Pengertian ”Sengketa Pilkada”
Saturday, 23 December 2017
SUDUT HUKUM | Sengketa terjadi karena adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk meminimalisir berbagai benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa abad yang lalu seorang ahli filsafat yang bernama Cicero mengatakan, “Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada masyarakat maka di situ ada hukum. Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya hukum itu adalah berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu adalah patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas. Kaidah berguna untuk menyelaraskan tiap kepentingan anggota masyarakat. Sehingga di masyarakat tidak akan terjadi benturan kepentingan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Van Kan, kepentingan-kepentingan manusia bisa saling bertumbukan kalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan sebagai usaha manusia untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di atas ternyata mempunyai kelemahan:
- Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum cukup melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat sebab ketiga kaidah ini tidak mempunyai sanksi yang tegas dan dapat dipaksakan.
- Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum mengatur secara keseluruhan kepentingan-kepentingan manusia seperti kepentingan manusia dalam bidang pertanahan, kehutanan, kelautan, udara dan lain-lain.
Oleh karena itu, diperlukan satu kaidah lagi yang dapat menjawab dua kelemahan di atas. Kaidah tersebut adalah kaidah hukum. Kaidah hukum mempunyai sifat pemaksa artinya kalau seseorang melanggar kepentingan orang lain maka dia akan dipaksa oleh hukum untuk mengganti rugi atau bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan dimasukan ke penjara agar kepentingan orang lain itu tidak terganggu. Lain dengan ketiga kaidah sebelumnya yang tidak mempunyai sanksi yang dapat dipaksakan.
Kaidah hukum juga mengisi kelemahan ketiga kaidah tadi yaitu dengan jalan berusaha mengatur seluruh peri kehidupan yang berhubungan dengan manusia sebagai anggota masyarakat maupun sebagai individu. Contohnya, hukum mulai mengatur dari manusia itu dilahirkan sampai meninggal dunia. Hukum juga mengatur tentang kepentingan manusia/masyarakat terhadap tanahnya, kepentingan dari segi administrasinya, hak-hak dan lain-lain. Sehingga di dalam masyarakat yang komplek kepentingannya, maka hukum pun akan turut mengimbanginya.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang dimaksud dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dasar hukum adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kemudian ayat (2) menyatakan: Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Ayat (3) menyatakan: Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Ayat (4) menyatakan: Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diteirmanya permohonan keberatan oelh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Ayat (5) menyatakan: Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat. Ayat (6) menyatakan: Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota. Ayat (7) menyatakan: Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final.
Selanjutnya ketentuan Pasal 106 di atas diulang secara utuh dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 94 selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
(3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pengadilan Negeri untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberaatn oleh Pengdailan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.
(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat.
(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil perhitungan suara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat.
Dasar hukum yang terakhir adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.
Pangkal sengketa adalah objek atau wilayah kompetensi yang dapat dikategorikan sebagai sengketa Pilkada. Pangkal sengketa ini kerap disalah artikan oleh para penegak hukum. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, bentuk-bentuk pelanggaran pemilu seperti kecurangan, tidak terdaftar sebagai pemilih dan bentuk kecurangan lainya di laporkan ke Komite Pengawas Pemilu yang dilanjutkan ke tingkat kepolisian.
Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon". Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut jelas dan tegas menyatakan bahwa yang jadi pokok keberatan yang akan dilayani adalah mengenai hasil perhitungan suara yang berarti proses akhir dari Pilkada.
Rujukan
- Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum (Bandung : Alumni, 1986)
- J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982).