qur’an
Surat al-Baqarah :
229
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik pula”. (Q.S. al-Baqarah : 229).
2. Al-Hadis
Hadis Ibnu Umar:
Dari Ibnu Umar r.a berkata telah bersabda Rasullulah SAW, perkara yang halal yang paling dibenci Allah adalah talaq”. (H.R. Imam Abu Daud)[4]
Dari sumber diatas
tidak ada yang menjelaskan apa hukumnya mentalak istri dengan cara melalui
surat, hanya garis besar tentang talak saja. Karena itu Ibnu Hazm salah satu ulama’
bermadzhab zhahiri berpendapat bahwa ucapan talak melalui surat tidak sah dan tidak
jatuh talaknya. Alasannya adalah bahwa tidak ditemukan petunjuk dalam al Qur’an
maupun hadis Nabi tentang adanya ucapan talak menggunakan surat.
Alasan lain yang
mendasari adalah bahwa talak itu seperti nikah, maka nikah itu tidak boleh melalui
surat. Artinya akad nikah itu harus diucapkan langsung di hadapan istri. Begitu juga
dengan talak, talak tidak bisa melalui surat akan tetapi talak juga harus diucapkan
secara lagsung di hadapan istri. Selain itu kedudukan tulisan tidak sepadan dengan lafadz yang
diucapkan secara langsung.
Ulama lain berbeda
pendapat dengan Ibnu Hazm. Menurut an-Nakha'i, as-Sya'bi, az-Zuhri, Ahmad bin
Hambal (madzhab Hambali) talak melalui tulisan itu terjadi walaupun tanpa niat
dari suami.[5]
Imam Ibnu Qudamah
mengatakan dalam kitabnya bahwa menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah
dan Syafi'iyah, suami yang menulis talak kepada istrinya tidaklah jatuh talaknya jika
suami tidak berniat untuk mentalak. Menurut madzhab ini talak baru terjadi kalau suami
suami meniatkan untuk talak.[6]
Alasan golongan ini
memperbolehkan atau menganggap sah talak melalui surat adalah hadis dari
Fatimah binti Qois, ketika beliau dicerai oleh suaminya Abu Amr bin Hafs. Fatimah
menceritakan:
Bahwa Abu Amr bin Hafs menceraikan Fathimah dengan talak 3, ketika Abu Amr tidak ada bersamanya. Kemudian Abu Amr mengutus seseorang untuk memberikan gandum ke Fathimah.. (HR. Muslim).[7]
Selain itu, para
ulama menegaskan bahwa tulisan semakna dengan ucapan. Sesuai dengan satu kaidah
Fiqhiyah:
الكتلب كاخطاب
Tulisan statusnya sama dengan ucapan."[8]
Karena itulah ulama
sepakat bahwa talak dengan tulisan hukumnya sah. Sebab tulisan mewakili
ucapan orang yang menulis. Dengan dalil, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
diperintahkan untuk menyebarkan risalah. Dan itu terkadang beliau
sampaikan dengan ucapan dan terkadang dengan
tulisan surat.
[1] ‘Allaudin al- Kasani, al Bada’i as-Shana’i, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 112
[2] Djama’an Nur, Fikih Munakahat, Cet Ke-1, Semarang: Dimas, hlm.141
[3] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz X, Cairo: Dar al-Fikr, t.th, hlm. 196
[4] Abu Dawud Sulaiman Ibnu al Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 178
[5] Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz X, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm. 196
[6] Al-Imam Muwaffiq al-Din Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqsidi, al-Mughni, Juz VIII, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th, h. 385
[7] Imam Muslim, Shahih Muslim, Semarang: Toha Putra, hlm.195
[8] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah Pedoman Dasar Dalam Istimbat Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 196