Pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden
Friday, 9 December 2016
SUDUT HUKUM | Amandemen Ketiga Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 telah melahirkan ketentuan yang lebih rinci
mengenai alasan dan mekanisme pemakzulan (impeachment) Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7A UUD Tahun 1945 berisi alasan yang isinya memuat
mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai berikut:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kemudian, Pasal 7B ayat (1) UUD
1945 menentukan mekanisme pemakzulan terhadap Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagai berikut:
Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konsttusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atauWakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Organ atau lembaga yang diberi
wewenang untuk menilai apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden
melakukan perbuatan sebagaimana ketentuan Pasal 7B ayat (1) di atas adalah
Mahkamah Konstitusi. Wewenang tersebut tercantum secara konkret di dalam
Pasal 24C ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar”.
Ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD
1945 tersebut mengandung pengertian bahwa yang menjadi tugas Mahkamah
Konstitusi adalah menilai benar atau tidaknya pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat,
bukan mengadili kesalahan yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Kewajiban Mahkamah Konstitusi
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan
kedudukannya sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman, yaitu memutus pro
justicia, bukan sebagai lembaga politik. Kewajiban Mahkamah Konstitusi
hanyalah memutus apakah dugaan DPR terbukti secara hukum dan tidak
menyangkut pemberhentian. Apabila dugaan tersebut terbukti, lembaga yang
berwenang mengambil keputusan tentang pemberhentiannya adalah MPR. Meskipun
Mahkamah Konstitusi telah memutus Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti bersalah atau tidak lagi memenuhi syarat, tidak menjadi keharusan bagi
MPR untuk memeberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden.
Apabila MPR pada akhirnya tidak
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah
dinyatakan melanggar hukum atau tidak memenuhi syarat oleh Mahkamah Konstitusi,
tidak dapat diartikan bahwa MPR mengabaikan putusan Mahkamah
Konstitusi, karena wewenang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
berada pada MPR. Hal tersebut terjadi karena dalam pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak hanya berada pada dimensi hukum, melainkan juga
berada pada dimensi politik.
Setidaknya ada 5 (lima) faktor
menurut Jody C. Baumgartner yang mengakibatkan muncul dan
berhasilnya usaha pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu:
- keseimbangan kekuasaan antara berbagai cabang kekuasaan,
- ketentuan konstitusi dan perundang-undangan tentang pemakzulan,
- struktur partai politik,
- popularitas Presiden dan/atau Wakil Presiden sebelum tuduhan pelanggaran atas kesalahan bertindak dari Presiden dan/atau Wakil Presiden,
- faktor lain-lain (media massa, kondisi ekonomi, dan tekanan internasional).
Rujukan:
- Harjono, Transformasi Demokrasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2009).
- Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).