Akibat Hukum Nusyuz
Thursday, 8 December 2016
SUDUT HUKUM | Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui al-Quran dan
hadis nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya mendapat
dosa dari Allah dan dalam hubungannya dengan suami dan rumah
tangga merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami
istri.
Atas perbuatan itu si pelaku mendapat ancaman di antaranya gugur haknya sebagai istri dalam masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyus itu tidak dengan sendirinya memutus ikatan perkawinan. Menurut Imam madzab, istri yang nusyus tidak taat kepada suami hukumnya adalah haram dan dapat menggugurkan hak nafkah.
Atas perbuatan itu si pelaku mendapat ancaman di antaranya gugur haknya sebagai istri dalam masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyus itu tidak dengan sendirinya memutus ikatan perkawinan. Menurut Imam madzab, istri yang nusyus tidak taat kepada suami hukumnya adalah haram dan dapat menggugurkan hak nafkah.
Nafkah itu diwajibkan sebagai penunjang kehidupan suami istri. Bila kehidupan suami istri berada dalam
keadaan biasa, dimana suami atau istri sama-sama
melaksanakan kewajiban yang ditetapkan agama tidak ada masalah.
Dalam hal istri tidak menjalankan kewajibannya yang disebut
dengan nusyus, menurut jumhur ulama suami tidak wajib memberi nafaqah dalam masa nusyusnya itu.
Alasan bagi jumhur itu adalah bahwa nafaqah yang diterima istri itu merupakan imbalan dari ketaatan yang diberikannya kepada suami. Istri yang nusyus hilang ketaatannya dalam masa itu, oleh karena itu ia tidak berhak atas nafaqah selama masa nusyus itu dan kewajiban itu kembali dilakukan setelah nusyus itu berhenti.
Alasan bagi jumhur itu adalah bahwa nafaqah yang diterima istri itu merupakan imbalan dari ketaatan yang diberikannya kepada suami. Istri yang nusyus hilang ketaatannya dalam masa itu, oleh karena itu ia tidak berhak atas nafaqah selama masa nusyus itu dan kewajiban itu kembali dilakukan setelah nusyus itu berhenti.
Ulama Dhahiriyyah berpendapat bahwa istri yang nusyus tidak gugur haknya dalam menerima nafaqah.
Alasannya ialah nafaqah itu diwajibkan atas dasar akad nikah tidak
pada dasar ketaatan. Bila suatu waktu ia tidak taat kepada
suaminya atau nusyus ia hanya dapat diberi pengajaran, atau pisah
tempat tidur atau pukulan yang tidak menyakiti. Jumhur Ulama
berpendapat bahwa istri yang tidak mendapat nafaqah dari
suaminya, berhak tidak memberikan pelayanan dari suaminya, bahkan
boleh memilih untuk pembatalan perkawinan.
Nusyus menghilangkan nafkah dan seluruh hak- hak istri. Jika istri telah kembali lagi maka hak haknya juga kembali. Akibat kedurhakaan itu maka hilanglah hak istri menerima belanja, pakaian, dan pembagian waktu. Berarti dengan adanya durhaka istri, ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami, dan istri tidak berhak menuntut.
Nusyus menghilangkan nafkah dan seluruh hak- hak istri. Jika istri telah kembali lagi maka hak haknya juga kembali. Akibat kedurhakaan itu maka hilanglah hak istri menerima belanja, pakaian, dan pembagian waktu. Berarti dengan adanya durhaka istri, ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami, dan istri tidak berhak menuntut.
Rujukan:
- Ali Yusuf Subki, Fiqih Keluarga, Jakarta: Sinar Grafik, 2010,
- Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994,
- Muhamad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2015,
- Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana,
- Muhamad bin Abdurrahman ad Dimasyqi, Fiqih Empat Madzab, Bandung: Hasyimi, 2001,