Masalah Perbatasan Maritim Antar Negara
Thursday, 20 April 2017
SUDUT HUKUM | Sebenarnya metode penetapan garis batas maritim pernah dikemukakan pada tahun 1993 oleh para ahli yang tergabung dalam Organisasi Hydrografi Internasional (International Hydrographic Organization=IHO) yang meliputi: Metode Berjarak Sama (Equidistance Method), Metode Turunan Dari Prinsip Berjarak Sama (Derived From The Equidistance Principles) dan metode-metode lainnya.
Dalam penentuan garis batas maritime suatu garis yang berjarak sama (equidistance line) adalah garis yang menghubungkan setiap titik-titik yang berjarak sama dari titik-titik terdekat pada garis-garis dasar laut territorial dua negara. Pasal 15 UNCLOS 1982 menyebutnya sebagai garis tengah (median line), tetapi secara teknis sering dipergunakan istilah suatu garis yang berjarak sama di antara dua negara yang berhadapan. Metode ini sudah diwajibkan UNCLOS sebagai batas laut territorial sementara antara dua negara yang berdampingan atau berhadapan sebelum disepakatinya cara lain.
Indonesia sebagai negara kepulauan sesuai dengan ketentuan UNCLOS harus mempergunakan penetapan garis dasar lurus, sedangkan Malaysia sebagai negara semi kontinen harus mempergunakan garis dasar biasa. Meskipun demikian, kedua contoh di atas dapat dijadikan sebagai acuan bersama dalam penetapan laut territorial kedua negara antara Pantai Sabah, Sebatik Utara, dan Sebatik Selatan.
Mungkin sebagai metode alternatif dapat diikuti metode turunannya yang terdiri atas The Partial Effect Method, The Coastal Length Comparison Method dan The Equi-RatioMethod (Metode Pengaruh Parsial, The Coastal Panjang Perbandingan Metode Dan Metode Equi-Ratio), sedangkan metode-metode lainnya yang ditawarkan oleh IHO tersebut adalah The Thalweg Concept, Prolongation of Land Boundaries, Arbitrary Lines, Enclauving, Propotionality dan judicial Precedent (konsep Thalweg, Perpanjangan Batas Tanah, Garis Sewenang-wenang, Enclauving, Propotionality Dan Preseden peradilan).
Metode-metode lainnya seperti Metode Thalweg pernah diusulkan oleh Vietnam dalam perundingan garis perbatasannya dengan Indonesia di Laut Cina Selatan, tetapi ditolak oleh Indonesia. Adapun Metode Kelanjutan Batas Daratan pernah diusulkan Indonesia dalam perundingan perbatasan dengan Malaysia yang juga ditolak Malaysia. Adapun melalui Perwasitan dapat dikemukakan Kasus Miangas antara Amerika Serikat dan Hindia Belanda (1928) dan Kasus Sipadan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia (2002).
Dari uraian di atas, jelas bahwa garis berjarak sama itu hanya dapat dipergunakan dalam penetapan Laut Teritorial antara dua negara. Hanya saja metode itu tidak dapat dilakukan dalam penetapan Garis Batas Landas Kontinen dan ZEE, karena harus diselesaikan melalui perundingan bilateral berdasarkan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional (MI) mengenai sumber hukum internasioanl yang dipergunakan MI dalam mengadili perkara yang diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Buku panduan tentang Penetapan Perbatsan Maritim yang dikeluarkan oleh Biro Hukum PBB pada tahun 2000 antara lain menyatakan bahwa dalam penetapan perbatasan maritime antara dua negara atau lebih sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor geografis, faktor geologis, geomorfologis, faktor ekonomi, faktor politik dan keamanan, faktor lingkungan dan faktor kehadiran negara ketiga.