Teori Perilaku Golput
Monday, 2 January 2017
SUDUT HUKUM | Secara garis besar perilaku golput (voting behavior) dapat didekati dari dua model, yaitu:
1. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi ini disebut juga madhab Columbia (The Columbia School of Electoral Behavior). Pendekatan ini menjelaskan karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai
pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Pengelompokan seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (lakiperempuan), agama dan semacamnya diyakini punya peranan penting mengkonstruksi pola pikir pemilih.
Pemahaman akan ikatan-ikatan keagamaan, profesi, kelompok bisnis, keluarga dan kelompok informal merupakan sesuatu yang sangat vital. Dean Jaros menguatkan bahwa perilaku politik seseorang berhubungan erat dalam satuan keanggotaan kelompok tertentu.[1]
Gerad Pomper lebih tegas menjelaskan pengaruh pengelompokan sosial dalam kaitanya dengan perilaku golput. Baginya perilaku golput dapat diletakkan dalam bingkai predisposisi sosial-ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial-ekonomi pemilih sendiri. Keduanya mempunyai hubungan signifikan dengan perilaku memilih seseorang. Maksudnya kondisi ayah dan ibu pemilih akan berpengaruh pada perilaku politik anak, termasuk dalam memilih agama yang dianut, tempat tinggal, dan kelas sosial.[2]
Hubungan agama, organisasi sosial dan pilihan politik misalnya dapat dilihat pada masyarakat Madura yang mayoritas santri dimana sebagian besar afiliasi politiknya ke PKB dan PPP sebagai basis partai relegius.
Artinya pendekatan sosiologi melihat perilaku golput seseorang sangat dipengaruhi oleh bagaimana pola hidup seseorang dan bagaimana dia menempatkan dirinya dalam katagori-katagori sosial di atas. Kelompok sosial itulah yang turut membentuk kesadaran ataupun kehendak perilaku politiknya.
2. Pendekatan Psikologi
Pendekatan psikologi berkembang di Michigan yang dipelopori oleh August Cambell. Ketidak puasan pendekatan sosiologi melahirkan pendekatan psikologi. Konsep yang dikembangkan adalah konsep sosialisasi dan sikap-dalam melihat perilaku memilih. Aktivitas memilih sangat ditentukan oleh kekuatan sosialisasi yang diterima oleh anak sejak masa kecil. Oleh karena itu, dalam pendekatan psikologi ditekankan pada tiga aspek utama, yaitu: ikatan emosional pada suatu partai politik tertentu, orientasi isu-isu dan orientasi pada kandidat.[3]
Bagi psikolog, sikap merupakan refleksi fungsi kepentingan. Penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Sikap juga berfungsi sebagai penyesuian diri. Individu bersikap tertentu merupakan akibat dari keinginan orang tersebut untuk sama ataupun beda dengan orang lain, termasuk panutannya. Sikap juga berfungsi untuk mengatasi konflik internal, seperti idealisasi, rasionalisasi dan indentifikasi.
Sikap bukanlah suatu hal yang langsung jadi, terdapat proses panjang yang membentuknya baik melalui informasi, maupun pendisiplinan. Maka sikap seseorang dibentuk sejak kecil hingga dewasa, sikap politikpun ditentukan pada saat dewasa ketika mengahadapi situasi di luar keluarga yang itu dipengaruhi oleh kelompok acuan, organisasi, asosiasi dan partai politik.[4] Sosialisasi membentuk ikatan psikologi yang begitu kuat antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang berupa simpati. Selanjutnya ikatan itu mewujud dalam bentuk identifikasi.
Selain dua model pendekatan di atas, terdapat hal lain yang mempengaruhi seseorang untuk tidak memilih, yaitu:
- Faktor Psikologi
Pribadi yang tak toleran, otoriter dan acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, dan sejenisnya cendrung sikap politiknya abstain (golput). Sebab apa yang diperjuangkan oleh kandidat atau partai tidak selamanya sejalan dengan kepribadian tersebut. Pribadi-pribadi tak toleran cendrung menarik diri dari pentas politik. Maka sikap apatis merupakan jelmaan dari pribadi yang otoriter.
- Faktor Sosial-ekonmi
Tingkat pendidikan yang tinggi menciptakan kemampuan lebih besar untuk mempelajari kehidupan politik tanpa rasa takut, disamping seseorang dimungkinkan menguasai aspek-aspek birokrasi baik pada saat pendaftaran ataupun pada waktu pemilihan. Demikian juga, pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih menghargai partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja disektor yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cendrung lebih tinggi partisipasinya dalam pemilu dibandingkan dengan pemilih yang bekerja disektor yang tidak berkaitan dengan kebijakan pemerintah.
- Faktor Kepercayaan Politik
Ketidak aktifan pemilih (golput) merupakan bentuk ketidak percayaan pada sistem politik. Maka golput merupakan tindakan pada apa yang disebut tidak mendukung sistem politik yang sedang dijalankan.
Rujukan:
[1] Dean Jaros, et al, Political Behavior, Choice and Pespectives, ( New York : St. Martin’s Press, 1974), 111-124.
[2] Geral Pomper, Voter’s Choice : Varietes of American Electoral Behavior, (New York : Dod, Mead Company, 1978), 196-200.
[3] Richard G. Niemi and Herbet F. Wisberg, Controversies of Voting Behavior, (Washington D.C: A. Devision of Congsional Quarterly Inc, 1984), 12-13.
[4] David Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: LP3ES, 1976), 262.