Pengertian Gadai
Tuesday, 29 May 2018
SUDUT HUKUM | Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad arrahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan, adan rungguhan. Dalam islam ar-rahn merupakan sarana tolong menolong bagi umat islam, tanpa ada imbalan jasa.
Adapun secara terminologi gadai dalalm islam, rahn sebagaimana di definisikan oleh para ulama adalah menjadikan barang yang berharga menurut tinjauan syariat sebagai jaminan utang, sekiranya pembayaran utang atau sebagian bisa di ambil dari benda yang di gadaikan tersebut. Apabila seseorang berutang kepada orang lain, kemudian ia memberikan kepada pemberi utang sebuah jaminan seperti bangunan atau binatang ternak, jaminan tersebut terus tertahan di tangan si pemberi utang hingga utangnya selesai di bayar. Rahn seperti ini adalah adalah rahn yang di bolehkan oleh islam. Pengertian gadai menurut Antonio adalah suatu hak yang diperoleh oleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak.
Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai hutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai hutang. Seseorang yang berhutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi hutang apabila pihak yang berhutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Pengertian gadai dalam KUH Perdata pasal 1150 yaitu:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berutang atau oleh orang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”
Dari definisi gadai tersebut terkandung adanya beberapa unsur pokok, yaitu: Gadai lahir karena perjanjian penyerahan kekuasaan atas barang gadai kepada kreditor pemegang gadai.
Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitor atau orang lain atas nama debitor. Barang yang menjadi obyek gadai hanya barang bergerak, baik bertubuh maupun tidak bertubuh. Kreditor pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari barang gadai lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.
Selain berbeda dengan KUH Perdata, pengertian gadai menurut syariat Islam juga berbeda dengan pengertian gadai menurut ketentuan hukum adat. Adapun pengertian gadai menurut hukum adat yaitu meyerahkan tanah untuk menerima pembayaran uang secara tunai, dengan ketentuan: Si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.
Dari kedua pengertian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa gadai menurut ketentuan syari’at Islam merupakan kombinasi pengertian gadai yang terdapat dalam KUH Perdata dan Hukum Adat, terutama menyangkut obyek perjanjian gadai. Menurut syari’at Islam, gadai meliputi barang yang mempunyai nilai harta dan tidak dipersoalkan apakah termasuk benda bergerak atau tidak bergerak. (Antonio, 2001:110)
Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan Rahn dan dapat juga dinamakan al-habsut. Secara etimologis, pengertian rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-habsut berarti penahanan terhadap suatu barang tersebut. Rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai hara menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitab Al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatau hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.
Sedangkan Imam Abu Zakaria al-Anshary dalam kitabnya Fathul Wahab mendefinisikan rahn sebagai menjadikan benda yang bersifat hara benda itu bila utang tidak dibayar (Syafe’i, 2000:159).
Kemudian pengertian Rahn (Ar-Rahnu) menurut Hadi, (2003:3) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta (nilai ekonomis) sebagai jaminan hutang, hingga pemilik barang yang bersangkutan boleh mengambil hutang. Ar-Rahn berarti juga gadai, yaitu kontrak atau akad penjaminan dan mengikat saat hak penguasaan atas barang jaminan berpindah tangan. Dalam kontrak tersebut, tidak terjadi pemindahan kepemilikan atas barang jaminan. Atau dengan kata lain, merupakan akad penyerahan barang dari nasabah kepada bank sebagai jaminan sebagian atau seluruhnya atas hutang yang dimiliki nasabah. Dengan demikian, pemindahan kepemilikan atas barang hanya terjadi dalam kondisi tertentu sebagai efek atau akibat dari kontrak atau perjanjian.
Pengertian Ar-rahn dalam bahasa Arab adalah Ats-Tsubut Wa Ad Dawam yang berarti “tetap” dan “kekal” seperti, dalam kalimat maun rahin yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. al-Muddatstsir (74) ayat 38 sebagai berikut:
Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa adalah tetap, kekal dan jaminan; sedangkan pengertian secara istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam pasal 1150 kitab Undang-Undang Hukum perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak tersebut diserahkan kepada yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atauorang lain atas nama orang yang berpiutang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut barang jaminan, dan anggunan.
Sedangkan hukum gadai (rahn) dalam hukum Islam adalah “Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut”.
Selain pengertian diatas beberapa pengertian gadai (rahn) menurut ahli hukum Islam sebagai berikut:
- Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut:
“Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya”.
- Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut:
“Suatu benda yang dijadikan suatu kepercayaan utang, untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang tak sanggup membayar utangnya”.
- Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut:
“Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya yang diambil pengikat atas utang yang tetap (mengikat)”
- Ahmad Azhar Basyir.
Rahn adalah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterimanya.
- Muhammad Syafi’i Antonio.
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utan/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomi. Dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Peranan dari lembaga keuangan dari kegiatan gadai ini adalah memberi pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan non formal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat. Masyarakat yang sedang memerlukan pinjaman ataupun mengalami kesulitan keuangan cenderung dimanfaatkan oleh lembaga keuangan seperti lintah darat untuk mendapatkan sewa dana atau bunga dengan tingkat bunga yang sangat tinggi. Kemudian dengan gadai, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lapisan bawah di mana mereka dapat menggunakan uang dari gadai itu untuk keperluan pendanaan modal kerja, dan melaksanakan serta menunjang program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional.