-->

Hukum Pembuktian

SUDUT HUKUM | Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Demikian yang sering dikatakan orang. Oleh karena itu, peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting. Banyak kasus hukum yang menunjukkan kepada kita betapa karena salah dalam menilai pembuktian, seperti karena siksi berbohong, maka pihak yang sebenarnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena dinyatakan bersalah oleh hakim. 

Sebaliknya, banyak juga karena salah dalam menilai alat bukti, atau tidak cukup kuat alat bukti, orang yang sebenarnya bajingan dan telah melakukan kejahatan, bisa diputuskan bebas oleh pengadilan. Kisah-kisah peradilan sesat seperti itu, selalu saja terjadi dan akan terus terjadi karena keterbatasan hakim, jaksa, advokat, hukum, utamanya hukum acara dan hukum pembuktian. Dengan demikian, untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang tersesat tersebut, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan, baik dalam kasus pidana maupun dalam kasus perdata.

Hukum Pembuktian


Baca Juga

Akan tetapi, sebelum kita melangkah jauh tentang berbagai seluk-beluk mengenai teori hukum pembuktian ini, ada baiknya terlebih dahulu kita melihat apa sebenarnya yang dimaksud dengan hukum pembuktian itu.

Hukum adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentanq pembuktian. Menurut hemat penulis, yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum baik dalam acara perdata maupun pidana, maupun acara acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur-prosedur khusus untuk menget apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di Pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.
Ada suatu perbedaan yang tajam antara pembuktian dalam hukum acara pidana dan pembuktian dalam hukum acara perdata. Di samping perbedaan tentang jenis alat bukti, terdapat juga perbedaan tentang system pembuktian.

Sistem pembuktian dalam acara pidana dikenal dengan system negative (negatief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicarai oleh hakim adalah_kebenaran yang materil, sedangkan dalam_hukum acara perdata berlaku sistem pernbuktian positif (poslfief wettelijk bewijsleef), di mana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang formal.

Yang dimaksud dengan system negative, yang  merupakan sistem yang berlaku dalam hukum acara pidana, adalah suatu sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu:

  • alat bukti yang cukup dan
  • keyakinan hakim"

Dengan demikian, tersedianya alat bukti saja belum cukup untuk menjatuhkan hukuman pada seorang tersangka. Sebaliknya, meskipun hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, jika tidak tersedia alat bukti yang cukup, pidana belum dapat dijatuhkan oleh hakim.

Sistem pembuktian negatif ini diakui berlakunya secara eksplisit oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, melalui Pasal 183. menyatakan sebagai berikut:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua atat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya."
Sistem pembuktian negatif dalam sistem pembuktian pidana diberlakukan karena yang dicari oleh hakim-hakim pidana adalah suatu kebenaran materil (materiele waarheid).

Seperti telah disebutkan bahwa karena dalam sistem pembuktian perdata berlaku  sistem positif, maka yang akan dicari oleh hakim adalah suatu kebenaran formal sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsure keyakinan hakim dalam system hukum pembuktian perdata tidak berperan.

Sebenamya, di samping sistem negatif (dalam pembuktian pidana) dan sistem positif (dalam pembuktian perdata), masih ada sistem pembuktian lain lagi yang disebut dengan sistem pembuktian semata-mata keyakinan hakim (bloot gemoedeliikke overtuiging) yaitu. suatu sistem pembuktian yang semata-mata mengandalkan keyakinan hakim, yang berarti jika sudah ada keyakinan hakim, suatu masalah dianggap_terbukti meskipun alat buktinya tidak cukup membuktikan. Sistem pembuktian yang terlalu berpegang pada unsur keyakinan hakim seperti ini tidak dianut dalam sistem hukum lndonesia.

Seperti telah disebutkan bahwa dalam bidang hukum perdata, karena yang dicari oleh hakim hanyalah suatu kebenaran formal, jadi bukan kebenaran yang sesungguhnya, bahkan suatu kebenaran yang bersifa!"kemungkinan" (probable) saja sudah mencukupi, maka suatu kebenaran yang sesungguhnya sulit diwujudkan dalam praktik. Hal ini disebabkan oleh beberapa halsebagai berikut:
Faktor sistem adversarial, yang memberikan hak seluas-luasnya kepada para pihak untuk saling membuktikan, saling membantah, dan saling mengajukan argumennya masing-masing.
Karena menggunakan sistem adversarial, fungsi hakim pasif saja dalam acara perdata, hakim tidak bolek aktif seperti dalam system inkuisitorial. Pada prinsipnya, hakim perdata tidak boleh memutuskan melebihi dari hanya yang dikemukakan dan diminta oleh para pihak yang berperkara, dan harus memutuskan sesuai dengan bukti-bukti yang ada sekalipun hakim menyangsikan kebenaran dari pembuktian tersebut.

Sulitnya mencari kebenaran dari suatu alat bukti disebabkan tidak adanya keharusan untuk menggunakan sistem pencarian keadilan melalui pemakaian metode ilmiah dan teknologi, yang tingkat kebenarannya dapat terukur. Bahkan, di mana-mana masih banyak hambatan untuk secara langsung menerima alat bukti sainstifik di pengadilan. Hal ini terjadi dalam sistem pembuktian pidana, terlebih lagi dalam sistem pembuktian perdata.

Di samping alasan-alasan tersebut di atas, terdapat pula berbagai kelemahan lainnya dari alat bukti tersebut, baik dalam bidang hukum pidana maupun dalam bidang hukum perdata, yang menyebabkan pencarian keadilan tidak selamanya dapat direalisasi. Kelemahan-kelemahan tersebut, misalnya, sebagai berikut:

  1. Alat Bukti  yang palsu.
  2. Alat bukti yang hanya menghasilkan prasangka atau dugaan saja.
  3. Kebohongan/kelicikan.
  4. Keterbatasan para pihak untuk membuktikan.
  5. Keterbatasan hakim dalam menafsirkan penggunaan dari alat bukti.
  6. Mafia peradilan.


Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut:

  • Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
  • Reability, yakni atat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misallya, tidak palsu).
  • Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
  • Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

Di samping itu, jika dilihat dari segi kedekatan antara alat bukti dan fakta yang akan dibuktikannya, terdapat dua macam alat bukti, yaitu sebagai berikut:

  • Alat bukti langsung dan
  • Alat bukti tidak langsung

Yang dimaksud dengan alat bukti langsung ( direct evidence) adalah alat bukti dimana saksi melihat langsung fakta yang akan dibuktikan sehingga fakta tersebut terbukti langsung ( dalam satu tahap saja ) dengan adanya alat bukti tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan alat bukti yang tidak langsung ( indirect evidence ) atau yang disebut juga dengan alat bukti sirkumstansial adalah suatu alat bukti dimana antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat hubungannya setelah ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu.
contoh dari alat bukti langsung adalah manakala saksi melihat langsung bahwa si pelaku kejahatan mencabut pistolnya dan menembak ke arah korban, saksi mendengar bunyi letusan, dan kemudian melihat langsung korban terkapar.

Sedangkan contoh dari bukti tidak langsung (bukti sirkumstansial) adalah manakala di tempat kejadian, saksi untuk kasus pembunuhan melihat korban tersungkur dengan darah di perutnya, dan di dekatnya terlihat tersangka memegang pisau yang berlumuran darah, dan kemudian pelaku melarikan diri. Jadi, saksi sebenarnya tidak melihat dengan matanya sendiri tentang proses terjadinya pembunuhan tersebut, tetapi dari keterangan dalam kesaksiannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa korban dibunuh oleh tersangka dengan pisau.

Selanjutnya, jika dilihat dari segi fisik dari alat bukti, alat bukti tersebut dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:

  • alat bukti testimonial,
  • alat bukti yang berwujud, dan
  • alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial.

Yang dimaksud dengan alat bukti testimonial adalah pembuktian yang diucapkan (oral testimony) yang diberikan oleh saksi di depan pengadilan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan alat bukti yang berwujud (tangible evidence) adalah model-model alat bukti yang dapat dilihat wujudnya/ bentuknya, yang pada prinsipnya terdiri atas dua macam, yaitu:

Alat Bukti Riil.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan alat bukti riil adalah sejenis alat bukti yang merupakan benda yang nyata ada di tempat kejadian, misalnya, pistol atau pisau yang telah digunakan untuk membunuh, atau rnesin yang tidak berfungsi sehingga menyebabkan kecelakaan.

Alat Bukti Demonstratif.

Yang dimaksudkan dengan alat bukti demonstratif adalah alat bukti yang merupakan benda yang nyata tetapi bukan benda yang ada di tempat kejadian, misalnya, alat bantu visual atau audio visual, foto, gambar, grafik, model anatomi tubuh, dan sebagainya.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial adalah bentuk campuran antara alat bukti testirnonial dan alat bukti berwujud. Dalam hal ini, sebenarnya alat bukti tersebut fisiknya berwujud, tetapi memiliki sifat yang testimonial, misalnya, transkrip dari keterangan saksi (deposisi) atau transkrip dari kesaksian dalam sidang sebelumnya di kasus yang lain.

Bahwa dalam kenyataannya di samping alat bukti konvensional yang sudah lama dikenal, seperti alat bukti surat, saksi, pengakuan, dan sebagainya, sangat banyak model alat bukti yang nonkonvensional, tidak terantisipasi pada saat HIR ataupun KUHAP dibentuk, misalnya, tentang alat bukti elektronik, sainstifik, dan lain-lain. oleh karena itu, dapat atau tidaknya diterima alat bukti tersebut di pengadilan, masih mengandung banyak perdebatan. Akan tetapi, menurut hemat penulis, agar hukum pembuktian kita tidak ketinggalan kereta api, alat-alat bukti nonkonvensional tersebut haruslah dipertimbangkan hakim untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan. Hal ini dapat dilakukan, baik lewat alat bukti "persangkaan" dalam hukum acara perdata (vide Pasal 164 HIR) maupun melalui alat bukti "petunjuk" dalam hukum acara pidana (vide Pasal 184 KUHAP)'

Sebagaimana diketahui bahwa alat bukti persangkaan dalarn hukum acara perdata terdiri atas persangkaan berdasarkan undang-undang atau persangkaan berdasarkan pendapat hakim. 
Persangkaan yang berdasarkan Undang-undang, suatu persangkaan hukum dengan fakta-fakta yang dapat  menimbulkan persangkaan tersebut ditunjukkan sendiri oleh undang undang. Adapun untuk persangkaan yang berdasarkan pendapat hakim,  undang-undang tidak secara tegas menunjukkan fakta fakta yang dapat menimbulkan persangkaan tersebut, tetapi atas fakta-fakta tersebut, hakim secara logis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa suatu persangkaan hukum telah terjadi. sebagai contoh, jika menurut ilmu tentang golongan darah bahwa seorang anak mempunyai golongan darah yang tidak cocok dengan golongan darah dari ayahnya jika dikombinasi dengan golongan darah ibunya, hal ini dapat menjadi bukti persangkaan bagi hakim bahwa anak tersebut tidak lahir dari pasangan suami istri yang bersangkutan. contoh-contoh dari persangkaan yang berdasarkan undang-undang adalah sebagai berikut:

  1. Jika suatu barang bergerak, baik yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, ada suatu persangkaan bahwa siapa yang menguasai barang tersebut selama ini dia dianggap sebagai pemiliknya(vide Pasal 1977 ayat (1) KUH PerdataSetiap anak yang lahir selama perkawinan, menimbulkan persangkaan hukum bahwa ayah dalam perkawinan tersebut adalah ayah dari anak yang bersangkutan Lihat Pasal 250 KUHPerdata
  2. Jika suatu sewa rumah yang dibayar Secara berkala sudah dapat dibuktikan uang sewa sudah dibayar untuk tiga periode terakhir, dalam hal ini timbul persangkaan bahwa sewa sudah dibayar untuk periode-periode sebelumnya, kecuali pihak yang menyewakan dapat membuktikan sebaliknya. Persangkaan Seperti ini kita dapati dalam Pasal 1394 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut: "Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan tahunan untuk nafkah, bunga abadi atau bunga cagak hidup, bunga uang pinjaman, dan segala sesuatu yang pada umumnya harus dibayar setiap tahun atau tiap periode yang lebih pendek, maka dengan adanya tiga tanda bukti pembayaran secara berturut-turut, timbul suatu persangkaan bahwa angsuran- angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. "

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel