Syarat sahnya Perjanjian Kerja
Saturday, 24 December 2016
SUDUT HUKUM | Sebagai bagian dari perjanjian
pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sah nya suatu
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga
tertuang dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,
perjanjian kerja dibuat secara tertulis dan lisan. Perjanjian kerja yang
dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan Pasal
1320 BW suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi unsur-unsur :
Kesepakatan kedua belah pihak
yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia-sekata
mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu
dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan,
dan pihak pengusaha menerima pekerjaan tersebut untuk dipekerjakan.
Kecakapan berbuat hukum
maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha haruslah cakap membuat perjanjian.
Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup
umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 Tahun
(Pasal 1 angka 26 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Selain itu seorang dikatakan cakap
membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya/waras.
Hal tertentu
artinya ada objek yang diperjanjikan yaitu antara pekerja dengan pengusaha,
yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
Objek
perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjan yang
diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan
secara jelas.
Keempat syarat
tersebut bersifat komulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat
dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas dari kedua belah
pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian
dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut mengenai
orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang
diperjanjikandan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai
syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.
Kalau syarat
objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari
semula perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat
subjektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak-
pihak yang tidak memeberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh
orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian
dapat meminta pembatalan perjnjian itu kepada hakim. Dengan
demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan
oleh hakim.