Pandangan Ibnu Qudamah tentang Hukum Menikah dengan Niat Cerai
Tuesday, 21 March 2017
SUDUT HUKUM | Ibnu Qudamah adalah seorang ulama
yang menganut madzhab hambali, dia adalah tokoh yang
memperbaharui, membela, mengembangkan, dan memperhatikan
ajaran-ajaran madzhab hambali terutama dalam bidang muamalah.
Menurut Tahido, Ibnu Qudamah dalam menetapkan hukum lebih
menitikberatkan pada hadis, yaitu apabila ditemukan hadis shoheh, maka sama
sekali tidak diperhatikan faktor pendukung lainnya. Apabila
didapati hadis mursal atau dhoif, maka hadis tersebut justru lebih dikuatkan
daripada qiyas kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa.
Dengan kata lain, Ibnu Qudamah
dalam pengendalian sebuah hukum, ketika tidak ditemukan
dalam nash sebuah pengharaman terhadap sesuatu maka hal itu boleh dan
sah-sah saja. Begitu halnya dengan hukum menikah dengan niat cerai, karena
menurutnya pernikahan ini tidaklah sama dengan nikah mut’ah.
Perbedaannya terletak pada tenggang waktu. Kalau nikah mut’ah terdapat
perjanjian tenggang waktu yang telah disepakati bersama, sementara
nikah model ini tidaklah demikian karena tidak adanya perjanjian apapun
yang disepakati oleh kedua belah pihak. Selanjutnya Ibnu Qudamah
mengatakan bawha seorang suami tidak hanya berniat (pada saat akad)
untuk tetap menceraikan istrinya, boleh jadi jika ia serasi atau cocok
dengannya maka ia akan mempertahankannya, dan jika tidak serasi atau cocok maka
ia boleh saja menceraikannya.
Sebab, menurut Ibnu Qudamah niat
untuk hidup selamanya bersama istri bukanlah suatu hal yang
wajib, bahkan boleh saja seorang suami menceraikan istrinya kapan ia
kehendaki. Apabila ia bermaksud ingin menceraikannya setelah beberapa
waktu maka ia telah meniatkan perkara yang diperbolehkannya. Jadi niat
untuk mempertahankan maupun menceraikan tidaklah berpengaruh
terhadap keabsahan akad nikah. Menikah dengan niat cerai sama
sekali tidak ditemukan atsar maupun khabar yang
menyebutkan tentang larangannya. Hal ini dijelaskan lebih mendetail oleh Ibnu
Thaimiyah. Dalam al Fatawa al Kubra, ia mengungkapkan bahwa seseorang
boleh menikah dengan niat cerai, tetapi menikah secara mutlak dan tidak
disyaratkan penentuan waktu dimana jika ia suka ia akan tetap
mempertahankannya, dan jika ia mau ia boleh saja menceraikannya.
Pernikahan dengan niat cerai
terjadi ketika seorang laki-laki melaksanakan akad nikah bersama
calon istri dan sejak awal akad nikahnya diiringi dengan niat untuk tidak
bersama istri selamanya. Contohnya adalah seseorang pergi ke luar
kota atau luar negeri karena melaksanakan studi atau ada kepentingan dan
urusan yang lain, kemudian (dengan alasan terjerumus ke lembah zina)
melaksanakan pernikahan hanya untuk sementara waktu, yaitu sampai
studi atau urusannya selesai.
Hal yang demikian ini oleh IbnuQudamah boleh dan sah-sah saja dilakukan asal tidak adanya suatu
perjanjian yang mengikat, khususnya perjanjian tenggat waktu yang
disepakati oleh suami istri. Karenpa bila didapati adanya sebuah perjanjian
yang disepakati bersama maka hal tersebut tidak boleh, sebab itu termasuk nikah mut’ah.