Sejarah Mediasi
Sunday, 10 December 2017
SUDUT HUKUM | Latar belakang munculnya mediasi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan latar belakang dimana mediasi muncul pertama kali di Amerika. Secara konseptual mediasi sebagai salah satu bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) lahir di Amerika dilatar belakangi oleh rasa tidak puas (Dissatisfaction) masyarakat Amerika terhadap sistem pengadilan. Ketidakpuasan tersebut bersumber pada persoalan waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan perkara di peradilan, disamping biaya yang banyak.
Faktor lain adalah hasil keputusan pengadilan dirasa kurang memuaskan para pihak yang bersengketa. Alternative dispute resolution digunakan oleh Amerika Serikat pada tahun 1976, ketika Chief Justice Warren Burger mengadakan konferensi yang mempertanyakan efektifitas administrasi pengadilan. Pada tahun ini istilah ADR sudah dimasukkan oleh American Bar Association (ABA) dengan cara membentuk sebuah komisi khusus yang menangani sengketa. Dan pada perkembangan berikutnya, mediasi dan negoisasi dimasukkan dalam kurikulum pendidikan tinggi.
Mediasi yang substansinya adalah perdamaian, pada prinsipnya secara hukum sudah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 2003, yaitu proses mediasi pada lembaga peradilan. Pemerintah melalui Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan ini dilatar belakangi adanya realitas sosial dimana pengadilan sebagai lembaga yang diharapkan mampu menyelesaikan perkara tidak mampu menyelesaikanya sesuai dengan asas cepat dan biaya ringan.
Semakin banyak perkara yang menumpuk di pengadilan maka semakin lama seseorang memperoleh kepastian hukum. Kasus ini akan berbeda jika penyelesaian perkaranya melalui jalur mediasi, karena para pihak yang bersengketalah yang akan merumuskan bagaimana perdamaian itu bisa terwujud.
Penyelesaian perkara dengan cara perdamaian (Mediasi) pada hakekatnya telah diperkenalkan dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu pada pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerlijke rechtvordering atau disingkat Rv. Pada tahun 1894 penyelesaian melalui arbitrase sudah diperkenalkan. Secara resmi arbitrase (termasuk mediasi, konsiliasi, konsultasi, atau penilaian ahli) diperkenalkan oleh pemerintahan BJ Habibie melalui UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. UU tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan diantara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak.
Upaya untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa di lembaga peradilan telah dilakukan dengan cara mendamaikan para pihak di setiap awal persidangan. Landasan pelaksanaan lembaga damai oleh peradilan didasarkan pada beberapa aturan yang meliputi:
Pertama adalah HIR pasal 130 (=pasal 154 RBg. = pasal 31 Rv).
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerlijke rechtvordering atau disingkat Rv, pemerintah membuat aturan tentang upaya damai, bunyi pasal di atas sebagai berikut : (1) jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka, (2) jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa, (3) keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diijinkan banding, (4) jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.
Kedua, UU No. 1 tahun 1974 pasal 39, UU No. 7 tahun 1989 pasal 65, KHI pasal 115, 131 (2), 143 (1-2), 144, dan PP No. 9 tahun 1975 pasal 32.
Undang-undang, peraturan pemerintah, dan KHI sebagaimana di atas menyebutkan bahwa Hakim wajib mendamaikan para pihak sebelum putusan dijatuhkan. Usaha untuk mendamaikan pihak yang bersengketa ini dilakukan pada setiap pemeriksaan. Agar usaha damai dapat terwujud, maka hakim wajib pula menghadirkan keluarga atau orang-orang terdekat dari pihak yang berperkara untuk didengar keterangan, sekaligus hakim meminta bantuan kepada keluarga agar mereka dapat berdamai. Jika upaya ini tetap gagal maka barulah dilakukan penyelesaian hukum secara litigasi.
Ketiga, surat edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 (eks pasal 130 HIR /154 RBg) dan hasil diskusi komisi II Rakernas terbatas MARI.
Hasil rakernas yang diselenggarakan pada tanggal 26-27 september 2002 di Surabaya berisi: \
(1) bahwa upaya perdamaian hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan optimal, tidak sekedar formalitas,
(2) mellibatkan hakim yang ditunjuk dan dapat bertindak sebagai fasilitator dan atau mediator, tetapi bukan hakim majlis (namun hasil rakernas membolehkan dari hakim majlis dengan alasan kurangnya tenaga hakim di daerah daan karena lebih mengetahui permasalahan), atau para pihak yang bersangkutan meminta pihak lain (ketiga) yang dianggap mampu kepada ketua majlis,
(3) apabila upaya damai ini membutuhkan waktu lama, maka pemeriksaan perkara dapat melampaui waktu maksimal (6 bulan) sebagaimana diatur dalam SEMA No 6 tahun 1992,
(4) persetujuan perdamaian dibuat dalam bentuk akte perdamaian (dading), dan para pihak dihukum untuk mentaati apa yang telah disepakati,
(5) apabila tidak berhasil, hakim yang bersangkutan harus melaporkan kepada ketua pengadilan/ketua majlis dan pemeriksaan perkara dilanjutkan,
(6)fasilitator/mediator harus netral dan imparsial, tidak boleh terpengaruh secara internal maupun eksternal, tidak berperan sebagai hakim yang menentukan salah atau benar, bukan sebagai penasehat, dan
(7) keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator/mediator.
Empat, perma No. 2 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Peraturan Mahkamah Agung ini mengatur prosedur mediasi di Pengadilam Mahkamah Agung, yang meliputi pra mediasi, tahap mediasi, tempat dan biaya mediasi. Sebanyak 18 pasal dalam Perma ini semuanya mengatur mediasi yang integrated dalam proses berperkara di Pengadilan. Perma No.2 tahun 2003 kemudian di revisi dan diganti dengan dikelurkannya Perma RI No.01 tahun 2008 tentang
prosedur mediasi di pengadilan. Adapun ketentuan-ketentuan hasil dari revisi tersebut antara lain:
- Perma ini lebih tegas dan lebih jelas mengenai pelaksanaan dan prosedur mediasi di lingkungan Peradilan Agama dibanding Perma No. 2 tahun 2003 (Pasal 1 angka 13 dan 14)
- Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian perdamaian dengan bantuan mediator, kecuali perkara yang diselesaiakn melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (pasal 4)
- Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Perma ini mengakibatkan putusan batal demi demi hukum (pasal 2)
- Para pihak dapat memilih seorang atau lebih mediator dari hakim, advokat atau akademisi hukum, profesi bukan hukum yang dianggap menguasai atau berpengalaman dalam pokok perkara (pasal 8)
- Biaya pemanggilan para pihak, lebih dahulu dibebankan kepada penggugat, melalui uang panjar biaya perkara kecuali ada kesepakatan lain dan ditentukan hakim (pasal 3)
- Biaya jasaa/honor mediator ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan. Hakim yang jadi mediator tidak mendapatkan bayaran jasa (pasal 10)
- Tempat mediasi ditentukan atas kesepakatan para pihak. Khusus jika menggunakan hakim sebagai mediator, tidak diperbolehkan menyelengarakan mediasi di luar pengadilan (pasal 20)
- Atas dasar kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya perdamaiaan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan penggugat konvensi sepanjang perkara tersebut belum diputus (pasal 21)
- Sifat proses mediasi adalah terutup, kecuali para pihak menentukan lain (pasal 6).26
Beberapa aturan diatas hanya mengatur mediasi yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan. Sedangkan mediasi yang non integrated dengan peradilan teknis pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga-lembaga atau pusat mediasi.