Pengertian Perceraian (Talak)
Thursday, 16 November 2017
SUDUT HUKUM | Kata “cerai” menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti: pisah, putus hubungan sebagai suami istri, talak. Kemudian, kata “perceraian” mengandung arti: perpisahan, perihal bercerai (antara suami istri), perpecahan. Adapun kata “bercerai” berarti: tidak bercampur (berhubungan, bersatu) lagi, berhenti berlakibini (suami istri).
Istilah perceraian terdapat dalam pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan fakultatif bahwa “perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan”.
Jadi secara yuridis istilah perceraian berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti berlaki-bini (suam istri) sebagaimana diartikan dalam kamus besar Bahasa Indonesia di atas.
Istilah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum positif tentang perceraian menunjukkan adanya:
- Tindak hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus hubungan perkawinan diantara mereka;
- Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu kematian suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa;
- Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami istri.
Sedangkan dalam istilah fiqih disebut Talaq yang berarti membuka ikatan, membatalkan perjanjian. Perceraian dalam istilah fiqih juga sering disebut furqah, yang artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua istilah itu digunakan oleh para ahli fiqih sebagai satu istilah yang berarti “perceraian suami istri”.
Putusnya perkawinan ini diatur juga oleh negara melalui Undang-Undang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksanaan dari UU Perkawinan dan juga diatur dalam KHI. Pengertian talak disebutkan dalam KHI pasal 117 yang menjelaskan bahwa talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Pasal 39 UU Perkawinan terdiri dari 3 ayat dengan rumusan:
- Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;
- Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri;
- Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Ketentuan tentang keharusan perceraian di pengadilan ini memang tidak diatur dalam fiqh mazhab apa pun, termasuk Syi’ah Imamiyah, dengan pertimbangan bahwa perceraian khususnya yang bernama talak adalah hak mutlak seorang suami dan dia dapat menggunakannya di mana saja dan kapan saja; dan untuk itu tidak perlu memberi tahu apalagi minta izin kepada siapa saja. Dalam pandangan fiqh perceraian itu sebagaimana keadaannya perkawinan adalah urusan pribadi dan karenanya tidak perlu diatur oleh ketentuan publik.