-->

Konsep KUHP Baru

SUDUT HUKUM | Pertama-tama perlu dikemukakan, bahwa usaha pembentuka KUHP baru untuk menggantikan (KUHP) yang sekarang berlaku telah cukup lama dilakukan. Dimulai degan adanya rekomendasi Seminar Hukum Nasional I Tahun 1963 yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin diselesaikan, maka pada tahun 1964 dibicarakan konsep yang pertama. Berturutturut kemudian ada pula konsep 1968, konsep 1971/1972, konsep 1982/1983 yang kemudian menjadi konsep 1987/1988. Konsep 1987/1988 ini pun mengalami penkajian terus-menerus sampai menjadi konsep 1991/1992. Informasi yang disajikan dalam tulisan ini bertolak dari konsep 1991/1992 (edisi revisi s/d Maret 1993), namun dalam revisi ini, dikaitkan pula dengan perkembangan konsep-konsep terakhir (2004-2012).

Konsep KUHP Baru


Beberapa hal baru dalam konsep KUHP baru sebagai berikut:
  1. Sistematika KUHP Baru
  2. Keseimbangan asas legalitas dan asas kesalahan
  3. Keseimbangan asas legalitas formal dan materiil serta sifat melawan hukum formal dan materiil
  4. Masalah kesalahan/pertanggungjawaban
  5. Masalah alasan penghapus pidana
  6. Masalah pertanggungjawaban korporasi
  7. Masalah pedoman pemidanaan Masalah jenis pidana dan tindakan
  8. Masalah jumlah dan lamanya pidana
  9. Masalah peringanan dan pemberatan pidana
  10. Masalah tindak pidana dalam buku II

Khususnya mengenai pidana penjara seumur hidup, dapat kiranya dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

Baca Juga

  • Pidana penjara seumur hidup, seperti halnya dengan pidana mati, pada dasarnya merupakan jenis pidana absolut. Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga dari sudut terpidana, pidana seumur hidup itu bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani pidana sepanjang hidupnya, walaupun orang tidak tau pasti berapa lama masa hidup seseorang di dunia ini. Dilihat dari kenyataan praktik, dapat juga dikatakan bahwa pidana seumur hidup bersifat in-determinate, karena si terpidana tidak tahu pasti kapan dia dapat dilepaskan kembali ke masyarakat.
  • Mengingat sifat/karakteristik pidana seumur hidup yang demikian, maka sebenarnya ada kontrakdiksi ide antara pidana seumur hidup dengan sistem pemasyarakatan. Pidana seumur hidup lebih berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan peraikan (rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan lagi ke masyarakat. Jadi, dilihat dari ide pemasyarakatan, pada hakikatnya pidana “perampasan kemerdekaan” seseorang hanya bersifat “sementara” (untuk waktu tertentu), tidak untuk seumur hidup (untuk waktu yang tidak ditentukan).
  • Sekiranya pidana penjara seumur hidup memang masih patut dipertahankan, maka kebijakan legislatif mengenai pidana seumur hidup seyogyanya mengintegrasikan ide/konsep perlindungan masyarakat dengan ide/konsep pemasyarakatan serta memerhatikan ide-ide yang tertuang dalam standard Minimum Rules For the Treatment of Prisioners (yang telah diterima oleh kongres PBB ke-1 mengenai “Ithe Prevention of Crime and the Treatment of offenders” tahun 1955 maupun berbagai penyataan pada kongres-kongres PBB berikutnya (khususnya kongres ke ke-6 dan ke-8 yang berhubungan dengan masalah pidana seumur hidup).
  • Menurut peraturan perundang-undangan (kebijakan legislatif) selama ini sangan sulit bagi napi seumur hidup mendapatkan pelepasan bersyarat (”conditional release” atau Voorwaardelijke Invrijheidstelling”), pengurangan masa pidana (remisi) maupun proses asimilasi (proses pembatuan napi dalam kehidupan masyarakat). Hal demikian terlihat dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

  1. Pasal 15 KUHP, pelepasan bersyarat hanya dapat diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 dari lamanya pidana penjara (sementara), sekurang-kurangnya telah menjalani sembilan bulan penjara;
  2. Pasal 7 Keppres No. 5/1987 menyatakan, napi seumur hidup dapat diberi pengurangan masa menjalani pidana hanyan apabila pidana seumur hidup telah diubah menjadi pidana penjara sementara oleh presiden; dan
  3. Pasal 3 Kep. Menkeh No. 03. MH. 02.01 Tahun 1988 menyatkan bahwa: Permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara ementara bagi narapidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 Keppres No. 5/1987 tidak dapat diajukan apabila: a) Napi pernah memperoleh grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hdup; atau, b) Napi pernah mengajukan permohonan grasi atas pidana penjara seumur hidup dan ditolak presiden.
  4. Pasal 8 Peraturan Menkeh No. M. 01-PK. 01. 10 Tahun 1989 menyatakan bahwa: Persyaratan substantif bagi seorang napi untuk dapat izin asimilasi antara lain ia telah menjalani setengah dari masa pidananya. Selanjutnya, dalam Pasal 10 Peraturan Menkeh tersebut dinyatakan bahwa asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas, tidak diberikan kepada napi yang terlibat dalam perkara-perkara subversi, korupsi, penyelundupan, perjudian, narkotika atau perkara lain yang menimbulkan keresahan dan menarik perhatian masyarakat.

  • Memerhatikan ketentuan-ketentuan di atas (yaitu, sangat suitnya terpidana seumur hidup mendapatkan “pelepasan, bersyarat, remisi dan asimilasi”), dapatlah dikatakan bahwa kebijakan legisltif yang ada selama ini masih menempatkan pidana seumur hidup berada diluar sistem pemasyarakatan atau setidak-tidaknya belum begitu jelas kedudukan narapidana seumur hidup didalam sistem pemasyarakatan. Bahkan didalam konsep RUU “Pemasyarakatan” tahun 1995 (yang kemudian menjadi UU Pemasyarakatan No. 12/1995), kedudukan napi seumur hidup ini pun tidak begitu jelas. Didalam konsep Rancangan KUHP Baru, napi seumur hidup diberi kemungkinan untuk mendapatkan “pelepasan/pembebasan bersyarat” apabila napi seumur hidup itu telah menjalani pidana paling kurang 17 (tujuh belas) tahun dengan berkelakuan baik (lihat Pasal 70 konsep 2012). Batas minimal telah menjadi 17 tahun ini, awalnya 10 tahun (Pasal 65 Konsep 2000; Pasal 67 Konsep 2004). Patut kiranya dicatat, bahwa Kongres PBB ke-8 Havana tahun 1990 telah meminta kepada Komite Pencegahan dan Pengendalian Kejahatan (the Committee on Crime Prevention and Control, yang sekarang telah berubah menjadi “the Commission on Crime Prevention and Criminal Justice”) untuk memeriksa/mengkaji kedudukan hukum mengenai hak dan kewajiban para napi seumur hidup dan mengkaji berbagai sistem untuk menilai kelayakan (pantas-tidaknya) mereka memperoleh pelepasan bersyarat (Conditional release). Dalam salah satu pulikasi PBB tahun 1994 (kode penerbitan: ST/CSDH/24) yang berjudul “Life Impisonment” antara lain disimpulkan, bahwa “To incarcerate a person for life without the possibility of being released not only ignores two of the purposes of imprisonment (rehabilitation and reintergration into society), but also places heavy financial burdens on taxpayers”.
  • Bertolak dari uraian sebelumnya dapatlah ditegaskan, bahwa untuk mengefektifkan pidana penjara seumur hidup dilihat dari konsep/sistem pemasyarakata, maka ketentuan legislatif seyogyanya memuat kebijakankebijakan sebagai berikut:

  1. Pidana seumur hidup selalu dirumuskan/diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya;
  2. Pidana seumur hidup hanya dijatuhkan untuk melindungi masyarakat, menjamin keadilan dan hanya dikenakan kepada pelaku kejahatan yang sangat serius dan sulit diperbaiki;
  3. Pidana seumur hidup tidak dapat dikenakan kepada anak/remaja;
  4. Ada jaminan bahwa terpidana seumur hidup mempunyai hak juga untuk memperoleh pelepasan/pembebasan bersyarat. Remisi dan proses asimilasi. 

Akhirnya patut dikemukakan, bahwa upaya memperbaiki kebijakan legislatif (kebijakan perundang-undangan) hanya merupakan salah satu faktor untuk mendukung efektivikasi pidana penjara. Tentunya banyak faktor-faktor lainnya yang juga harus diperhatikan.

Jadi penyusunan konsep RUU KUHP bertujuan melakukan penataan ulang bangunan sistem hukum pidana nasional. hal ini tentunya berbeda dengan pembuatan atau penyusunan RUU biasa yang sering dibuat selama ini. 
Perbedaannya dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
  1. Penyusunan RUU biasa, bersifat parsial atau fragmenter pada umumnya hanya mengatur delik khusus atau delik tertentu, masoh terikat pada sistem induk (WvS) yang sudah tidak utuh hanya merukapan sub-sistem, tidak membangun atau merekontruksi sistem hukum pidana,
  2. Penyusunan RUU KUHP bersifat menyeluruh atau terpadu atau integral mencakup semua aspek dan bidang yang bersistem serta berpola dalam menyusun atau menata ulang rancang bangun sistem hukum pidana nasional yang terpadu.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel