Pengertian Zina
Thursday, 26 January 2017
SUDUT HUKUM | Zina berasal dari bahasa arab
yang biasa diartikan dengan persetubuhan di luar pernikahan.
Selain itu, zina juga berarti perbuatan terlarang dan haram.[1] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mendefinisikan zina dengan dua pengertian, pertama,
zina adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang
tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). Kedua, zina adalah
perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan
seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat
perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.[2]
Dari definisi
ini dapat disimpulkan bahwa perzinaan merupakan perbuatan yang
dilakukan oleh laki-laki atau perempuan baik belum menikah atau sudah menikah
akan tetapi dilakukan dengan orang lain yang bukan pasangannya.
Menurut Ibnu Rusyd, zina adalah
setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah,
bukan karena syubhat, dan bukan pula karena pemilikan (budak).[3] Pengertian ini
telah disepakati para ulama Islam, meski mereka masih berselisih
pendapat tentang mana yang dikatakan syubhat yang menghindarkan
hadd dan mana pula yang tidak menghindarkan hukuman tersebut.
Menurut Ibnu Qudamah, zina adalah
persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan baik dari qubul
atau dubur perempuan yang haram disetubuhi, bukan karena syubhat.[4]
Sayyid Sabiq mendefinisikan zina
yang mewajibkan hukuman adalah memasukkan alat kelamin laki-laki
dalam kelamin perempuan yang haram dengan syahwat dengan tanpa ada
syubhat nikah, meskipun tidak keluar sperma.[5]
Menurut Abdur Rahman I Doi, zina
adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang
perempuan yang satu dengan yang yang lain tidak terikat dalam hubungan
perkawinan.[6]
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili,
zina adalah aktifitas seksual yang melibatkan organ reproduksi
yang diharamkan, membangkitkan nafsu syahwat serta menetapkan adanya
hadd. Meskipun memasukkan pucuk atau kadar tertentu dari penis seorang
lelaki, sekalipun impoten, non ereksi, berkondom ke dalam lubang vagina
perempuan atau lubang anus laki-laki atau perempuan yang tidak halal.
Dan tindakan zina itu tidak mengandung unsur bias yang dapat
menggugurkan hadd, serta vagina tersebut dapat membangkitkan libido orang
normal, sehingga hal itu dapat menetapkan adanya hadd.[7]
Unsur bias yang dapat
menggugurkan hadd ada tiga macam, pertama, unsur bias yang muncul dari
subyek pelaku, misalnya pelaku tidak mengetahui larangan berzina.
Kedua, bias obyek sasaran, misalnya seseorang diduga sebagai istrinya. Ketiga,
bias prosedur, misalnya pernikahan tanpa wali.[8]
Dari beberapa definisi di atas
dapat diambil pengertian bahwa zina adalah masuknya alat kelamin
laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan tanpa ada ikatan perkawinan baik
memasukkan tersebut mengeluarkan sperma atau tidak dan tanpa
adanya subhat (bias).
Para ulama’ sepakat bahwa zina
merupakan perbuatan keji yang besar, yang mewajibkan hadd atas
pelakunya. Hukuman hadd itu berbeda-beda menurut macam perzinaan itu
sendiri, karena perbuatan zina terkadang dilakukan oleh orang-orang yang
belum menikah, seperti jejaka atau gadis, dan kadang-kadang dilakukan juga
oleh muhsan, atau orang yang sudah menikah.[9]
[1] Attabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996, hal. 1021.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed-3, 2005, hal. 1136.
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, cet ke-3, 2007, hal. 600.
[4] Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al Mughni, juz. 9, Beirut-Libanon:Dar al Kutub al Ilmiyah, t. th., hal. 181.
[5] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 2, Kairo: Dar al Fath, 1990, hal. 499.
[6] Abdur Rahman I Doi, Inilah Syariat Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991, hlm. 340.
[7] Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, Jld 3, terj. M. Afifi & Abdul Hafiz, Jakarta: Al Mahira, 2012, hal. 260.
[8] Ibid.
[9] Syekh Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al- Aimmah, Terj. Abdullah Zaki al-Kaf, Fiqih Empat Mazhab, Bandung: Hasyimi Press, 2004, hal. 454.