Proses Penyelesaian Sengketa yang Berkaitan dengan Sertipikat Palsu dan Sertipikat Ganda
Friday, 5 May 2017
SUDUT HUKUM | Secara umum segala permasalahan pertanahan yang dilaporkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat diselesaiakan dengan beberapa tahapan. Mekanisme penyelesaian sengketa hak atas tanah tersebut dibagi dalam beberapa tahap yaitu:
Pengaduan
Dalam tahap pengaduan biasanya sengketa hak atas tanah yang berkaitan dengan Sertipikat hak Atas Tanah biasanya berisikan hal-hal dan peristiwaperistiwa yang menggambarkan bahwa pemohon atau pengadu adalah yang berhak atas tanah yang disengketakan.
Penelitian
Penelitian kasus tersebut dapat dilakukan dengan: (1) Pengumpulan data administrasi; (2) Penelitian fisik di lapangan.
Pencegahan Mutasi
Atas dasar petunjuk ataupun perintah atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota terhadap tanah yang mengalami sengketa dapat dilakukan langkah-langkah pengamanan berupa pencegahan atau penghentian untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan (mutasi) yang dilakukan terhadap bidang tanah tersebut.
Musyawarah
Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil didalam penyelesaian sengketa. Pihak yang membantu penyelesaian musyawarah yaitu pihak mediator (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota).
Pencabutan/Pembatalan Surat Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Penyelesaian Melalui Pengadilan
Apabila usaha musyawarah yang telah dilakukan gagal maka kepada yang bersangkutan diserahkan untuk mengajukan masalahnya kepada Pengadilan Negeri di wilayah hukum para pihak berada.
Sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (In Kracht Van Gewijsde), surat-surat tanda bukti yang diberikan berupa sertipikat hak atas tanah dikatakan sebagai alat pembuktian yang kuat, hal ini berarti bahwa keterangan-keterangan yang tercantum dalam sertipikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain. Apabila pihak lain dapat membuktikan sebaliknya maka yang berwenang memutuskan alat pembuktian mana yang benar adalah Pengadilan (Sumarjono, 1982: 26).