Sejarah Kewarisan Islam
Thursday, 9 November 2017
SUDUT HUKUM | Pada zaman jahiliyah, aturan pusaka orang Arab didasarkan atas nasab dan kekerabatan. Namun terbatas kepada anak laki-laki yang sudah dapat memanggul senjata untuk membela kehormatan keluarga dan dapat memperoleh harta rampasan perang. Hal ini terus berlaku sampai permulaan Islam, sampai turunnya surat An-Nisa ayat 7 yang menerangkan bahwa para lelaki memperoleh bagian dari harta peninggalan orang tua dan kerabat terdekat. Dengan turunnya ayat tersebut terhapuslah adat jahiliyah yang tidak memberikan pusaka bagi anak kecil dan perempuan.
Sistem warisan di masa jahiliyah juga didasarkan atas sumpah dan perjanjian. Jika seorang laki-laki berkata kepada temannya “darahku, darahmu, tertumpahnya darahmu berarti tertumpahnya darahku. Engkau menerima pusaka dariku, dan aku menerima pusaka darimu. Engkau menuntut belaku dan aku menuntut belamu”. Dengan ucapan ini mereka kelak menerima seperenam harta dari masing-masing. Yang selebihnya diterima oleh ahli waris. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Quran surat An-Nisa ayat 33 yang kemudian dimansukh dengan ayat-ayat mawaris, yaitu surat An-Nisaayat 11, Al-Anfal ayat 75, dan Al-Ahzab ayat 6.
Cara warisan lain di masa jahiliyah yang terus berlaku hingga permulaan Islam adalah adopsi. Di zaman jahiliyah mengangkat anak orang lain sebagai anaknya dan dibangsakan kepadanya tidak lagi kepada ayah kandungnya dan anak itu menerima warisan dari orang tua angkatnya adalah perbuatan yang sudah lazim, keadaan ini berlaku hingga turun surat Al-Ahzab ayat 4,5, dan 6. Dengan ayat itu lenyaplah adat jahiliyah yang memberikan pusaka kepada anak-anak angkatnya.
Pada masa awal Islam, warisan dapat pula diperoleh karena:
- Hijrah dari Makkah ke Madinah. Apabila seseorang berhijrah kemudian meninggla maka hartanya dipusakai oleh keluarga yang berhijrah saja.
- Persaudaraan yang diikat oleh Rasulullah saw. di antara Muhajirin dan Anshar.