Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan
Tuesday, 4 April 2017
SUDUT HUKUM | Secara terminologi kebijakan berasal dari istilah "policy" (Inggris) atau "politiek" (Belanda). Terminologi itu dapat diartikan sebagi prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam artian luas termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dalam suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat (warga negara). Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardana, menterjemahkan “policy” juga dengan kebijakan, yaitu suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif.
Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah "kebijakan hukum pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana". Dalam kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain "penalpolicy", "criminal law policy" atau "strafrechtspolitiek". Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.
Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah:
- Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
- Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Berdasarkan pengertian diatas, kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan "pembaruan perundang-undangan hukum pidana", namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan bahwa, hukum pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari budaya (culture), struktur (structural) dan substansi (substantive) hukum.Karena undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaruan hukum pidana, di samping memperbarui perundang-undangan, juga mencakup pembaruan ide dasar dan ilmu hukum pidana.
Kebijakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana dapat diartikan sebagai salah satu upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksi berupa pidana. Sanksi pidana dalam hukum pidana berupa pidana merupakan sistem sanksi yang bersifat negatif, yang berarti dipandang sebagai suatu penderitaan.
Pemberian sanksi ini memang sangatlah diperlukan, akan tetapi juga harus mempertimbangkan seperti apa yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer yang menyatakan bahwa :
- Sanksi pidana sangatlah diperlukan. Kita tdak dapat hidup sekkarang maupun dimasa yang akan datang tanpa pidana.
- Sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik yang tersedia yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera untuk menghadapi ancaman-ancaman dari perawatan (treatment) dari pidana.
- Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama atau yang terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manuusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.
Pemidanaan berhubungan dengan pemidanaan itu sendiri. Para sarjana berpendapat berbeda-beda masalah teori tujuan pemidanaan ini, yang dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu :
- Teori absolut atau teori pembalasan (retributive teory)
Teori ini menganggap pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Nigel Walker, menyatakan bahwa teori retributive ini dapat pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:
- Teori retributif murni (the pure retributivist) yang berpendapat pidana harus cocok dengan kesalahan si pembuat.
- Teori retributif tidak murni (dengan modifkasi) yang dapat dibagi dalam: 1) Teori retributif terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa. 2) Teori retributif yang distributif (retributivist in distribution), teori retributif yang distributif disingkat dengan teori distributif berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok atau sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana tanpa adanya kesalahan dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.
Mengenai pengertian praktis, kebijakan hukum pidana merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi pembentukan undang-undang dan aktivitas aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Petugas Lapas/Pelaksana Eksekusi), sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Pada akhirnya kebijakan hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, karena berhubungan dengan penegakan hukum baik hukum perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi. Ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaruan hukum pidana.
Hal ini disebabkan karena kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap seperti konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari:
- Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut tahap kebijakan legislatif.
- Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana in conreto oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Tahap ini disebut tahap kebijakan yudikatif.
- Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.
Tahap formulasi merupakan tahap yang paling strategis dalam keseluruhan proses kebijakan untuk dapat menerapkan dan mengoperasionalisasikan sanksi pidana dan pemidanaan. Tahapan ini diawali dengan merumuskan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan, sehingga menjadi pedoman dalam menentukan garis kebijakan bagi tahapan berikutnya yaitu tahapan penerapan pidana oleh badan peradilan (tahapan aplikasi yang merupakan proses peradilan/judicial, sehingga disebut juga tahapan yudikasi), dan tahapan pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana. Kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.
Selain itu, tahapan formulasi/legislasi dianggap tahapan yang penting menurut G.P. Hoefnagels, karena merupakan tahapan dalam menentukan kebijakan dalam hukum penitensier (hukum pemidanaan) atau sentencing policy. Namun pada akhirnya, seluruh tahapan dalam kebijakan hukum pidana baik tahapan formulasi/legislasi, aplikasi/yudikatif dan eksekusi, semuanya merupakan suatu kebijakan penanggulangan hukum pidana, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, akan dapat tercapai apabila proses dan mekanismenya dijalankan sesuai prosedur.
Pada hakikatnya usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan bagian dariusaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya tersebut, negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial (social policy) yang berupa kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan memberikan perlindungan sosial (social defence policy).
Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy) salah satunya dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan yang aktual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana/kejahatan ini termasuk dalam wilayah kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).20 Upaya untuk menanggulangi semua bentuk kejahatan senantiasa terus diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama ini tidak lain merupakan langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya penanggulangan kejahatan tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal tindak pidana yang secara faktual terus meningkat.
Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan masalah politik kriminal yaitu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaannya dapat dilakukan melalui berbagai strategi, sesuai dengan kebijakan pembangunan masyarakat/social global yang mengacu pada Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diantaranya yaitu:
- Strategi dasar/pokok penanggulangan kejahatan, ialah meniadakan faktor-faktor penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan.
- Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan integral/sistemik.
- Perlu memperhatikan beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang sifatnya transnasional, regional dan internasional, yang berhubungan dengan kejahatan modern.
- Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas aparat penegak hukum.
- Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas institusi dan managemen organisasi/managemen data.
- Perlu disusunnya Guidelines, Basic Principle, Rules, Standard Minimum Rules (SMR).
- Perlu ditingkatkan kerja sama internasional dan bantuan teknis, dalam rangka memperkukuh the rule of law dan management of criminal justice system.
Berdasarkan dimensi diatas, maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya berhubungan dengan pembaruan hukum pidana yang menyeluruh yaitu mencakup kebijakan di bidang hukum pidana materiil (substantif), di bidang hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.
Kebijakan yang termuat dalam hukum pidana materiil mengatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perumusan delik, unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana, serta perumusan pidana dan pemidanaan. Kebijakan yang termasuk ke dalam hukum pidana formil erat kaitannya dengan sistem peradilan pidana seperti halnya pengaturan tentang penyidik, penyidikan dan wewenang penyidikan, pengaturan tentang penuntut umum, penuntutan dan kewenangan penuntutan dan pengaturan tentang peradilan atau pemeriksaan di persidangan. Terakhir kebijakan yang terkait dengan hukum pelaksanaan pidana berhubungan dengan eksekusi (pelaksanaan putusan pengadilan).
Pelaksanaan kebijakan hukum pidana dapat dilakukan oleh badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki, yang dapat diperkirakan, yang dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat, dan untuk mencapai apa yang di cita-citakan. Untuk itu kebijakan hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang–undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu tertentu dan untuk masa yang akan datang. Atas dasar itu kebijakan hukum pidana akan mempunyai pengaruh untuk mengatur atau mengendalikan masyarakat guna mencapai tujuan tertentu.