Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi: Analisis terhadap Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor: 13 Tahun 2016
Tuesday, 28 March 2017
SUDUT HUKUM | Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor: 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma ini dikeluarkan untuk menjawab polemik dan perdebatan hukum yang terjadi dikalangan aparat penegak hukum mengenai persoalan pemidanaan terhadap korporasi dan sebagai hukum acara khusus yang berlaku bagi Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
Sebelum Perma Nomor: 13 Tahun 2016 ini diterbitkan, aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, KPK bahkan sampai hakim pun sulit untuk merumuskan dan mempidanakan korporasi, hal ini dikarenakan aparat penegak hukum masih berpegang kepada KUHAP yang fokus pemidanaan hanya diberikan kepada pelaku/pengurusnya (perorangan), padahal secara fakta tidak sedikit korporasi digunakan untuk mempermudah dan menjalankan sebuah sindikat tindak pidana, contohnya korporasi didirikan sebagai tempat untuk melakukan pencucian uang, atau kegiatan lainnya yang bertujuan untuk menyamarkan perbuatan maupun hasil tindak pidana.
Dikarenakan tidak adanya pengaturan hukum mengenai kedudukan dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana serta hukum acara mengakibatkan timbulnya multitafsir dan pemikiran yang saling berbeda diantara aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan dalam proses penyidikan dan sampai penuntutan jarang sekali memasukkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, bahkan tidak sedikit juga jaksa dalam dakwaannya tidak mencantumkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dengan dalih pengurus korporasi sudah dipidana, sudah membayar denda, dan uang pengganti, sehingga korporasi dibiarkan bebas karena kasusnya dianggap selesai.
Secara hukum sebenarnya telah banyak undang-undang yang sifatnya khusus yang mengatur terkait pemidanaan terhadap korporasi, seperti halnya UU No: 31 Tahun 1999 yang telah dirubah menjadi UU No: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun faktanya instrumen tersebut jarang sekali digunakan oleh aparat penegak hukum, bahkan sampai sekarang KPK masih terbilang sedikit sekali menjerat pelaku korporasi dan menghukum korporasi. Penegak hukum seringkali hanya menindak perorangan baik itu direksi, pegawai, hingga perantara suatu perusahaan dalam suatu tindak pidana korupsi.
Tidak adanya kesepahaman antara penegak hukum dan tidak adanya tolak ukur yang jelas mengenai pemidanaan terhadap korporasi telah mengakibatkan Negara mengalami kesulitan dalam menelusuri dan menarik kerugian Negara dari sektor korporasi, tidak hanya itu saja, banyak sekali korporasi yang setelah pengurusnya dinyatakan bersalah dan dihukum namun korporasinya masih tetap berjalan dan terus menjalankan kejahatannya, sehingga rantai kejahatan masih tetap berjalan.
Perma No: 13 Tahun 2016 ini diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku korporasi dan/atau pengurusnya. Dalam Perma ini mengatur mengenai hukuman bagi korporasi berupa penjatuhan pidana denda hingga sampai dengan penutupan perusahaan. Selain itu juga, substansi penting lainnya yang diatur dalam Perma ini adalah mengenai rumusan hukum dan kriteria mengenai korporasi yang melakukan tindak pidana.
Dalam Pasal 2 Perma No: 13 Tahun 2016 menjelaskan bahwa Maksud dan tujuan pembentukan tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh Korporasi adalah untuk:
Sedangkan dalam Pasal 3 Perma No: 13 Tahun 2016 menjelaskan bahwa:
Selain itu, Perma ini juga menjadi pedoman bagi hakim dalam membuat pertimbangan sebelum menjatuhkan putusan. Hakim dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian dapat mempertimbangkan terkait peran dan tindakan korporasi dalam sebuah tindak pidana. Hakim dapat memeriksa apakah korporasi memperoleh keuntungan dan manfaat dari sebuah tindak pidana, selain itu apakah memang secara fakta korporasi memiliki andil dan melakukan pembiaran hingga terjadinya sebuah tindak pidana, dan apakah secara hukum korporasi sudah benar secara langkah-langkahnya dan sesuai dengan aspek kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku sehingga dapat menghindari terjadinya tindak pidana.
Terkait dengan perumusan dalam surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa dilakukan sesuai dengan Pasal 12 Perma No: 13 Tahun 2016 dan tetap mengacu kepada KUHAP, dengan penyesuaian isi surat dakwaan sebagai berikut:
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 15 Perma No: 13 Tahun 2016 menjelaskan bahwa:
Apabila dilihat dalam substansi Perma No: 13 Tahun 2016 memang mustahil apabila korporasi dikenai hukuman badan atau penjara, hal ini dikarenakan sifat dan bentuk korporasi yang memang mustahil untuk diberikan hukuman badan atau penjara, oleh karena itu pengenaan hukuman sanksi berupa denda dan penutupan usaha menjadi pilihan yang tepat. Dalam Perma No: 13 Tahun 2016 diatur apabila korporasi tidak dapat membayar denda yang sudah ditentukan maka untuk menutupi kekurangan tersebut harta/aset kekayaan korporasi dapat dilelang untuk menutupi kekurangan tersebut.
Hadirnya Perma No: 13 Tahun 2016 juga untuk mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, minimnya korporasi yang dijerat hukum dan dibawa ke persidangan dalam kasus pencurian ikan, kasus pembalakan liar, pembakaran hutan, korupsi dan pencucian uang diharapkan dapat dicegah dan diselesaikan dengan hadirnya Perma No: 13 Tahun 2016 ini. Penyatuan konsep dalam tata cara persidangan, hukum acara dan pertanggungjawaban pidana korporasi diperlukan agar tindak pidana korporasi dapat dijerat dan dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam Perma No: 13 Tahun 2016 juga mengatur mengenai restitusi atau ganti kerugian, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 20 yang isinya menjelaskan bahwa “Kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata.”
Selain itu yang menarik adalah terkait dengan hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 22 Perma No: 13 Tahun 2016 yang isinya sebagai berikut:
Kegiatan ekonomi tentunya memiliki dimensi dan cakupan yang luas, kegiatan korporasi dapat terjadi di sektor perpajakan, lingkungan hidup, pertambangan, perikanan dan sektor-sektor lainnya. Perbuatan seperti tidak melaporkan keuntungan perusahaan dengan sebenarnya, menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, memproduksi produk-produk yang dapat merugikan konsumen, pembalakan hutan secara liar (illegal loging), pencurian ikan, kegiatan pertambangan illegal tentunya semua hal tersebut tidak lepas dari pertanggungjawaban korporasi, walaupun secara fakta bahwa seluruh tindakan perusahaan (corporate action) dilakukan oleh pengurus namun korporasi sebagai badan hukum juga tidak dapat dilepaskan perannya, hal ini penting agar segala bentuk kerugian dan pertanggungjawaban pidana dapat dijalankan seutuhnya.
Sebelum Perma Nomor: 13 Tahun 2016 ini diterbitkan, aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, KPK bahkan sampai hakim pun sulit untuk merumuskan dan mempidanakan korporasi, hal ini dikarenakan aparat penegak hukum masih berpegang kepada KUHAP yang fokus pemidanaan hanya diberikan kepada pelaku/pengurusnya (perorangan), padahal secara fakta tidak sedikit korporasi digunakan untuk mempermudah dan menjalankan sebuah sindikat tindak pidana, contohnya korporasi didirikan sebagai tempat untuk melakukan pencucian uang, atau kegiatan lainnya yang bertujuan untuk menyamarkan perbuatan maupun hasil tindak pidana.
Dikarenakan tidak adanya pengaturan hukum mengenai kedudukan dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana serta hukum acara mengakibatkan timbulnya multitafsir dan pemikiran yang saling berbeda diantara aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan dalam proses penyidikan dan sampai penuntutan jarang sekali memasukkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, bahkan tidak sedikit juga jaksa dalam dakwaannya tidak mencantumkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dengan dalih pengurus korporasi sudah dipidana, sudah membayar denda, dan uang pengganti, sehingga korporasi dibiarkan bebas karena kasusnya dianggap selesai.
Baca Juga
Secara hukum sebenarnya telah banyak undang-undang yang sifatnya khusus yang mengatur terkait pemidanaan terhadap korporasi, seperti halnya UU No: 31 Tahun 1999 yang telah dirubah menjadi UU No: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun faktanya instrumen tersebut jarang sekali digunakan oleh aparat penegak hukum, bahkan sampai sekarang KPK masih terbilang sedikit sekali menjerat pelaku korporasi dan menghukum korporasi. Penegak hukum seringkali hanya menindak perorangan baik itu direksi, pegawai, hingga perantara suatu perusahaan dalam suatu tindak pidana korupsi.
Tidak adanya kesepahaman antara penegak hukum dan tidak adanya tolak ukur yang jelas mengenai pemidanaan terhadap korporasi telah mengakibatkan Negara mengalami kesulitan dalam menelusuri dan menarik kerugian Negara dari sektor korporasi, tidak hanya itu saja, banyak sekali korporasi yang setelah pengurusnya dinyatakan bersalah dan dihukum namun korporasinya masih tetap berjalan dan terus menjalankan kejahatannya, sehingga rantai kejahatan masih tetap berjalan.
Pengaturan Hukum Acara Pemidanaan Korporasi Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor: 13 Tahun 2016
Perma No: 13 Tahun 2016 ini diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku korporasi dan/atau pengurusnya. Dalam Perma ini mengatur mengenai hukuman bagi korporasi berupa penjatuhan pidana denda hingga sampai dengan penutupan perusahaan. Selain itu juga, substansi penting lainnya yang diatur dalam Perma ini adalah mengenai rumusan hukum dan kriteria mengenai korporasi yang melakukan tindak pidana.
Dalam Pasal 2 Perma No: 13 Tahun 2016 menjelaskan bahwa Maksud dan tujuan pembentukan tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh Korporasi adalah untuk:
- menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus;
- mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus; dan
- mendorong efektivitas dan optimalisasi penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus.
Sedangkan dalam Pasal 3 Perma No: 13 Tahun 2016 menjelaskan bahwa:
Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi.Dalam sistem pembuktian, Perma ini tetap merujuk kepada sistem pembuktian yang ada dalam KUHAP dan bentuk hukum acara khusus yang diatur dalam undang-undang lainnya. Dalam Perma ini juga memberikan pedoman kepada hakim dalam memutus, dimana hakim berdasarkan bukti-bukti yang ada dapat menjatuhkan pidana terhadap korporasi atau pengurus, atau korporasi dan pengurus korporasi. Hal ini menerangkan bahwa hakim dapat menjatuhkan kepada salah satu saja, baik itu pengurus saja atau hanya korporasi saja, namun hakim juga dapat menjatuhkan hukuman kepada keduanya secara langsung, yaitu kepada pengurus dan korporasinya.
Selain itu, Perma ini juga menjadi pedoman bagi hakim dalam membuat pertimbangan sebelum menjatuhkan putusan. Hakim dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian dapat mempertimbangkan terkait peran dan tindakan korporasi dalam sebuah tindak pidana. Hakim dapat memeriksa apakah korporasi memperoleh keuntungan dan manfaat dari sebuah tindak pidana, selain itu apakah memang secara fakta korporasi memiliki andil dan melakukan pembiaran hingga terjadinya sebuah tindak pidana, dan apakah secara hukum korporasi sudah benar secara langkah-langkahnya dan sesuai dengan aspek kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku sehingga dapat menghindari terjadinya tindak pidana.
Terkait dengan perumusan dalam surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa dilakukan sesuai dengan Pasal 12 Perma No: 13 Tahun 2016 dan tetap mengacu kepada KUHAP, dengan penyesuaian isi surat dakwaan sebagai berikut:
nama Korporasi, tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/akta pendirian/peraturan/ dokumen/perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan Korporasi, jenis Korporasi, bentuk kegiatan/usaha dan identitas pengurus yang mewakili; dan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 15 Perma No: 13 Tahun 2016 menjelaskan bahwa:
Dalam hal Korporasi diajukan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara yang sama dengan Pengurus, maka Pengurus yang mewakili Korporasi adalah Pengurus yang menjadi tersangka atau terdakwa.Pengurus lainnya yang tidak menjadi tersangka atau terdakwa dapat mewakili Korporasi dalam perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Apabila dilihat dalam substansi Perma No: 13 Tahun 2016 memang mustahil apabila korporasi dikenai hukuman badan atau penjara, hal ini dikarenakan sifat dan bentuk korporasi yang memang mustahil untuk diberikan hukuman badan atau penjara, oleh karena itu pengenaan hukuman sanksi berupa denda dan penutupan usaha menjadi pilihan yang tepat. Dalam Perma No: 13 Tahun 2016 diatur apabila korporasi tidak dapat membayar denda yang sudah ditentukan maka untuk menutupi kekurangan tersebut harta/aset kekayaan korporasi dapat dilelang untuk menutupi kekurangan tersebut.
Hadirnya Perma No: 13 Tahun 2016 juga untuk mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, minimnya korporasi yang dijerat hukum dan dibawa ke persidangan dalam kasus pencurian ikan, kasus pembalakan liar, pembakaran hutan, korupsi dan pencucian uang diharapkan dapat dicegah dan diselesaikan dengan hadirnya Perma No: 13 Tahun 2016 ini. Penyatuan konsep dalam tata cara persidangan, hukum acara dan pertanggungjawaban pidana korporasi diperlukan agar tindak pidana korporasi dapat dijerat dan dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam Perma No: 13 Tahun 2016 juga mengatur mengenai restitusi atau ganti kerugian, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 20 yang isinya menjelaskan bahwa “Kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata.”
Selain itu yang menarik adalah terkait dengan hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 22 Perma No: 13 Tahun 2016 yang isinya sebagai berikut:
Kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana terhadap Korporasi hapus karena daluwarsa sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga berdasarkan ketentuan kewenangan menuntut diatas tetap berlaku sampai dengan kasus telah memasuki masa daluwarsa suatu kasus.
Kejahatan Korporasi Terkait Dengan Kegiatan Ekonomi
Apabila kita berbicara mengenai korporasi tentunya hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan ekonomi/bisnis yang dijalaninya. Banyak sekali korporasi-korporasi yang digunakan sebagai alat/instrument, perantara, atau wadah sebagai tempat dijalankannya sebuah tindak pidana, tidak hanya itu saja tidak sedikit juga korporasi beserta pengurusnya melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian bagi lingkungan hidup, manusia sekitar bahkan kerugian yang merugikan publik.Kegiatan ekonomi tentunya memiliki dimensi dan cakupan yang luas, kegiatan korporasi dapat terjadi di sektor perpajakan, lingkungan hidup, pertambangan, perikanan dan sektor-sektor lainnya. Perbuatan seperti tidak melaporkan keuntungan perusahaan dengan sebenarnya, menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, memproduksi produk-produk yang dapat merugikan konsumen, pembalakan hutan secara liar (illegal loging), pencurian ikan, kegiatan pertambangan illegal tentunya semua hal tersebut tidak lepas dari pertanggungjawaban korporasi, walaupun secara fakta bahwa seluruh tindakan perusahaan (corporate action) dilakukan oleh pengurus namun korporasi sebagai badan hukum juga tidak dapat dilepaskan perannya, hal ini penting agar segala bentuk kerugian dan pertanggungjawaban pidana dapat dijalankan seutuhnya.