Masyarakat Hukum Adat
Monday, 6 March 2017
SUDUT HUKUM | Hukum adat adalah aturan
kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke
muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian
bermasyarakat dan kemudian bernegara. Terjadinya hukum dimulai dari pribadi manusia yang
diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang terus menerus dilakukan
perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru
orang lain maka ia juga akan menjadi kebiasaan orang itu. Lambat laun di antara orang yang
satu dan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melakukan
kebiasaan itu, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat
itu.
Hukum adat merupakan produk dari
budaya yang mengandung substansi tentang nilai-nilai budaya cipta, karsa,
rasa manusia. Dalam arti bahwa hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan
keinginan manusia untuk hidup secara adil dan beradab sebagai aktualisasi
peradaban manusia. Selain itu hukum adat juga merupakan produk social yaitu
sebagai hasil kerja bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara
bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat hukum adat.
Jadi adat adalah kebiasaan
masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai
adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat sehingga menjadi “hukum
adat”. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan
dalam masyarakat bersangkutan.
Hukum adat adalah sistem hukum
yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia. Hukum adat adalah
hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak
tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran
hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Hukum Adat berbeda di tiap daerah
karena pengaruh:
- Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
- Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
- Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Ciri-ciri dari hukum adat yaitu:
- Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
- Tidak tersusun secara sistematis.
- Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
- Tidak tertatur.
- Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
- Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
Adat Menurut Masyarakat Bali
adalah pokok pangkat kehidupan kelompok masyarakat adat di Bali
berdasarkan pada penuangan dari falsafah agama Hindu disebut Tri Hita Karana atau
yaitu upaya umum masyarakat untuk berusaha menegakan keseimbangan hubungan
antara warga masyarakat itu sendiri, upaya penegakan keseimbangan hubungan
warga masyarakat dalam kelompok masyarakat dan keseimbangan masyarakat
keseluruhan dengan alam Ke-Tuhanan.
Bentuk Masyarakat Hukum Adat
a. Masyarakat Hukum Teritorial
Masyarakat hukum teritorial
adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu
daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat
kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh
leluhur.
Para anggota masyarakatnya
merupakan anggota-anggota yang terikat dalam kesatuan yang teratur baik ke
luar maupun ke dalam. Di antara anggota yang pergi merantau untuk waktu sementara
masih tetap merupakan anggota kesatuan territorial itu. Begitu pula orang yang
datang dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat
setempat.
b. Masyarakat Hukum Genealogis
Masyarakat atau persekutuan hukum
yang bersifat genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana
para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik
secara langsung karena hubungan darah (keturunan) atau secara tidak langsung karena
pertalian perkawinan atau pertalian adat. Menurut para ahli hukum adat di masa
Hindia Belanda masyarakat yang genealogis itu dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu
yang bersifat patrilinial, matrilinial dan bilateral atau parental.
c. Masyarakat
Teritorial-Genealogis
Masyarakat hukum
teritorial-genealogis adalah kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur di mana para anggotanya
bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga
terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan.
d. Masyarakat Adat-Keagamaan
Di antara berbagai kesatuan
masyarakat adat akan terdapat kesatuan masyarakat adat yang khusus bersifat keagamaan di
beberapa daerah tertentu. Jadi ada kesatuan masyarakat adat-keagamaan menurut
kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat yang khusus beragama Hindu, Islam,
Kristen/Katolik, dan ada yang sifatnya campuran.
Di lingkungan masyarakat yang
didominasi kepercayaan dan agama tertentu, maka para anggotanya selain merupakan
warga kesatuan desa menurut perundangan, tetapi juga juga merupakan warga adat
yang tradisional dan warga keagamaan yang dianutnya masing-masing.
Tetapi ada kalanya kita melihat
adanya suatu desa atau suatu daerah kecamatan yang tidak terdiri dari suatu kesatuan
masyarakat adat atau masyarakat agama tertentu, melainkan berbeda-beda, sehingga
karena adanya perbedaan itu maka diantara masy arakat itu di samping sebagai
anggota kemasyarakatan yang resmi, membentuk kesatuan masyarakat adat
keagamaan yang khusus sesuai dengan kepentingan adat keagamaaan mereka. Jadi ada
masyarakat yang merupakan kesatuan masyarakat “desa umum” berdasarkan ketentuan
perundangan dan ada “desa adat” yang khusus.
e. Masyarakat Adat Perantauan
Masyarakat desa adat keagamaan
Sadwirama tersebut merupakan suatu bentuk baru bagi orang-orang Bali untuk tetap
mempertahankan eksistensi adat dan agama Hindunya di daerah perantauan.
Lain halnya dengan masyarakat adat Melayu, seperti orang Aceh, Batak, Minangkabau,
Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lainnya,
yang berada di daerah perantauan cenderung membentuk kelompok-kelompok
kumpulan kekeluargaan seperti “rukun kematian”, atau membentuk sebagai “kesatuan
masyarakat adat” yang berfungsi sebagai pengganti kerapatan adat di
kampung asalnya.
Di dalam organisasi perkumpulan tersebut
duduk para tua-tua adat dari masyarakat adat bersangkutan, dengan susunan
pengurus: Ketua, Sekretaris, Bendahara dan para anggota. Susunan kepengurusan itu
disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang ada di perantauan. Jadi tidak lagi
tersusun sebagaimana susunan asli di daerah asalnya; begitu pula hukum adat yang
diterapkan tidak lagi sempurna sebagaimana di daerah asalnya.
f. Masyarakat Adat Lainnya
Di dalam kehidupan masyarakat
kita dapat menjumpai pula bentuk-bentuk kumpulan organisasi yang ikatan
anggota-anggotanya didasarkan pada ikatan kekaryaan sejenis yang tidak berdasarkan pada hukum
adat yang sama atau daerah asal yang sama, melainkan pada rasa kekeluargaan
yang sama dan terdiri dari berbagai suku bangsa dan berbeda agama.
Bentuk masyarakat adat ini kita
temukan di berbagai instansi pemerintah atau swasta, atau di berbagai lapangan
kehidupan sosial ekonomi yang lain. Kesatuan masyarakat adatnya tidak lagi terikat pada
hukum adat yang lama melainkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang baru.
Rujukan:
- Dr. Djamanat samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, Bandung: penerbit Nuansa Aulia,
- Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Penerbit Mandar Maju,
- Djaren Saragih,1996, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung: Tarsito,
- Muhammad Bushar, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: PT Penebar Swadaya,
- ketut Artadi, 2012, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Bali: Pustaka Bali Post.