Bentuk dan Jenis Sanksi
Tuesday, 23 May 2017
SUDUT HUKUM | Untuk mengklasifikasikan ta’zîr – ulama fiqih membaginya kepada dua bentuk, yaitu sebagai berikut:
Al-Ta’zîr ‘alâ al-Ma’âsi (ta’zîr terhadap perbuatan maksiat)
Bentuk ta’zîr ini, menurut ahli fiqih bahwa yang dimaksudkan dengan maksiat adalah melakukan suatu perbuatan yang diharamkan syara’ dan meninggalkan perbuatan yang diwajibkan syara’. Perbuatan maksiat ini tidak saja yang menyangkut hak-hak Allah Swt, tetapi juga menyangkut hak-hak pribadi. Misalnya, syara’ menentukan bahwa shalat itu wajib, sedang memakan babi dan meminum minuman keras adalah haram. Apabila seseorang memakan babi, meminum minuman keras, dan tidak mengerjakan shalat, maka ketiga perbuatan itu disebut sebagai maksiat, dan pelakunya dikenakan hukuman ta’zîr.
Adapun dari segi jenis dan ketentuan hukumannya, ulama fiqih membagi maksiat itu kepada tiga macam, yaitu:
- Maksiat yang hukumannya telah ditentukan syara’, seperti tindak pidana ħudûd, pembunuhan, dan perlukaan.
Menurut ‘Abd al-Qadir ‘Awdah, penambahan hukuman ta’zîr dalam tindak pidana ħudûd, pembunuhan, dan perlukaan hukumnya dibolehkan dengan ketentuan bahwa pemberlakuan hukuman ta’zîr menurut pandangan hakim mengandung kemaslahatan. Misalnya, ulama mazhab (al-Syâfi’î) memberlakukan hukuman ta’zir terhadap pembunuhan yang hanya dikenakan hukuman diat (tidak dikenakan hukuman qišâš), seperti penambahan hukuman dera 40 (empat puluh) kali bagi orang yang meminum khamar.
Menurut mereka, hukuman yang ditentukan syara’ untuk tindak pidana meminum khamar (tindak pidana ini termasuk hudud) adalah 40 (empat puluh) kali dera. Dengan penambahan 40 (empat puluh) kali dera lagi, sebagai hukuman ta’zîr, maka hukuman yang meminum khamar menjadi 80 (delapan puluh) kali dera. Contoh lain adalah hukuman pengasingan (al-taghrîb ), bagi orang al-Bikr (belum kawin) yang melakukan penzinaan, disamping hukuman 100 (seratus) kali. Menurut mereka, hukuman terhadap al-Bikr yang melakukan penzinaan hanya 100 (seratus) kali dera, sedangkan al-Taghrîb termasuk hukuman ta’zîr, yang penerapannya tergantung kepada kebijaksanaan hakim.
Dengan demikian, para ahli fiqih berpendapat bahwa dibolehkan mengenakan hukuman ta’zîr dalam tindak pidana hudud, di samping hukuman yang telah ditentukan syara’ bentuk dan jumlahnya. Penambahan hukuman ta’zîr tersebut, menurut mereka merupakan hak jama’ah dan menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum.
- Maksiat yang dikenakan hukuman kafarah, tetapi tidak dikenakan hukuman ħudûdnya. Misalnya, melakukan hubungan suami isteri di siang hari bulan Ramadhan.
Orang yang melakukan hubungan suami isteri di siang hari bulan Ramadhan juga dinamakan maksiat dan dikenakan hukuman kafarah, yaitu memardekakan budak atau kalau tidak mampu, maka puasa dua bulan berturut-turut atau kalau tidak mampu juga, maka hukumannya adalah memberi makan 60 (enam puluh) orang fakir miskin.
Maksiat yang dikenakan hukuman kafarah itu jumlahnya terbatas, di antaranya melakukan hubungan suami isteri di siang hari bulan Ramadhan, melakukan hubungan suami isteri ketika sedang ihram (haji atau umrah), melanggar sumpah, ζihar, dan menyanggamai isteri dalam keadaan haidh. Oleh karena itu, maksiat yang dikenakan hukuman kafarah tersebut terdapat perbedaan ulama fiqih dalam hal penambahan hukumannya dengan hukuman ta’zîr. Akan tetapi, pendapat yang terkuat – menurut ‘Abd al-Qadir Awdah adalah tidak boleh menggabungkan hukuman ta’zîr dengan hukuman kafarah.
Maksiat yang tidak dikenakan hukuman ħudûd dan hukuman kafarah.
Bentuk tindak pidana yang termasuk ke dalam kategori ketiga inilah yang disebut dengan jarīmah ta’zîr, dan jumlahnya tidak terbatas. Misalnya, mencium atau berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim dan berdua-duaan dengan lawan jenis di tempat sunyi, masuk kamar mandi dengan telanjang, makan bangkai, darah, meninggalkan shalat atau puasa, menganggu ketenteraman tetangga, dan seumpamanya. Menurut fiqih Syāfi‘iyyah jenis maksiat ini diserahkan kepada ijtihad penguasa untuk melaksanakan, meninggalkan dan menentukan kadarnya.
‘Abd al-Qadir Awdah mengatakan bahwa ada 3 (tiga) keriteria jenis-jenis jarīmah ta’zîr tersebut, yaitu sebagai berikut:
- Terhadap perbuatan itu disyari’atkan hukuman ħudûd, tetapi karena tidak memenuhi syarat, maka hukuman ħudûd tersebut tidak dapat dilaksanakan. Misalnya, seseorang melakukan pencuri tetapi tidak mencapai 1 (satu) nisab (seperempat dinar = 1,125 gram emas) dan harta yang dicuri (pencurian). Tindak pidana pencurian termasuk ħudûd, tetapi kerana syarat-syarat pencurian yang dikenakan hukuman ħudûd tidak terpenuhi, maka hukumannya berubah menjadi ta’zîr.
- Terhadap perbuatan itu disyari’atkan hukuman ħudûd, tetapi ada penghalang untuk diberlakukan hukuman ħudûd tersebut. Misalnya, ayah membunuh anaknya atau anak mencuri harta ayahnya 1 (satu) nisab atau lebih. Dalam kedua kasus ini, ayah tidak dikenakan hukuman qišâš karena membunuh anaknya atau anak tidak dapat dikenakan hukuman potong tangan karena mencuri harta ayahnya. Dalam kedua kasus ini, menurut ulama fiqih, hukuman qišâš atau ħudûd tidak bisa diberlakukan, karena antara keduanya mempunyai hubungan keturunan yang mengakibatkan adanya syibħ al-milk (keraguan pemilikan). Hal ini menjadi penghalang diterapkannya hukuman qišâš atau ħudûd, sesuai prinsip: "Hindarilah ħudûd apabila terdapat keraguan”. Berdasarkan prinsip di atas menunjukkan bahwa hukuman ħudûd tidak dapat diterapkan, ulama fiqih menetapkan bahwa hukuman yang akan dilaksanakan adalah hukuman ta’zîr, sesuai dengan kemaslahatan yang dikehendaki.
- Terhadap perbuatan itu tidak ditentukan sama sekali hukumannya, baik ħudûd, qišâš, diat dan kafarah. Bentuk terakhir inilah maksiat yang paling banyak, seperti mengingkari dan mengkhianati amanah, pengurangan timbangan atau takaran, memberikan kesaksian palsu, melakukan mu’amalah riba, dan sogok menyogok.
Al-Ta’zîr li al-Mašlaħaħ al-‘Ammah (ta’zîr untuk kemaslahatan umum)
Menurut kesepakatan ahli fiqih – pada prinsipnya jarīmah ta’zîr tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat maksiat. Akan tetapi, syari’at Islam juga membolehkan para penguasa (hakim) menetapkan bentuk jarīmah ta’zîr lain –apabila kemaslahatan umum menghendaki penetapan tersebut. Namun demikian, jarīmah ta’zîr tetap ditentukan oleh penguasa.
Menurut ulama fiqih, perbuatan itu sendiri bukan diharamkan, tetapi keharamannya terletak pada sifat perbuatan itu. Sifat yang membuat keharaman itu adalah terkait dengan gangguan terhadap kepentingan, kemaslahatan dan keamanan masyarakat serta negara. Menurut ulama fiqih bahwa terhadap seluruh perbuatan itu, pihak penguasa boleh menetapkan hukumannya; dan hukuman yang ditetapkan itu termasuk kategori ta’zîr.
Alasan ulama fiqih membolehkan penetapan hukuman bagi orang-orang yang menganggu dan merusak kepentingan, ketertiban, dan kemaslahatan umum adalah tindakan Rasulullah Saw yang memenjarakan seseorang yang dituduh mencuri se ekor unta. Akan tetapi, ketika tertuduh tidak terbukti melakukan pencurian unta tersebut – Rasulullah Saw melepaskannya.
Menurut ahli fiqih –hukuman penjara termasuk hukuman ta’zîr yang dapat dilaksanakan apabila tertuduh terbukti melakukan suatu tindak pidana ta’zîr. Sikap yang diambil oleh Rasulullah Saw dengan memenjarakan tertuduh sebelum terbukti bersalah –merupakan suatu tindakan yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban umum. Karena jika tertuduh dibebaskan, maka tertuduh dapat melarikan diri atau melakukan suatu perbuatan lain yang menganggu ketenteraman masyarakat. Menurut mereka, hal ini dilakukan demi ketertiban dan keamanan masyarakat.
Sehubungan dengan konteks hukuman dalam jarīmah ta’zîr –ulama fiqih mengemukakan bahwa syari’at Islam tidak menentukan secara rinci dan tegas hukuman yang akan dikenakan terhadap setiap pelanggaran jarīmah ta’zîr. Syari’at Islam hanya mengemukakan sejumlah hukuman yang dapat diterapkan, sesuai dengan kemaslahatan yang dikehendaki. Oleh sebab itu, penetapan hukuman yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan penguasa atau hakim. Akan tetapi, pihak penguasa atau hakim tidak dibenarkan menyalah-gunakan pendelegasian wewenang dalam menetapkan hukuman ta’zîr tersebut.
Dalam menetapkan suatu hukuman terhadap jarīmah ta’zîr, pihak penguasa atau hakim harus senantiasa berpatokan pada keadaan terpidana, lingkungan yang mengitari terpidana, kemasalahatan masyarakat yang menghendaki, dan berorientasi pada tujuan hukuman yang dikehendaki syara’, yaitu pencegahan seseorang dan berhentinya seseorang melakukan tindak pidana.
Berdasarkan uraian klasifikasi ta’zîr yang dipaparkan di atas mengindikasikan adanya perbedaan di antara kedua bentuk ta’zîr tersebut. Tindak pidana dalam al-Ta’zîr ‘alâ al-Ma’âsî hukumnya menunjukkan haram selamanya dan bersifat maksiat, sedangkan tindak pidana dalam Al-Ta’zîr li al-Mašlaħaħ al-‘Ammah, hukumnya dilarang apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, karena pada dasarnya – tindakan itu sendiri tidak bersifat maksiat.