Hukum Operasi Plastik Menurut Islam
Monday, 14 November 2016
SUDUT HUKUM | Pada masa modern saat ini, banyak wanita yang melakukan
segala cara demi memperoleh predikat cantik. Salah satu cara yang dilakukan
yang ngetrend saat ini adalah melakukan operasi kecantikan atau
operasi plastik. Dalam bahasa Arab disebut Jirahah al-Tajmil yaitu operasi
bedah yang dilakukan untuk memperbaiki penampilan satu anggota tubuh yang tampak
atau untuk memperbaiki fungsi dari anggota tersebut ketika anggota tubuh itu
berkurang, lepas atau rusak.
Masyarakat beranggapan bahwa operasi plastik hanyalah
berorientasi pada masalah kecantikan (estetik) seperti sedot lemak,
memancungkan hidung, mengencangkan muka dan lain sebagainya. Akan tetapi
ruang lingkup operasi plastik sangatlah luas. Operasi plastik tidak hanya
masalah kecantikan saja, melainkan juga rekonstruksi seperti kasus-kasus luka
bakar, trauma wajah pada kasus kecelakaan, cacat bawaan lahir, seperti bibir
sumbing, kelainan pada kelamin.
Dalam kaidah fiqh disebutkan, segala sesuatu itu
diperbolehkan sampai ada dalil yang mengharamkan.
Hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkan.
Berdasarkan kaidah ini, maka dibolehkan melakukan
sesuatu hal apapun sampai ada dalil atau petunjuk yang menyatakan
keharaman melakukan suatu hal tersebut. Maka dari itu, operasi plastik haruslah
dilihat dari tujuannya. Jika dilihat dari motifnya, operasi plastik dikelompokkan menjadi
dua kategori, yaitu:
Operasi plastik yang bertujuan untuk mempercantik
Kehidupan manusia ketika mengikuti tren atau
mode dampaknya sangatlah besar terutama pada kaum wanita terutama di
bidang kecantikan. Wanita berlomba-lomba mempercantik diri mereka dengan
melakukan operasi plastik yang hanya bertujuan untuk mempercantik diri mereka. Berdasarkan
fenomena tersebut, maka para ulama sepakat apabila operasi plastik dilakukan hanya
bertujuan untuk mempercantik diri semata, maka hal itu dilarang karena dianggap
mengubah ciptaan Allah atau mengubah pemberian Allah.
Allah menyukai keindahan, sehingga Islam membolehkan
wanita untuk mempercantik diri dengan catatan tidak boleh
berlebihan. Sehingga apabila mempercantik diri sampai mengubah ciptaan Allah, maka
hal itu sangatlah dilarang. Jika dipikir secara logika maka tidaklah rugi
bagi Allah apabila ada yang melakukan operasi plastik dengan tujuan kecantikan.
Karena Allah telah memberikan sesuatu yang baik, kemudian hamba-Nya
berupaya agar pemberian itu menjadi lebih baik, tentunya Allah senang karena
Allah menyukai sesuatu yang indah.
Persoalan inilah yang perlu disadari, karena tidak
semua hal yang dianggap manusia itu baik, belum tentu baik pula dalam
pandangan Allah. Mengubah bentuk pada salah satu anggota tubuh yang
telah dianugerahkan Allah, merupakan tindakan yang tidak percaya dengan pemberian
Allah, bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk kehinaan terhadap ciptaan-Nya.
Seperti halnya mengubah hidung yang pesek menjadi mancung. Jadi,
mengubah ciptaan Allah sangatlah bertentangan dengan kodrat dan irodat-Nya.
Manusia harusnya menyadari bahwa sesungguhnya apapun yang telah
diciptakan Allah tidak akan ada yang sia-sia.
Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu[33]. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.
Ayat tersebut secara tersirat menyatakan kepada manusia
bahwa Allah menciptakan semua ini tidak ada yang sia-sia. Oleh
karena itu apabila ada wanita yang melakukan operasi plastik karena merasa anggota
tubuhnya kurang menarik dengan tujuan kecantikan, maka sesungguhnya orang
tersebut tidak mengerti bahwa ciptaan Allah itu lebih baik dan bermanfaat
baginya. Padahal dalam pandangan Allah, manusia yang memandang pemberian Allah
itu kurang menarik, sebenarnya pemberian itu memiliki manfaat yang luar
biasa. Seharusnya para wanita mensyukuri segala pemberian Allah dan
memberdayakan pemberian tersebut dengan baik.
Firman Allah:
Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telingatelinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya[351], dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya[352]." Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.
Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia yang mengubah
ciptaan Allah seperti melakukan operasi plastik dengan tujuan
kecantikan termasuk perbuatan setan yang dilaknat oleh Allah. Wanita yang melakukan
hal seperti ini akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah baik di
dunia maupun di akhirat. Sepanjang masa tidak diperbolehkan menginginkan operasi
plastik kecuali dengan tujuan menghindari aib yang menyebabkan rasa
sakit atau sesuatu yang menyusahkan. Secara umum operasi plastik yang bertujuan
mempercantik, tidak untuk menghilangkan aib yang tidak wajar, syariat
mengharamkan berdasarkan hadis.
Dari Ibnu Mas‘ud ra. berkata: Allah mengutuk wanita yang tukang tato, yang minta ditato, yang menghilangkan bulu mata, yang dihilangkan bulu mata dan para wanita yang memotong giginya yang semuanya itu dikerjakan dengan maksud untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.
Kutukan itu tidak hanya berlaku pada kaum wanita saja,
akan tetapi berlaku juga pada kaum laki-laki. Atau mereka yang
meminta orang lain untuk melakukan hal itu pada dirinya. Adapun penyebutan
wanita secara khusus sebagai sasaran kutukan, di sini semata-mata karena hal
itu umumnya dilakukan oleh para wanita.
Operasi plastik yang bertujuan menghilangkan aib (akibat kecelakaan, cacat dan lain sebagainya).
Operasi plastik yang bertujuan untuk mengobati cacat
akibat sakit, misalnya cacat yang timbul akibat penyakit kusta
(lepra), kecelakaan dan luka bakar, dan yang lainnya, maka syariat Islam membolehkan
si penderita menghilangkan cacat, memperbaiki, atau mengurangi
gangguan akibat cacat tersebut melalui operasi. Sebab, cacat itu mengganggu
si penderita secara fisik maupun psikis sehingga ia boleh mengambil dispensasi
melakukan operasi. Dengan kata lain, setiap operasi yang tergolong sebagai
operasi kecantikan yang memang dibutuhkan guna menghilangkan gangguan.
Cacat tubuh atau berubahnya bentuk tubuh karena
kecelakaan dalam ilmu ushul fiqh dikategorikan sebagai mudharat. Sedangkan
mudharat bisa mengakibatkan ketidakbaikan, yang akhirnya dapat
membuat orang yang mengalaminya merasa tidak nyaman dalam beragama. Oleh
karena itu, kemudharatan tersebut boleh dihilangkan, misalnya
dengan melakukan operasi plastik.
Agama Islam selalu memberikan kemudahan dan tidak
mempersulit bagi penganutnya ketika mengalami suatu masalah, apalagi
yang dapat membawa kemudharatan. Maka dari itu, berarti operasi plastik
diperbolehkan apabila tujuannya untuk menghilangkan kemudharatan. Adapun
dalil yang dijadikan sandaran adalah keumuman hadis bahwa Rasulullah
bersabda:
Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah menurunkan obatnya juga.
Apabila terdapat keburukan dalam suatu hal, maka
sebenarnya bisa mendatangkan keindahan dalam suatu hal yang lain. Akan
tetapi banyak sekali yang memandang keburukan dari satu sisi dan tidak
berusaha memperhatikan keindahan dari sudut pandang yang lain. Kecantikan
adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah berdasarkan kombinasi dari semua
unsur-unsur keindahan pada wajah, mereka seharusnya terpenjara oleh
standar-standar kecantikan yang dibuat oleh manusia.
Rujukan:
- Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, terj. Ghozi. M, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007).
- Abu ‘Abdillah Muhammad b. Ismail b. Ibrahim b. Mughirah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1971).
- Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (al-Qawa’idul Fiqhiyyah), Cet. 2 (Jakarta: Kalam Mulia, 2001).
- Mohamed Osman el-Khosht, Fiqh an-Nisa’: Fi Dhau’i al-Madzahib al-Arba’ah wa al-Ijtihadah al-Fiqhiyyahal-Mu’ashirah, terj. Abu Ihmadillaha, (Solo: Tinta Medina, 2015).