-->

Pengertian Psikologi Hukum

SUDUT HUKUM | Psikologi hukum merupakan bidang yang baru dalam kajian ilmu hukum. Letak psikologi hukum dalam kajian hukum yaitu ada dalam kajian empiris terhadap hukum. Pendekatan psikologi terhadap hukum dimaksudkan untuk mengkaji perilaku-perilaku masyarakat sebagai subjek hukum dalam melihat fenomena hukum yang ada.

Pendekatan psikologi hukum menekankan determinan-determinan manusia dalam hukum, termasuk dari perundang-undangan dan putusan hakim. Hal ini sama dengan kajian sosiologi hukum dan antropologi hukum, dimana semuanya termasuk kajian empiris. Hanya saja psikologi hukum fokus pendekatannya pada individu sebagai unit analisisnya. Individu dipandang bertanggung jawab terhadap perilakunya sendiri dan memberikan kontribusi terhadap timbulnya perilaku itu (Achmad Ali, 2008:9)

Psikologi hukum mengkaji dampak yang ditimbulkan oleh polisi, korban, hakim, pengacara, jaksa, terdakwa, dan sipir lembaga pemasyarakatan terhadap sistem hukum. Psikologi hukum berasumsi bahwa karakteristik dan partisipan sistem hukum ini mempengaruhi cara kerjannya sistem hukum. Di dalam karakteristik tersebut, tercangkup kemampuan dari orang-orang tersebut, perspektif mereka, nilai-nilai mereka, pengalaman mereka serta seluruh faktor yang mempengaruhi perilaku mereka. Contohnya, apakah seorang personel polisi akan memutuskan menangkap seorang pelanggar ketentuan lalu lintas atau membiarkanya pergi setelah diperingati?, Apakah seorang terdakwa dan pengacaranya menerima tawaran untuk mengaku bersalah dari jaksa penuntut umum untuk meringankan pidananya, atau mereka tetap mengaku tidak bersalah?, Apakah seorang hakim yang bersuku A akan lebih bersimpati terhadap terdakwa yang bersuku A? (Achmad Ali, 2008: 9-10).

Menurut Soerjono Soekarno (Achmad Ali, 1990: 188)
Psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum sebagai salah satu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut.”
Oleh karena itu, Soerjono Soekanto (Achmad Ali, 1990: 188189) menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang ditujukan akan berkisar pada soal-soal berikut:
  1. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaedah hukum.
  2. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola penyelesaian terhadap pelanggaran kaedah hukum.
  3. Akibat-akibat dan pola-pola penyelesaian sengketa tertentu.

Menurut Balckburn (Yusti Probowati Rahayu, 2005:4) mengatakan bahwa bidang Psyco-legal issues meliputi penelitian dalam kesaksian, pengambilan keputusan juri atau hakim , bidang kriminologi meliputi penelitian sebab, langkah preventif dan kuratif perilaku kriminal dan perdampingan di pengadilan dilakukan melalui peran sebagai saksi ahli di pengadilan.
Sedangkan menurut Bartol dan Bartol (Yusti Probowati Rahayu, 2005:4) menyatakan bahwa peran psikologi hukum dapat dibedakan sebagai peneliti yang meneliti aspek perilaku manusia dalam proses hukum (seperti ingatan saksi, pengambilan keputusan hakim/juri, perilaku kriminal) dan profesi psikologi hukum yang memberikan konsultasi psikologi dalam permasalahan hukum.

Baca Juga

Fokus utama dalam kajian pikologi hukum lebih terfokus pada partisipan utama dalam proses penegakan hukum (Achmad Ali, 2008:10) :
  1. Saksi mata;
  2. Tersangka dan atau terdakwa;
  3. Korban kriminal;
  4. Jaksa Penuntut Umum;
  5. Pengacara;
  6. Hakim (dan juri jika menggunakan sistem juri); dan
  7. Terpidana

Dalam perspektif psikologi hukum, perilaku para partisipan dalam sistem hukum tidak hanya merupakan hasil dari kualitas internal mereka, tetapi juga dari lingkungan di mana mereka bekerja. Kualitas lingkungan eksternal serta tekanan-tekanan situasi dapat mempengaruhi perilaku individu. Jaksa penuntut umum dapat merekomendasikan tuntutan pidana yang lebih berat bagi seorang penjahat berat, jika kasusnya telah banyak dipublikasikan, dimana reaksi marah dari masyarakat sangat besar terhadap kasus kejahatan itu. Jaksa penuntut umum juga memiliki kepentingan untuk promosi jabatannya. Demikian juga, di dalam sistem peradilan juri, dimana seorang juri yang mengemukakan putusan bersalah, mungkin sebagai hasil dari pengaruh juri lain, jika juri lain secara bersemangat menyatakan ketidaksalahan terdakwa. Pendekatan psikologi hukum berkonsentrasi terhadap perilaku para partisipan dalam sistem hukum. Semua anggota masyarakat merupakan partisipan aktif dalam sistem tersebut, meskipun ada yang tidak langsung memegang posisi yang memiliki otoritas penuh dalam pekerjaan-pekerjaan yang secara langsung terkait dengan pemberian keadilan (Achmad Ali, 2008: 10).

Adapun ruang lingkup dan subjek bahasan dalam kajian psikologi hukum yang dikemukakan secara sangat terperinci oleh Brian L. Cultler (Achmad Ali, 2009: 5-6) yaitu sebagai berikut :
  1. Criminal Competences ( Kompetensi Kriminal)
  2. Criminal Responsibility (Petanggungjawaban Pidana)
  3. Death Penalty (Pidana Mati)
  4. Divorce dan Child Custody (Perceraian dan Pemeliharaan Anak)
  5. Education and Professional Development (Pendidikan dan Perkembangan Profersinal)
  6. Eyewitness Memory (Ingatan Saksi Mati)
  7. Forensic Assessment In Civil And Criminal Case (Penilaian forensic dalam kasus perdata dan pidana)
  8. Juvinile Offenders (Pelanggar Hukum Yang Masih Anak-Anak)
  9. Mental Health Law ( Hukum Kesehatan Mental)
  10. Psychological and Forensik Assessment Instruments (Instrument Penilaian Psikologis Dan Forensik)
  11. Psychological of Criminal Behavior (Psikologi Tentang Prilaku Kriminal)
  12. Psychology of Policing and Investigations (Psikologi polisi dan dan investigasi)
  13. Sentencing and Incarceration (Pemidanaan dan Penahanan/pemenjaraan)
  14. Symptoms and Disorders Relevant to Forensic Assessment (Penilaian Forensik Terhadap Gejala dan Peyakit yang Relevan)
  15. Trial Processes (Proses Persidangan Pengadilan)
  16. Victim Reactions to Crime (Reaksi Korban terhadap Kejahatan)
  17. Violence Risk Assessment (Penilaian Resiko Kekerasan)

Ketujuh belas ruang lingkup dan subjek balasan psikologi hukum yang dikemukakan oleh Brian L. Cutler diatas merupakan materi kajian psikologi menurut versinya sendiri.
Selain ruang lingkup dan subjek bahasan psikoogi hukum yang dikemukakan oleh Brian. L Cutler diatas, adapula jenis-jenis pendekatan yang dilakukan terhadap psikologi hukum, antara lain ada empat pendekatan yang dikemukakan oleh Blackburn (Achmad Ali, 2009: 7)
  1. Psychology in Law
  2. Psychology and Law
  3. Psychology of Law
  4. Psychology in the courts or Forensic Psychology

Menurut Blackburn (buku ajar Psikologi Hukum oleh Achmad Ali, 2009:8) Psychology in law (Psikoogi dalam Hukum) mengacu pada penerapan-penerapan spesifik psikologi hukum di dalam hukum, seperti persoalan kehandalaan kesaksian mata, kondisi mental terdakwa dan orang tua mana yang cocok, ibu atau ayah untuk ditetapkan sebagai wali pemeliharaan anak dalam kasus perceraian.

Psychology and law (Psikologi dan hukum) mencakupi, contohnya riset psikologi tentang para pelanggar hukum, juga riset-riset psikolegal terhadap perilaku polisi, advokad, jaksa, dan hakim.

Psychology of law (Psikologi tentang hukum) digunakan untuk mengacu pada riset psikologis tentang isu-isu seperti, mengapa orang mentaati dan tidak mentaati hukum, riset tentang perkembangan moral dari komunitas tertentu, riset tentang persepsi dan sikap politik terhadap berbagai sanksi pidana, dan cotohnya adalah pro kontra terhadap hukman mati, sebagai akibat adanya perbedaan persepsi dan moral yang dianut warga.

Forensic psychology (Psikologi Forensik) menunjukkan penyedian langsung informasi psikologi untuk pengadilan-pengadilan, sehingga dinamakan juga psychology in the courts. Salah satunya contohnya, jika majelis hakim meminta agar terdakwa diperiksa kewarasannya oleh tim psikiater, untuk dapat memutuskan ada tidaknya unsur dapat dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana tertentu. Sebagaiaman diketahui bahwa dalam hukum pidana, yaitu Pasal 44 ayat (1) kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada prinsipnya ditentukan bahwa salah satu alasan menhilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitingsground), adalah bahwa tidaklah dapat dipidana seseorang yang melakukan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dirinya, oleh karena dia tidak waras, yaitu daya berpikirnya kurang berkembang atau pikirannya terganggu oleh suatu penyakit (gebrekkige ontwikkeling of ziekelijke storing zijner verstandelijke vermogens). 

Sehubungan dengan ketidakwarasan itu, ada hal yang harus diketahui, bahwa seorang terdakwa baru dapat bebas dari pemidanaan, jika kondisi daya pikir pelaku itu yang menyebabkan perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada Si pelaku. Jadi kondisi ketidakwarasan psikologis pelaku, tidak selalu secara otomatis membebaskannya dari pemidanaan. Disinilah harus disadari betapa pentingnya peran psikologi forensik untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan ketidakwarasan (Achmad Ali, 2009: 10).

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel