Syarat materiil gugatan
Wednesday, 22 February 2017
SUDUT HUKUM | Bentuk
dan isi gugatan secara garis besarnya terdiri dari tiga komponen, yaitu:
- Identitas pihak-pihak
- Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak, biasanya disebut bagian “posita” (jamak) atau “positum” (tunggal).
- Isi tuntutan yang biasa disebut bagian “petita” (jamak) atau”petitum” (tunggal).
Identitas pihak-pihak memuat
nama berikut gelar atau alias atau julukan, bin/bintinya, umur, agama,
pekerjaan, tempat tinggal terakhir dan statusnya sebagai penggugat 1, penggugat
2, dan seterusnya. Jika ada pemberian kuasa, tentunya sekaligus dicantumkan
identitas pemegang kuasa. Alias ataua gelar atau julukan, berikut bin/binti
diperlukan agar terhindar kekeliruan orang karena kesalahan nama.
Umur diperlukan karena banyak
relevansinya, misalnya pasangan suami isteri yang sudah amat tua minta
pengesahan nilah untuk keperluan pension, kerna dahulunya perkawinan mereka
belum memakai surat menyurat. Di depan sidang, ia memakai saksi yang baru
berumur 20 tahun, tentu saja saksi belum dewasa bahkan mungkin belum lahir
ketika keduanya kawin dulu.
Agama
dicantumkan sehubungan dengan kekuasaan Pengadilan Agama bagi mereka yang
beragama Islam. Begitu pula tempat tinggal diperlukan sehubungan dengan tempat
mengajukan gugatan dan keperluan pemanggilan dan sebagainya.
Baca Juga
Tempat tinggal hendaknya
dicantumkan sampai minimal nama kabupaten, sebab hakim tingkat banding (kalau
banding) dan hakim tingkat kasasi (kalau kasasi) mungkin tidaj begitu jelas,
kalau hanya menyebutkan nama kecamatan.
Kalimat yang memisahkan antara
identitas pihak penggugat dan pihak tergugat diterangkan kata-kata “berlawanan
dengan”, yang diletakkan di baris tersendiri di tengah-tengah.
Selajutnya bagian yang memuat
fakta-fakta atauh hubungan hukum yang terjadi (bagian Posita) hendaknya
singkat, kronologis, jelas, tepat, dan sepenuhnya terarah untuk mendukung isi
tuntutan (bagian petita nantinya). Misalnya isteri menggugat nafkah selama
dalam masa iddah dan juga nafkah anak dari tergugat (suaminya). Pada bagian
posita tentunya dicantumkan kapan keduanya bercerai, nomor dan tanggal berapa
surat cerainya, berapa orang dan siapa saja nama anak-anaknya serta umur
masing-masingnya, lalu sejak kapan anak itu tidak diberi nafkah, berapa besar
nafkah iddah dan nafkah anak yang patut/mencakupi dan sebagainya yang relevan
lainnya.
Kalimat
pertama dari bagian posita berbunyi “duduk perkaranya”, yang diletakkan dalam
baristersendiri di tengah-tengah. Kalimat terakhir dari bagian posita biasanya
didahului dengan kalimat “berdasarkan uaraian di atas, dengan segala kerendahan
hati menggugat mohon kepada Pengadilan Agama untuk”. Sesudah kalimat ini,
gugatan masuk kebagian petita.
Butir pertama dari setiap
petita selalu tentang formal perkara, belum boleh langsung meloncat ke materi
perkara. Butir pertama itu berbunyi “mohon agar Pengadilan Agama menerima
gugatan penggugat”, maksudnya adalah, karena syarat-syarat formal gugatan sudah
cukup, penggugat mohon agar secara formal gugatanya dinyatakan diterimah. Butir
terakhir dari bagian petita selalu tentang permintaan agar pihak lawan
dibebankan biaya perkara, misalnya “agar pengadilan menghukum tergugat untuk
membayar segala biaya perkara”. Atau bisa juga disingkat dengan kalimat “biaya
perkara menurut hukum”, maksudnya adalah sesuai dengan hukum, yaitu siapa yang
kalah akan dihukum untuk membayar perkara.
Perlu diperhatikan bahwa
menurut pasal 89 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989, khusus dalam semua perkara
dibidang perkawinan, biaya perkara dibebankan pada penggugat atau pemohon.
Butir ditengah-tengah dari bagian petita adalah tuntutan mengenai materi
perkara (pokok
perkara). Tuntutan disini boleh tunggal dan boleh juga terdiri dari beberapa
tuntutan yang digabung (sesuai dan asal didukung oleh posita). Gabungan
tuntutan ini disebut “kumulasi obyektif”.
Menurut acara perdata,
kumulasi obyektif diperkenankan asal berkaitan langsung yang erat merupakan
satu rangkaian kesatuan (biasanya kausalitet). Mereka yang mengerti beracara
selalu akan mempergunaan kemungkinan kumulasi obyektif itu untuk waktu, biaya
dan sekaligus tuntas semua. Perlu diingat sehubungan dengan petita ini, yaitu pengadilan
dilarang mengabulkan tuntutan melampaui apa yang dituntut oleh penggugat,
sebaliknya pengadilan dilarang tidak mengadili semua terhadap apa yang
dituntutnya, walaupun mungkin ada yang dikabulkan dan ada yang ditolak, atau
ada yang dikabulkan sebagian dan ditolak sebagian lainnya.
Surat gugatan umumnya juga
mengandung:
- Tanggal
- Ditujukan kepada pengadilan mana
- Tanga tangan penggugat dan kuasa khusus yang ditentukannya.
Sekalipun
surat gugatan atau permohonan sudah dibuat tetapi untuk mendaftarkan di
Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapi dengan syarat-syarat lainnya. Syarat
kelengkapan gugatan atau permohonan, ada syarat kelengkapan umum dan ada syarat
kelengkapan khusus. Syarat yang pertama adalah syarat kelengkapan umum, yaitu
syarat minimal untuk dapat diterimah atau didaftarkannya suatu perkara di
pengadilan ialah:
- Surat gugatan permohonan tertulis, atau dalam hal buta huruf, catatan gugat atau catatan permohonan.
- Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi penggugat atau pemohon.
- Vorshcot biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat membawa surat keterangan miskin dari lurah/kepala desa yang disahkan sekurang-kurangnya oleh camat.
Menurut prinsip hukum acara
perdata, apabila tiga hal diatas sudah dipenuhi, pengadilan secara formal tidak
boleh menolak untuk menerima pendaftaran perkaranya, sebab syarat-syarat
kelengkapan selainya, sudah merupakan syarat untuk pemeriksaan bahkan mungkin
untuk syarat pembuktian perkara. Sedangkan syarat yang kedua adalah syarat
kelengkapan khusus. Syarat ini tidaklah sama untuk semua
kasus perkara, jadi tergantung kepada macam atau sifat dari perkara itu an
sich.
Contohnya sebagai berikut:
Contohnya sebagai berikut:
- Bagi anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan kepolisian yang mau kawin atau mau bercerai harus melampirkan ijin komandan.
- Mereka yang mau kawin lebih dari seorang (selain anggota ABRI Kepolisian dan Pegawai Negeri Sipil), harus melampirkan:
- Surat persetujuan tertulis dari isterinya yang telah ada.
- Surat keterangan tentang penghasilan suami, seperti daftar gajinya atau harta yang dijadikan usahanya dalam mencari nafkah atau penghasilan-penghasilan lainya, untuk bukti bahwa suami tersebut mampu beristeri lebih dari seorang.
- Surat pernyataan dari suami bahwa ia sanggup berlaku adil terhadap isteri atau iseri-isterinya dan anak-anaknya.
- Untuk keperluan tersebut pada poin (b) di atas, atau jika mau bercerai, kalau suami itu Pegawai Negeri Sipil maka syarat tersebut pada poin (b) harus ditambah lagi dengan adanya izin dari pejabat yang berwenang (atasanya).
- Perkara-perkara perkawinan harus melampirkan kutipan akta nikah, seperti perkara gugat cerai, permohonan untuk menceraikan isteri dengan cerai talak, gugatan nafkah isteri dan sebagainya.
- Perkara-perkara yang berkenaan dengan akibat perceraian harus melampirkan kutipan akta cerai, seperti perkara gugatan nafkah iddah, gugatan tentang mut’ah (pemberian dari suami kepada bekas isteri yang di ceraikan berhubung kehendak bercerai datangnya dari suami) dan lain sebagainya.
- Mereka yang hendak bercerai harus melampirkan surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan/kepala desa masing-masing yang disebut model “tra”.
- Gugatan waris harus di sertakan surat keterangan kematian pewaris dan lain sebagainya.
Syarat kelengkapan khusus di
atas mungkin saja gabungan (kombinasi) misalnya seorang Pegawai Negeri Sipil
mau bercerai, maka ia harus memenuhi syarat yang tersebut di butir 3, 4, dan 6.
Bagi anggota ABRI dan Kepolisian yang mau bercerai, ia harus memenuhi syarat di
butir 1, 4, dan 6.
Khusus bagi Pegawai Negeri
Sipil yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk bercerai atau untuk kawin
lebih dari seorang, yang menurut PP Nomor 10 tahun 1983, harus melampirkan izin
dari pejabat yang berwenang (atasanya). Oleh Mahkama Agung dengan
surat edaranya Nomor 5 tahun 1984 tanggal 17 april 1984, diberikan petunjuk
bahwa kepada pemohon diberikan kesempatan untuk menyampaikan izin pejabat yang
berwenang tersebut dalam waktu 6 bulan sejak perkara terdaftar di pengadilan.
Jika waktu itu lewat, maka pengadilan dapat memeriksa perkara tersebut,
terlepas daripada ada atau tidaknya izin dimaksudkan. Jadi jelas sekali bahwa
izin pejabat yang berwenang di sini bukanlah syarat kelengkapan umum untuk boleh
atau tidaknya perkara didaftarkan di pengadilan, melainkan suda termasuk syarat
kelengkapan matrial atau syarat kelengkapan khusus.
Dari syarat kelengkapan khusus
tersebut keseluruhanya, jelas sekali kelihatanya bahwa apa yang tersebut di
butir 1 sampai 7, sebenrnya tidak lain sudah merupakan syarat untuk pemeriksaan
atau pembuktian perkara, sama sekali bukan syarat untuk boleh atau tidaknya
perkara diterima pendaftaranya di pengadilan. Sebagaimana kita ingat bahwa
menurut Asas Acara Perdata, bahan bukti dalam perkara perdata adalah tugas dan
kewajiban pihak itu sendiri untuk mencari dan mengahdirkannya. Pengadilan hanya
membantu memanggil saksi misalnya. Pengadilan hanya memeriksa apakah terbukti
atau tidak, kalau terbukti akan dikabulkan, kalau tidak terbukti akan ditolak.
Walau bagaimanapun, jika syarat kelengkapan umum
sudah sekaligus dilengkapi dengan syarat kelengkapan khusus pada waktu
mendaftarkan perkara, tentulah lebih baik dan itulah yang ideal.