Pengertian Grasi
Thursday, 21 December 2017
SUDUT HUKUM | Ditinjau dari sudut bahasa, istilah grasi berasal dari bahasa Latin, yaitu gratia yang berarti pengampunan.Grasi dikenal dalam seluruh sistem hukum di seluruh dunia. Di Belgia grasi dikenal dengan istilah genade. Diberbagai sistem hukum negara, ada beberapa istilah lain yang merujuk pada pengertian grasi tersebut. Di Amerika Serikat dan Filipina dikenal adanya istilah, pardon yang artinya pengampunan dan istilah clemency atau executive clemency yang artinya pengampunan secara luas. Di negara-negara yang berbentuk monarki, seperti Spanyol dipergunakan istilah pardon (indulto) dan derecho degarcia(right of grace).
Di Inggris, dipergunakan istilah pardon dan Royal Prerogative Mercy atau clemency atau graces. Begitu pula berlaku di Negara Kanada, Perancis dan Iran. Dalam aplikasinya pardon dan clemency mempunyai arti dan implikasi yang berbeda di masing-masing negara. Tetapi secara umum di beberapa negara hanya digunakan istilah pardon, seperti di Afrika Selatan, Rusia, Chile, Swiss.Istilah yang terkait dengan terminology pardon (pengampunan) adalah commutation yang artinya pergantian atau peringanan jenis hukuman; remission yang artinya penghapusan atau pengurangan masa hukuman atau denda; reprieve yang artinya penundaan sementara atas hukuman; amnesty yang artinya penghapusan kejahatan. Maka istilah clemency secara luas adalah mencakup makna-makna terminologi tersebut diatas atau hanya mengandung makna kata amnesty dan pardon.
Kata grasi berasal dari bahasa latin Pardonare, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yaitu Pardone. Menurut Blacks Law Dictionary Sixth Edition disusun oleh Henry Campbell Black, Pardon adalah:
An executive action that mitigates or sets asid punishment for a crime. An act of grace from governing power which mitigates the punishment the law demands for the offense and restore the right and privileges forfeited on account of the offense.
Secara etimologis, grasi berasal dari bahasa Belanda berarti anugerah atau rahmat, dan dalam terminologi hokum diartikan sebagai keringanan hukuman yang diberikan kepala negara kepada terhukum setelah mendapat keputusan hakim atau pengampunan secara individual. J.C.T Simorangkir memberikan pendapat bahwa grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merubah sifat atau bentuk hukuman itu.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi memberikan definisi grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden, sedangkan Satochid Kertanegara memberikan pendapat bahwa grasi atau pengampunan adalah merupakan juga hal yang dapat menggugurkan hak untuk melaksanakan hukuman sama halnya dengan pendapat Utrecht yang menyatakan bahwa grasi termasuk ke dalam alasan gugurnya melaksanakan hukuman di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, grasi yaitu menggugurkan menjalani hukuman atau sebagian hukuman.
Adami Chazawi pun memiliki pendapat yang sama, ia menjelaskan setiap orang yang terbukti melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran wajib dijatuhi kepadanya pidana (hukuman). Menurut Bonger, pidana adalah mengenakan suatu penderitaan karena orang itu telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat. Pidana yang dijatuhkan melalui putusan hakim pada orang yang dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana, pada saat telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) menjadi wajib untuk dijalankan. Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim menjadi putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu apabila:
- Pada hari diucapkannya putusan itu dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusan tersebut diterima baik oleh Terpidana maupun oleh Jaksa Penuntut Umum;
- Pada hari kedelapan setelah putusan diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum, dalam sidang yang terbuka untuk umum, dalam hal Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa ketika putusan diucapkan tidak menyatakan sikap yang tegas terhadap putusan;
- Pada hari terdakwa menyatakan sikapnya menerima putusan dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, sementara Jaksa Penuntut Umum telah menyatakan sikap menerima pada saat putusan diucapkan, dan demikian juga sebaliknya;
- Pada hari terdakwa secara tegas menerima putusan (sementara Jaksa Penuntut Umum secara tegas menerima) dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak menerima pemberitahuan tentang putusan tingkat banding oleh Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus dalam tingkat pertama;
- Pada hari diberitahukannya putusan kasasi dari Mahkamah Agung pada Terpidana, dalam hal perkara itu diperiksa dan diputus dalam tingkat terakhir oleh Mahkamah Agung.
Baca Juga
Setelah keputusan telah memiliki keputusan hukum yang tetap maka negara memiliki hak untuk menjalankan hukuman.Hak negara untuk melaksanakan hukuman tersebut dapat gugur karena sebab-sebab tertentu. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa gugurnya hak pelaksanaan hukuman itu dapat disebabkan karena matinya terhukum (pasal 83 KUHP) dan karena kadaluwarsa (pasal 84 KUHP).
Pasal 83 KUHP menyebutkan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”. Dasar peniadaan pelaksanaan pidana akibat kematian yaitu karena sifat pertanggungjawaban dalam hukum pidana dan pembalasan dari suatu pidana. Seseorang yang melakukan tindak pidana harus menanggung sendiri akibat hukum dari tindak pidana yang diperbuatnya berupa pidana (nestapa/hukuman) sebagai suatu bentuk dari pembalasan atas tindak pidana yang dilakukannya. Apabila seseorang yang dijatuhi hukuman itu meninggal dunia sebelum dilaksanakan hukuman maka hak untuk melaksanakan hukuman kepadanya secara praktis tidak dapat dijalankan lagi, kecuali dalam hal hukuman denda. Meskipun orang yang dikenakan hukuman denda meninggal dunia, ini tidak perlu menyebabkan hapusnya hak untuk melaksanakan hukuman denda itu karena denda dapat dilaksanakan terhadap harta benda dari orang yang meninggal tersebut.
Pasal 84 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus karena kadaluwarsa”. Kewajiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya dapat menjadi hapus setelah lewatnya waktu tertentu.Hal ini dilator belakangi agar tercapainya kepastian hukum baik bagi terpidana maupun bagi negara, karena apabila pidana yang telah dijatuhkan oleh negara dalam waktu sekian lama tidak juga dilaksanakan dapat menderitakan terpidana sehingga pada waktu tertentu haruslah diakhiri. Di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebab gugurnya hak pelaksanaan hukuman yaitu karena memperoleh grasi dari Kepala Negara. Dari berbagai pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa grasi tidak menghilangkan unsur kesalahan (schuld) yang melekat pada putusan hakim.Unsur kesalahan dalam putusan hakim itu tetap ada, namun pelaksanaan putusan tersebut dihilangkan atau dikurangi atau diubah jenis hukumannya.
Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi telah disebutkan bahwa pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terikat dengan penilaian terhadap putusan hakim.Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Hak prerogatif diartikan sebagai hak khusus yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa suatu negara dan diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang, yang terpisah dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang berlaku.
Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden yang diberikan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Dalam sistem hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, grasi tidak termasuk upaya hukum meskipun permohonan grasi yang diajukan terpidana merupakan upaya yang dapat menghapuskan atau setidak-tidaknya meringankan hukumannya. Jika suatu kasus telah diputus oleh Pengadilan Negeri kemudian diajukan upaya hukum banding sehingga kasus tersebut diputus oleh Pengadilan Tinggi, lalu diajukan kasasi di Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde), maka hanya terdapat suatu upaya hukum yang dapat dilakukan adalah menempuh upaya hukum Peninjauan Kembali. Apabila terdakwa terbukti bersalah dan dipidana, maka pertolonganterakhir yang sesungguhnya tidak termasuk lagi dalam upaya hukum (biasa dan luar biasa) yaitu dengan mengajukan grasi kepada Presiden.
Grasi mungkin tampak seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya grasi bukan merupakan upaya hukum.Upaya hukum sudah berakhir ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusan kasasi atau Peninjauan Kembali.Suatu permohonan grasiyang diajukan kepada Presiden dapat dikabulkan maupun ditolak oleh Presiden. Menurut Jimly Asshiddiqe, grasi merupakan kewenangan Presiden yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan peradilan.