Tindak Pidana Pemberitaan Hoax
Tuesday, 23 January 2018
SUDUT HUKUM | Tindak pidana sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen transaksi elektronik dan menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan (pasal 28 jo 45 ayat(2)).
Jika pasal 28 jo 45 ayat (2) UU TE dirumuskan dalam satu naskah, selengkapnya adalah sebagai berikut :
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu milliard rupiah) “
Dipidana yang sama seperti ayat (1) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Ada dua bentuk tindak pidana ITE dalam pasal 28, masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2). Tindak pidana ITE dalam ayat (1) terdiri dari unsur-unsur berikut:
- Kesalahan : dengan sengaja.
- Melawan hukum : tanpa hak.
- Perbuatan : menyebarkan.
- Objek : berita bohong dan meyesatkan.
- Akibat konstitutif : mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Unsur-unsur tindak pidana dalam ayat (2) adalah :
- Kesalahan : dengan sengaja.
- Melawan hukum : tanpa hak.
- Perbuatan : menyebarkan.
- Objek : informasi.
- Tujuan : untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Unsur-unsur formal yang membentuk rumusan tindak pidana secara materil dan formal.
Bentuk pertama di rumuskan secara materil
Tindak pidana ITE pertama dirumuskan secara materiil. Tindak pidana tersebut selesai sempurna bila akibat perbuatan telah timbul. Perbuatan menyebarkan berita bohong yang menyesatkan telah menimbulkan akibat adanya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Dalam hubungannya dengan unsur-unsur lain, Sengaja artinya si pembuat menghendaki untuk menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, dan menghendaki atau setidaknya menyadari timbul akibat kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Si pembuat juga mengerti bahwa apa yang dilakukannya itu tidak dibenarkan (sifat melawan hukum subjektif), dan memberi berita yang isinya bohong dan mengerti dengan demikian akan mengakibatkan kerugian bagi konsumen transaksi elektronik. Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan mengunakan computer dan/atau media elektronik lainnya.
Sifat melawan hukum dirumuskan dalam frasa “tanpa hak” bercorak dua objektif dan subjektif. Corak objektif ialah sifat selamanya perbuatan tersebut diletakkkan pada kebohongan dan menyesatkan dari isi berita yang disebarkan, sementara corak subjektif terletak pada kesadaran isi pembuat tentang dicelananya perbuatan semacam itu di masyarakat yang diformalkan dalam Undang-Undang, bila dilihat dari sudut sifat tercelanya perbuatan yang diltakkan pada isi berita dan akibatnya bagi pengguna konsumen transaksi elektronik. Maka mencantumkan unsure “tanpa hak” dirasa berlebihan oleh sebab tidak mungkin terdapat adanya orang yang menyebarkan berita bohong yang menyesatkan kerugian konsumen transaksi elektronik yang dibolehkan.
Apakah mungkin disebabkan karena pembentukan UU ITE menganggap, bahwa “tanpa hak” diletakkan pada si pembuat yang “tidak memiliki” sarana sistem elektronik yang digunakannya? Misalnya mengirim E-mail dengan menggunakan alamat E-mail orang lan tanpa ijin dari pemiliknya apabila yang dimaksud demikian, mestinya bukan frasa “tanpa hak” yang digunakan dalam rumusan, melainkan “ tanpa ijin”.
Namun pendapat inipun menjadi lemah, kalau dilihat dari perbuatan melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan sistem elektronik milik orang lain tanpa ijin dari tang berhak sepeti itu, sebenarnya merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Masuk pada pasal 30.
Kiranya pembentukan UU ITE telah lupa keterangan MvTWvS tentang latar belakang dalam hal apa unsur sifat melawan hukum itu perlu dicantumkan salam rumusan. UU ITE yang memutarbalik doktrin hukum dalam MvT. Yang menyatakan bahwa unsur melawan hukum perlu dicantumkan di dalam rumusan tindak pidana, hanya apabila dirasakan perbuatan itu dapat dilakukan orang yang berhak. Misalnya jika mendapatkan ijin dari yang berhak. Untuk mengindarkan agar tindak pidananya bagi mereka yang berhak melakukan perbuatan semacam itu, maka perlu unsur sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana.
Berita bohong adalah berita yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran sesungguhnya (materiële waarheid). Menyebarkan maksudnya menyampaikan (berita bohong) pada khalak umum in casu melalui media sistem elektronik. Menyebarkan berita bohong tidak bisa ditujukan pada satu atau seseorang tertentu. Melainkan harus pada banyak orang (umum). Sesuai dengan frasa “menyesatkan” berita bohong itu dapat memperdaya orang. Sifat memperdaya dari isi berita bohong yang disebarkan yang menyesatkan umum, sehingga menimbulkan akibat kerugian konsumen yang melakukan transaksi elektronik. Kerugian yang dimaksud, tidak saja kerugian yang dapat dinilai uang, tetapi segala bentuk kerugian. Misalnya timbulnya perasaan cemas, malu, kesusahan, hilangnya harapan mendapatkan kesenangan atau keuntungan dan sebagainya
Bentuk kedua di rumuskan secara formal
Kesamaan dengan bentuk pertama, ialah mengenai unsure sengaja, tanpa hak dan perbuatan menyebarkan. Unsur-unsur yang sama tidak perlu dibicarakan lagi.
Kalau bentuk pertama secara jelas merupakan tindak pidana materiil. Dari frasa “mengakibatkan menyesatkan” sangat jelas, disyaratkan akibat harus timbul agar tindak pidana menjadi selesai sempurna. Bentuk kedua tidak begitu jelas. Ketidakjelasan itu bisa menimbulkan perbedaan pendapat.
Pendapat pertama, merupakan tindak pidana formil. Selesainya tindak pidana diletakkan pada selesainya perbuatan. Alasannya dalam rumusan tidak secara tegas melarang menimbulkan akibat tertentu. Frasa “ditujukan untuk”….. bisa diartikan bahwa perbuatan menyebarkan informasi ditujukan agar timbul rasa kebencian dan sebagainya. Artinya tujuan tidak berbeda dengan “maksud”. Sedangkan rasa kebencian antar agama atau antar golongan dan sebagainya tidak perlu benar-benar telah timbul oleh perbuatan .
Pendapat ini memerlukan pembuktian, bahwa perbuatan menyebarkan ditujukan agar timbulnya rasa kebencian dan sebaginya. Caranya dengan melogikan wujud perbuatan seperti itu menurut sifat dan keadaannya dapat menimbulkan kebencian antara golongan dan sebagainya, yang semula disadari dan di hendaki si pembuat. Melogikan ini harus disertai dengan pengungkapan keadaan-keadaan/fakta yang ada sekitar dan pada saat perbuatan dilakukan, sifat dan keadaan isi informasi yang disebarkan, latar belakang objektif dan subjektif si pembuat, dan sebagainya. Kiranya sama seperti dengan cara membuktikan unsur sengaja.
Pendapat kedua, termasuk tindak pidana materiil. Tindak pidana selesai sempurna akibat adanya rasa kebencian atau permusuhan antar kelompok masyarakat telah timbul. Alasannya ada dua pertama, cara merumuskan kedua sama persis dengan cara merumuskan tindak pidana penipuan (oplichting) pasal 378, atau pemerasan pasal 368 KUHP. Tidak terdapat perbedaan pendapat mengenai penipuan dan pemerasan tersebut adalah tindak pidana materiil.
Alasan pendapat kedua, ialah dalam hubungannya dengan pembuktian. Rasa kebencian merupakan rasa tidak senang atau tidak suka. Rasa permusuhan merupakan perasaan orang/kelompok lainnya adalah musuhnya. Rasa permusuhan lebih tajam lebih besar rasa tidak senangnya, karena orang atau kelompok lain adalah hati. Tidak bisa diketahui dan dibuktikan sebelum ada wujud nyata dari tindakan yang menghambarkan rasa ketidak senangan atau perumusan harus benar-benar sudah ada wujudnya, bukan sekedar masih disimpan didalam hati masingmasing orang. Dalam hal pendapat kedua, jika perbuatan telah terwujud sementara akibat tidak timbul, kejadian itu masuk percobaan. Pembuatannya sudah dapat dipidana.