Niat Puasa
Monday, 1 May 2017
SUDUT HUKUM | Niat adalah rukun dari dua rukun puasa, menurut jumhur ulama. Namun beberapa ulama tidak memasukkan niat ke dalam rukun puasa, melainkan memasukkan ke dalam syarat sah puasa.
Niat adalah berketetapan (al-‘azm) di dalam hati untuk mengerjakan puasa sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah SWT dan taqarrub (pendekatan diri) kepada-Nya.
Dari Umar bin Al-Khattab ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya“. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sejak Malam
Jumhur ulama sepakat bahwa niat untuk berpuasa fardhu harus sudah terpasang sejak sebelum memulai puasa. Dan puasa wajib itu tidak sah bila tidak berniat sebelum waktu fajar itu.
Dalam fiqih, hal seperti itu diistilahkan dengan tabyit anniyah ( ة ت النی تبیی ), yaitu memabitkan niat. Maksudnya, niat itu harus sudah terpasang sejak semalam, batas paling akhirnya ketika fajar shubuh hampir terbit.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
Dari Hafshah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Barang siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Tirmidzy, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).
Namun para ulama sepakat bahwa ketentuan untuk berniat sejak sebelum terbitnya fajar hanya berlaku untuk puasa yang hukumnya fardhu, seperti puasa Ramadhan, puasa qadha’ Ramadhan, puasa nadzar dan puasa kaffarah.
Sedangkan untuk puasa yang bukan fardhu atau puasa sunnah, para ulama sepakat tidak mensyaratkan niat sebelum terbit fajar. Jadi boleh berniat puasa meski telah siang hari asal belum makan, minum atau mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika masuk ke rumah istrinya dan berniat untuk makan, namun ternyata tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Lalu kemudian Rasulullah SAW spontan berniat untuk melakukan puasa.
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW datang kepadaku pada suatu hari dan bertanya,“Apakah kamu punya makanan?”. Aku menjawab,”Tidak”. Beliau lalu berkata,”Kalau begitu aku berpuasa”. (HR. Muslim)
Para ulama menyimpulkan bahwa puasa ini adalah puasa sunnah dan bukan puasa wajib. Sebab kalau
seandainya puasa ini puasa wajib, tentunya Rasulullah SAW tidak mungkin siang-siang datang ke rumah istri beliau sambil berniat untuk makan di siang hari.
Satu Niat Untuk Satu Hari Atau Untuk Sebulan?
Apakah niat itu harus dilakukan setiap malam atau bisa dilakukan di awal ramadhan saja?
Para ulama berbeda pendapat:
- Jumhur Ulama : Harus Setiap Malam
Menurut jumhur ulama, niat itu harus dilakukan pada setiap malam yang besoknya kita akan berpuasa secara satu per satu. Tidak bisa digabungkan untuk satu bulan. Logikanya adalah karena masing-masing hari itu adalah ibadah yang terpisah-pisah dan tidak satu paket yang menyatu. Buktinya, seseorang bisa berniat untuk puasa di suatu hari dan bisa berniat tidak puasa di hari lainnya.
Oleh karena jumhur ulama mensyaratkan harus ada niat meski tidak perlu dilafazkan pada setiap malam hari bulan ramadhan.
- Al-Malikiyah : Boleh Niat Untuk Satu Bulan
Sedangkan kalangan fuqaha dari Al-Malikiyah mengatakan bahwa tidak ada dalil nash yang mewajibkan hal itu. Bahkan bila mengacu kepada ayat Al-Quran Al-Kariem, jelas sekali perintah untuk berniat puasa satu bulan secara langsung dan tidak diniatkan secara hari per hari.
Ayat yang dimaksud oleh Al-Malikiyah adalah :
Siapa diantara kalian yang menyaksikan bulan (Ramadhan), maka berpuasalah. (QS. Al-Baqarah : 185)
Menurut mereka, ayat Al-Quran Al-Kariem sendiri menyebutkan bahwa hendaklah ketika seorang mendapatkan bulan itu, dia berpuasa. Dan bulan adalah isim untuk sebuah rentang waktu. Sehingga berpuasa sejak hari awal hingga hari terakhir dalam bulan itu merupakan sebuah paket ibadah yang menyatu.
Dalam hal ini mereka membandingkannya ibadah haji yang membutuhkan masa pengerjaan yang berhari-hari. Dalam haji tidak perlu setiap hari melakukan niat haji. Cukup di awalnya saja seseorang berniat untuk haji, meski pelaksanaannya bisa memakan waktu seminggu.
Melafadzkan Niat
Melafazkan niat adalah ucapan lafadz atau kalimat yang sering dilantunkan orang ketika akan berpuasa. Biasanya dirangkai dengan doa-doa atau dzikir yang dibaca di malam hari setelah usai mengerjakan shalat tarawih. Misalnya seperti lafadz berikut :
Aku berniat puasa untuk esok hari dalam rangka menunaikan kewajiban puasa Ramadhan pada tahun ini karena Allah Ta’ala
Para ulama sepakat mengatakan bila seseorang sekedar melafadzkan niat seperti di atas, maka hukum belum sampai kepada niat itu sendiri. Sebab lafadz itu tempatnya hanya di lidah saja, padahal yang namanya niat itu adanya di dalam hati.
Maka orang yang melafadzkan niat tetapi tidak masuk ke dalam hati, dianggap belum sah dalam berniat. Sebaliknya, orang yang berniat di dalam hatinya, yaitu menyengaja untuk melakukan puasa, meski pun lidahnya tidak mengucapkan apapun, niatnya sudah terlaksana.
Sedangkan hukum melafadzkan niat itu sendiri menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian mengatakan bila lafadz itu berfungsi untuk menguatkan niat, maka hukumnya disunnahkan, menurut mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah dan sebagian dari mazhab Al- Hanafiyah.
Namun sebagian ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah memakruhkan bacaan atau lafadz niat dalam sebuah ibadah, karena tidak ada dasar dalilnya dari Rasulullah SAW.
Sayangnya pemahaman tentang melafadzkan niat kadang mengalami distorsi, sehingga di tengah masyarakat menjadi bahan perdebatan tersendiri, karena ekstrimitas masing-masing kubu.
Kubu pertama adalah kubu yang sangat menekankan pelafadzan niat, sehingga seolah-olah puasa menjadi tidak sah bila niatnya tidak dilafadzkan, bahkan harus dengan suara keras, kalau perlu pakai pengeras suara di dalam masjid.
Korbannya adalah orang-orang awam, mereka yang kurang mengerti duduk masalah akhirnya berkesimpulan bahwa yang namanya niat itu harus membaca keras lafadzlafadz itu. Dan bila tidak mampu membacanya, atau tidak hafal, berarti puasanya menjadi tidak sah. Berapa banyak orang yang di siang hari tidak puasa Ramadhan, alasannya terlalu sederhana, yaitu karena tidak bisa atau tidak hafal melafadzkan niatnya.
Sementara di kubu kedua, juga sering terjadi ekstrimitas. Kalau sebagian ulama di dalam mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah hanya sekedar memakruhkan pelafadzan niat ini, ternyata yang berkembang di kalangan tertentu sudah sampai titik yang terlalu jauh, yaitu menuduh sesat, bahkan membid’ahkan sambil mengancam akan masuk neraka segala.
Logikanya terlalu sederhana, ada orang berpuasa dengan melafadzkan niat, bukan masuk surga tetapi malah masuk neraka. Sungguh ajaib!
Batalnya Puasa Karena Batalnya Niat
Berniat untuk puasa harus terus menerus terjadi dan berlangusng di dalam hati hingga selesainya waktu untuk berpuasa, yaitu ketika matahari terbenam di ufuk barat. Maka seorang yang di tengah-tengah puasanya tiba-tiba berniat bulat untuk membatalkan puasanya, meski pun belum sampai melakukan makan atau minum, maka puasanya sudah dianggap batal. Mengapa?
Karena keharusan berlangsungnya niat sejak terbit fajar hingga matahari terbenam itu berarti tidak boleh terjadi perubahan niat dari niat berpuasa menjadi niat untuk tidak puasa.