Akibat Hukum Zihar
Thursday, 14 September 2017
SUDUT HUKUM | Seperti yang telah dibahas di atas, zihar memiliki pengertian perkataan suami yang menyamakan seorang isteri dengan ibunya, seperti kalimat “anti ‘alayya kazahri ummi” yang artinya dari kamu bagiku adalah seperti punggung ibuku. Pada masa Jahiliyah dulu, zihar digunakan oleh orang-orang Arab untuk menceraikan isterinya, namun kemudian hukum itu dirubah oleh Islam.
Ketika Islam datang ucapan zihar tidak lagi membuat seorang perempuan dicerai, namun hanya haram untuk digauli saja. Zihar yang telah memenuhi rukun dan syarat, mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
- Suami tidak boleh menggauli isterinya sebelum membayar kafarat, bahkan menurut jumhur ulama (selain madhhab Syafi’i) termasuk diharamkan mencium, merayu, dan memandang isterinya dengan nafsu. Akan tetapi menurut ulama madhhab Syafi’i, yang diharamkan hanyalah hubungan seksual saja. Tidak termasuk mencium, memeluk, dan lain sebagainya.
- Isteri berhak menuntut untuk digauli dan berhak juga menolak untuk digauli suaminya sampai kafarat telah dibayar oleh suaminya. Di samping itu, hakim berhak memaksa suami untuk membayar kafaratnya atau menceraikan isterinya. Apabila suami menceraikan isteri yang ia zihar, sedangkan kafarat ziharnya belum dibayar oleh suami, dan kemudian ia ingin merujuk isterinya, maka ia wajib membayar kafart zihar sebelum menggauli. Dalam keterangan lain, dijelaskan bahwa seorang suami setelah menzihar isterinya, ia diberi waktu tempo oleh pihak yang berwajib selama 4 (empat) bulan untuk berfikir, seperti dalam kasus ila’. Jika dalam waktu tempo tersebut ia tidak menebus kesalahannya, maka pernyataan ziharnya itu bisa mengakibatkan perceraian yang tak bisa dirujuk.