Dasar Hukum (dalil) Larangan Mencuri
Tuesday, 3 July 2018
Hukum Islam dalam masalah hukuman bagi orang yang melakukan pencurian atau mengambil harta orang lain sangatlah kejam sekali, yaitu orang tersebut akan mendapatkan hukuman potong tangan. Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah swt. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana. (QS. al-Maidah: 38)
Larangan melakukan mencuri ditegaskan pula dalam hadits Rasulullah:
Dari Aisyah Nabi saw bersabda: Wahai manusia sesungguhnya telah binasa umat sebelum kamu dimana apabila orang bangsawannya mencuri mereka biarkan begitu saja, dan apabila dilakukan oleh orang biasa yang melakukan pencurian, maka mereka kenakan hukuman had (potong tangan), demi Allah, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri niscaya aku potong tangannya. Meskipun seorang dzimmi (orang kafir yang mendapatkan perlindungan dari orang Islam) yang mencuri harta seorang muslim, maka dia wajib dikenakan had sesuai syari’at Islam. Hukuman yang diterimanya sama dengan hukuman yang diterima seorang muslim yang mencuri yaitu sama juga mendapat hukuman potong tangan.
Adanya hukuman yang berat bagi pencuri, menunjukkan bahwa Islam sangat menjaga dan menghormati kepemilikan orang lain, dan mengecam keras segala tindak kejahatan dan kecurangan yang merugikan orang lain. Hukuman yang berat tersebut juga sekaligus memperlihatkan bahwa Islam lebih mengutamakan kepentingan masyarakat secara umum dari pada kepentingan satu orang atau beberapa orang.
Para ulama sepakat bahwa untuk sifat-sifat yang ada pada pencurian yang diwajibkan adalah hukuman potong tangan dan juga bahwa pencurian itu sebagai suatu kejahatan dan wajib membayar diyat jika hukuman potong tangan itu tidak ditetapkan. Imam Syafi’i, Imam Ahmad, al-Laist, Abu Tsaur berpendapat bahwa harus membayar diat disamping mendapat hukuman potong tangan. Sedangkan Imam yang lain diantaranya yaitu: Imam Abu Hanifah, al-Tsauri, dan Ibn Abi Laila berpendapat bahwa pencuri itu tidak diwajibkan membayar kecuali dalam keadaan masruq (orang yang hartanya dicuri) tidak menemukan harta yang dicuri itu dari pencuri tersebut.
Adapun Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa apabila pencuri itu orang kaya, maka pencuri itu harus membayar denda seharga barang yang dicurinya. Apabila pencurinya orang miskin maka dia tidak harus membayarnya. Adapun Imam Malik mensyaratkan keadaan kayanya pencuri itu sampai pada hari hukum potong tangan, Imam Malik dalam membedakan antara pencuri kaya dan pencuri miskin yaitu dengan menggunakan istihsan (mencari kemaslahatan) bukan atas dasar qiyas.