-->

Hubungan Maslahah dengan Maqashid al-Syari’ah

Hubungan Maslahah dengan Maqashid al-Syari’ah - Berbedanya tingkat maslahah yang hendak dipelihara karena berbedanya maslahah yang hendak diwujudkan pada setiap diri mukallaf sebagai objek hukum. Dalam hal ini kebutuhan dan kondisi setiap mukallaf berbeda satu sama lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa dharuriyah adalah kebutuhan pokok yang mesti dipenuhi oleh setiap mukallaf berupa pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan kehormatan, dan harta. Ketika semua ini tidak terpenuhi maka akan hancurlah kehidupan. 

Hubungan Maslahah dengan Maqashid al-Syari’ah


Adapun hajiyah adalah pemeliharaan lima hal di atas dalam hubungannya dengan menghilangkan kesulitan. Apabila kemaslahatan dalam bidang hajiyah ini tidak dipenuhi, maka mukallaf akan merasa sulit dalam melakukan pemeliharaan terhadap lima hal pokok tersebut. Misalnya dibolehkan mengqashar shalat dalam perjalanan adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan memelihara agama. 

Adapun tahsiniyah adalah pemeliharaan kemaslahatan dalam hubungannya dengan penyempurnaan sesuatu yang bersifat tambahan dan keindahan. Ketika kemaslahatan tahsiniyah ini tidak terpenuhi tidak akan mengakibatkan hancurnya kehidupan dan juga tidak akan membuahkan kesulitan dalam pemeliharaan lima hal pokok di atas. Misalnya berharum-haruman ke masjid merupakan sesuatu yang dianjurkan, tetapi tanpa berharum-haruman tidak akan mengganggu lima hal pokok dan tidak pula menyulitkan dalam pemeliharaannya.

Maslahah al-dharuriyah merupakan hal pokok yang mesti ada dan dimiliki oleh setiap orang. Ketika seseorang tidak beragama, maka di sisi Allah SWT hidupnya tidak berarti apa-apa, bahkan ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan akhirat seperti yang dijanjikan oleh Allah SWT. Misalnya orang yang tidak shalat merupakan orang yang tidak memelihara agama, akibatnya ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat.

Ketika seseorang tidak memenuhi kemaslahatan jiwanya, maka ia akan merasa tidak bahagia hidup di dunia. Oleh karena itu ia harus berusaha untuk memelihara jiwanya dari gangguan apapun agar eksistensinya di dunia tetap ada. Berbagai aturan dalam pemeliharaan jiwa harus diamalkannya, seperti tidak boleh membunuh, tidak boleh menganiaya dan dianiaya, tidak boleh menyerah kepada nasib, harus berusaha mencari rezki, dan sebagainya.

Adapun ketika seseorang tidak memelihara akalnya, maka tentunya kehidupannya tidak semanis orang yang punya akal. Dalam hal ini adakalanya ia kehilangan akal sama sekali (gila), atau ada akal tetapi kurang memadai (bodoh), dan sebagainya. Dalam hidupnya orang yang seperti ini tidak akan bahagia, atau tatanan kehidupannya rusak. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pemeilharaan akal ini Allah SWT melarang sesuatu yang dapat merusak akal, seperti minum khamar, dan memerintahkan mengisi akal dengan belajar dan mengasah otak.

Apabila keturunan dan kehormatan tidak dipelihara, maka seseorang juga akan mengalami huncurnya tatanan kehidupannya. Hubungan nasab sangat diperhatikan dalam Islam sehingga ada perintah untuk melakukan pernikahan dan melarang melakukan hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan, karena semuanya bermuara kepada nasab dan keturunan yang diakui oleh syara’. Ketika keturunan jelas, maka akan ada hukum-hukum selanjutnya yang berhubungan dengan itu, seperti hubungan kewarisan, kekerabatan, dan sebagainya. Oleh karena itu pemeliharaan keturunan merupakan salah satu hal pokok yang mesti dipelihara oleh manusia.

Berkenaan dengan harta, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia, apabila tidak dimiliki maka manusia juga tidak akan eksis hidup di dunia ini. Banyak hal yang bias dilakukan dengan harta, dan banyak hal pula yang tidak bias dilakukan orang ketika ia tidak punya harta. Ketiadaan harta akan membuat tatanan kehidupan manusia akan rusak. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan mencari harta dan memeliharanya dengan baik, dan melarang melakukan pencurian sebagai salah satu bentuk pemeliharaan harta.

Dengan demikian kelima hal pokok tersebut (dharuriyah al-khamsah) menempati tingkat pertama yang mesti dimiliki dan dipelihara oleh manusia karena terkait dengan eksistensinya di dunia dan akhirat. 

Pemeliharaan maslahah al-hajiyah tidak menyebabkan hancurnya tatanan kehidupan manusia, hanya membuat kesulitan dalam rangka pemeliharaan lima hal pokok di atas. Untuk itu dalam berbagai hal ditetapkanlah kerinagan-keringanan. Misalnya dibenarkan mengucapkan kata yang menunjukkan kekafiran ketika dalam keadaan terpaksa atau sulit. Begitu juga dibolehkan berbuka dan qashar shalat bagi musafir. Dalam hal jual beli dibolehkan jual beli pesanan, sewa menyewa dan sebagainya. Dalam lembaga perkawinan dibolehkan melakukan perceraian jika perkawinan itu tidak dapat lagi dipertahankan dengan berbagai alasan. Dengan demikian meletakkannya pada urutan kedua cukup mempunyai alasan, yaitu menghilangkan kesulitan untuk terealisasinya pemeliharaan al-dharuriyah al-khamsah.

Pemeliharaan al-dharuriyah al-khamsah dalam bentuk tahsiniyah tidak berhubungan dengan hancurnya tatanan kehidupan, dan juga tidak akan menyulitkan pemeliharaan lima hal pokok, hanya saja sebagai penyempurna dalam rangka meningkatkan martabat diri dan akhlak yang mulia. Misalnya membersihkan badan, pakaian, dan tempat shalat; memakai mukena bagi wanita dan tutup kepala bagi laki-laki dalam shalat. Dalam hal pemeliharaan jiwa misalnya ditetapkan tatacara makan dan minum sebagai akibat dari realitas etika manusia. Dalam hal pemeilharaan akal misalnya menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Dalam hal pemeliharaan keturunan misalnya dengan melakukan peminangan sebelum akad nikah sebagai pelengkap proses pernikahan. Dalam hal pemeliharaan harta misalnya dianjurkan untuk melakukan pencatatan jual beli dan hutang piutang.

Apabila diperhatikan contoh-contoh dalam tahsiniyah ini, tidak terkait dengan terancamnya eksistensi lima hal pokok dan juga tidak membuahkan kesulitan dalam pemeliharaannya.

Agama adalah dharuriyah pertama yang harus dipelihara, dan oleh karena itu setiap kondisi yang mengancam eksistensi agama harus ditolak dan diberantas. Misalnya ketika Khalifah Abu Bakar shiddiq memerangi dan membunuh orang-orang yang ingkar zakat adalah bukti bagaimana pemeliharaan agama mesti mendapat prioritas utama, walaupun untuk itu harus mengorbankan nyawa orang lain dan merelakan kematian demi menegakkan agama. Begitu juga ketika agama terancam eksistensinya oleh orang-orang yang ingin memerangi Islam, maka disyariatkanlah jihad, yang berarti boleh membunuh dan merelakan nyawa melayang demi tegaknya agama. Begitu juga Islam mensyariatkan untuk menghukum mati orang yang keluar dari Islam. 

Di satu sisi pemeliharaan jiwa perlu diperhatikan, akan tetapi ketika bertentangan dengan eksistensi agama, maka agama mesti mendapatkan prioritas utama Pemeliharaan jiwa merupakan prioritas selanjutnya setelah agama. Tidak ada pembenaran dari ketentuan Islam untuk mempermainkan jiwa orang lain dan juga jiwa sendiri. Allah SWT memilki keuasaan mutlak terhadap nyawa orang lain, tidak ada yang berhak melepaskannya dari diri seseorang kecuali Allah SWT. 

Ketika ada orang yang mendahului kekuasaan Allah dengan melenyapkan nyawa orang lain, tentu saja di samping menghilangkan eksistensi jiwa seseorang, juga sudah mendahului apa yang tidak pantas dilakukannya di hadapan Allh SWT. Oleh karena itu Allah SWT mengancam orang yang membunuh orang lain dengan sengaja dengan hukuman berat dimasukkan ke dalam neraka jahannam dan dianggap sudah membunuh semua orang. 

Tidak hanya pembunuhan sengaja, pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja pun diancam dengan hukuman kifarat. Begitu juga dalam bentuk lain yang tidak mematikan, tetapi cukup membuat terancamnya eksistensi nyawa orang lain, Allah juga mensyariatkan qisas dalam hal itu. Itulah sebabnya dalam syariat Islam penganiayaan juga termasuk hal yang diqisas, yaitu dibalas sejalan atau setimpal dengan apa yang dilakukannya.

Maslahah ashliyah merupakan maslahah yang paling besar dari kemaslahatan-kemaslahatan lainnya yang diinginkan oleh Allah SWT sebagai legislator. Al-Syatihibi mengatakan bahwa tujuan harus diperhatikan oleh manusia karena bersifat primer yang dipandang sebagai sesuatu yang imperativ dalam agama, kemaslahatan yang dikandungnya bersifat umum dan mutlak serta tidak dibatasi oleh situasi, kondisi, bentuk, dan zaman tertentu.

Pada sisi lain tujuan maslahah asasiyah ini dapat dipolarisasi menjadi dua bagian; pertama dharuriyah ainiyah, yaitu sebuah kewajiban yang terdapat dengan sendirinya dalam setiap diri manusia. Misalnya setiap manusia dituntut untuk memelihara agama, hal ini merupakan tuntutan yang datang dari dirinya sendiri sebagai konsekwensi logis dari keyakinan dan amal. Demikian juga dengan tuntutan memelihara jiwa sebagai konsekwensi logis dari memelihara kehidupan. Kedua; dharuriyah kifa`iyah, yang merupakan penegakan kemaslahatan yang bersifat umum bagi semua makhluk. Dharuriyah kofa`iyah ini merupakan penyempurna dari dharuriyah ainiyah karena ainiyah tidak akan tegak tanpa didukung oleh kifa`iyah.

Adapun tujuan tab’iyah merupakan tujuan yang memberikan pelayanan, sebagai pengikut atau mengiringi tujuan asliyah, pendorong terealisasinya tujuan asliyah atau sebagai penghubung atau pelengkap tujuan asliyah. Dalam hal ini tujuan tab’iyah secara khusus merupakan tujuan yang mempertimbangkan atau memperhatikan kebahagiaan atau kesenangan manusia.

Maqashid al-‘ammah merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam pelembagaan hukum Islam, yaitu untuk memelihara atau menjaga kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu maqashid al-‘ammah juga merupakan makna-makna dan hikmah-hikmah yang dipandang dalam seluruh aspek pelembagaan hukum Islam atau dalam sebagian besarnya, tidak bersifat spesifik terhadap aspek tertentu saja dari hukum Islam sehingga termasuk di dalamnya sifat-sifat dan tujuannya yang bersifat umum. Keumuman ini berlaku untuk keseluruhan hukum Islam termasuk seluruh bagian-bagian yang dikandung hukum Islam. Asumsi ini didasari kepada statemen umum pelembagaan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Atas asumsi ini maka tujuan primer pelembagaan hukum Islam yang terdiri dari pemeliharaan agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta dapat dikategorikan sebagai tujuan umum yang harus diwujudkan dalam setiap bagian pelembagaan hukum Islam.

Kemudian dari tujuan khusus (maqashid all-khassah) merupakan tujuan yang berkaitan dengan sasaran, tujuan dan makna-makna yang bersifat khusus dalam bab-bab tertentu dari bab-bab kajian hukum Islam atau didasarkan kepada bagian-bagian tertentu dari bagian hukum islam. Hal ini dapat dilihat dalam tujuan ibadah secara keseluruhan, demikian juga halnya dengan tujuan muamalat dan tujuan jinayat. Atau tujuan yang terdapat dalam satu bab di antara bab-bab kajian hukum islam, seperti tujuan yang berkaitan dengan bab thaharah secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah dalam lapangan jinayat, tujuan dilembagakan hukuman bagi pelaku tindak kejahatan adalah untuk membuat jera para pelakunya, atau dilembagakannya thaharah adalah untuk terpeliharanya kebersihan.
Sedangkan tujuan juz’i (maqashid al-juz`iyah) merupakan tujuan yang berkaitan dengan persoalan tertentu saja tanpa menyentuh persoalan lain. Dikatakan demikian karena tujuan ini berbeda dengan tujuan yang pertama dan kedua yang bersifat menyeluruh, sementara bagian ini secara spesifik berkaitan dengan persoalan-persoalan tertentu atau dalil-dalil jhusus yang ditarik dari tujuan pelembagaan hukum Islam itu sendiri sehingga bersifat juz`i.

Setidaknya dari penjelasan ketiga bentuk pembagian ini dapat dimengerti kenapa tujuan hukum Islam itu dapat diklasifikasikan kepada tiga bentuk, yaitu maqashid al-‘ammah, maqashid al-khsssah, dan maqashid al-juz`iyah.

Semua tujuan hukum yang ditetapkan harus bermuara kepada tujuan umum, yaitu mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Walaupun secara khusus dan juz`i masing-masing furu’-furu’ fiqh mempunyai tujuan untuk masing-masing bab dan kasus yang dibicarakan, akan tetapi semuanya mesti bermuara dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan umum. Itulah sebabnya kenapa maqashid al-‘ammah ini dikaji lebih dahulu untuk meluruskan dan sebagai kontrol dalam menetapkan tujuan khusus dan juz`iyah.

Pemeliharaan dalam maslahah dahruriyah ini adalah sesuatu yang bersifat pokok (primer) yang mesti dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena itu untuk mengimplementasikan bentuk-bentuk pemeliharaan lima hal pokok tersebut harus tegas, apakah yang berkaitan dengan suatu perintah atau suatu larangan. Dalam hal ini dalam hal pemeliharaan agama, misalnya shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dan sebagainya diwajibkan kepada semua muslim, dan sebaliknya bagi yang tidak mau melaksanakannya dianggap tidak memelihara agama dari sisi dharuriyah, untuk itu hukum yang ditetapkan bagi orang yang meninggalkannya tanpa alasan yang dibenarkan syara’ adalah haram dan pelakunya diancam dengan dosa dan siksa di akhirat.

Begitu juga dalam masalah pemeliharaan jiwa, seseorang wajib memelihara jiwanya dari gangguan apapun. Oleh karena itu banyak hal yang diharamkan terkait dengan pemeliharaan jiwa ini, seperti tidak boleh bunuh diri, tidak boleh menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan, tidak boleh membunuh orang lain, diharamkan menganiaya orang lain dan diri sendiri, dan sebagainya.

Terkait dengan pemeliharan akal, Allah SWT mengharamkan tindakan yang dapat menghilangkan akal, seperti mabuk-mabukan dan sebagainya. Sebaliknya diwajibkan untuk melakukan tindakan yang berhubungan dengan pemeliharaan akal ini, seperti diwajibkan menuntut ilmu.

Adapun yang berhubungan dengan pemeliharaan keturunan, Allah SWT memerintahkan menikah, dan diwajibkan hukumnya bagi orang yang sudah mampu dan khawatir tidak mampu menahan diri dari melakukan perbuatan-perbuatan dosa, sebaliknya diharamkan bagi orang tersebut meninggalkan perintah nikah atas dasar sudah mampu dan khawatir tidak menahan dirinya dari melakukan zina. Di samping itu setiap perbuatan yang mengarah ke perzinaan juga diharamkan, seperti berkhalwat. Semua ini harus diatur secara tegas karena berhubungan dengan pemeliharaan keturunan. Keharaman zina dan kewajiban orang menjauhi zina merupakan bagian hukum yang terkait erat dengan pemeliharaan keturunan ini.

Adapun tentang pemeliharaan harta, aturan umum untuk itu juga jelas, yaitu keharaman mendapatkan harta dengan cara yang batil, seperti haramnya mencuri, haramnya riba, haramnya menipu dalam transaksi ekonomi, haramnya perjudian, dan sebagainya. Sebaliknya diwajibkan mencari harta dengan cara yang halal.

Semua hukum yang berhubungan dengan hal-hal yang dharuriyah ini menghsilkan hukum wajib dan haram karena begitu pentingnya masalah dharuriyah ini diatur secara tegas.

Maslahah al-hajiyah tidak berkenaan dengan rusak dan hacurnya dharuriyah al-khamsah, akan tetapi menghasilkan kesulitan bagi orang yang tidak mau memanfaatkannya. Untuk memanfaatkan hal ini Allah SWT menganjurkan agar kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dalam memelihara lima hal pokok tersebut sedapat mungkin harus dipergunakan. 

Dalam hal ini al-hajiyah tidak hanya menghasilkan hukum sunat dan makruh, akan tetapi bisa saja wajib, hara, dan mubah. Misalnya dalam pemeliharaan agama, seperti shalat, Allah menganjurkan bagi musafir untuk mengqasar shalatnya agar terhindar dari kesulitan dalam pelaksanaannya. Demikian juga dibolehkan berbuka puasa bagi musafir agar terhindar dari kesulitan menjalankan puasa. 

Anjuran-anjuran Allah SWT di satu sisi dipandang oleh ulama sebagai sesuatu yang mubah saja, akan tetapi ada yang memandangnya sebuah anjuran yang disunatkan, bahkan ada ulama yang memandangnya sebagai sesuatu yang wajib. Akibat meninggalkan anjuran-anjuran Allah ini akan berakibat kepada hukum makruh, atau bisa saja haram menurut versi ulama hanafiyah. Adapun dalam bentuk pemeliharaan akal, Allah SWT menganjurkan agar seseorang menjauhi perbuatan mengkhayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini berarti disunatkan menjauhinya daan dimakruhkan melakukannya. 

Berkenaan dengan pemeliharaan keturunan, disunatkan untuk melakukan khitbah terlebih dahulu terhadap pasangan yang akan dinikahi. Dan dalam peminangan ini disunatkan juga melihat seperlunya hal-hal yang membuat setiap pasangan merasa tertarik kepada pasangan yang lainnya. Adapun tentang pemeliharaan harta dibolehkan melakukan jual beli salam, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan sebagainya, karena dengan melakukan semua ini akan menghindarkan seseorang merasa kesulitan dalam memperoleh harta.

Maslahah al-tahsiniyah ini pada umumnya hanya bersifat anjuran untuk melakukan dan anjuran untuk menjauhi. Dan bisan saja anjuran itu tidak dilaksanakan oleh seseorang, karena tidak terkait dengan kerusakan dan kesulitan dalam melakukan sesuatu perintah atau mengentikan suatu larangan. Misalnya dalam shalat disunatkan berpakaian yang rapi dan berharum-haruman ke mesjid, dan dimakruhkan pergi menghadiri shalat jumat tanpa mandi sebelumnya. 

Demikian juga disunatkan hadir lebih awal pada hari jumat di mesjid. Dalam hal puasa seperti disunatkan berbuka tepat pada waktunya dan makan sahur. Hal ini terkait dengan pemeliharaan agama. Adapun yang berhubungan dengan pemeliharaan jiwa seperti dianjurkan makan-makanan yang baik dan bergizi, dan anjuran ini hanya bersifat mubah saja. 

Dalam hubungannya dengan pemeliharaan akal dianjurkan banyak membaca dan menambah ilmu pengetahuan yang sifatnya mubah, walaupun eksistensi menuntut ilmu itu hukumnya wajib, akan tetapi pernak-pernik yang ada pada proses menuntut ilmu itu pada umumnya menempati tempat mubah. Di sisi lain terkadang dimakruhkan melakukan sesuatu yang berpotensi mengganggu akal, seperti mendengar sesuatu yang tidak berguna, mengkhayal, dan sebagainya. 

Adapun berkenaan dengan pemeliharaan keturunan seperti dianjurkannya melaksanakan walimah yang hukumnya sunat walaupun dengan cara sederhana. Sedangkan dalam pemeliharaan harta seperti memberlakukan tradisi dalam transaksi jual beli, misalnya jual beli benda-benda furnitur dan benda-benda elektronik berat yang menurut kebiasaan diantarkan oleh si penjual ke tempat si pembeli dengan penambahan ongkos, atau tanpa penambahan ongkos karena sudah termasuk ke dalam harga barang. Semua ini hanya bersifat kebaikan yang dianjurkan dalam rangka membuat proses bermuamalah lebih mudah dan lancar. Ditinjau dari sisi hukum taklifi hukum yang ditemapti untuk masalah ini bersifat mubah saja.

Filsafat hukum Islam itu merupakan kajian yang amat penting dalam rangka mewujudkan kemaslahatan pada setiap hukum yang ditetapkan oleh mujtahid. Seorang mujtahid yang tidak mengedepankan filsafat hukum Islam, yang dalam kajiannya secara umum berkenaan dengan tujuan penetapan hukum dalam bentuk maqashid al-syari’ah, tidak akan menemukan hukum yang benar-benar sesuai dengan tuntutan Allah SWT. Hal ini karena kajian filsafat hukum Islam tidak digali dari keilmuan yang dibuat oleh manusia, akan tetapi digali dari ketentuan-ketentuan Allah dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi-Nya. 

Penelitian terhadap khitab Allah dan Rasul-Nya telah menghasilkan suatu kesimpulan apa sebenarnya yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya terhadap ketetapan hukum yang diputuskan, yaitu kemalahatan dan terjauh dari kemudaratan. Pedoman inilah yang harus diikuti oleh mujtahid kontemporer dalam menetapkan hukum-hukum selanjutnya yang muncul. Besar dugaan, bahwa dengan mengikuti pedoman yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya maka hukum yang dilahirkan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Teori filsafat Hukum Islam terpusat kepada penerapan maqashid al-syari’ah yang berpuncak pada prinsip menjaga kepentingan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta yang dikonversikan kepada salah satu tingkatan dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Kemudian jika kepentingan umum dapat melayani salah satu dari kelima prinsip tersebut secara qath’i dan kulli maka penalaran logis yang didasarkan kepadanya adalah valid. Konsepsi tersebut senada dengan pandangan al-Ghazali yang menyatakan bahwa apabila pembicaraan kemaslahatan yang esensi dan substansinya dalam upaya pemeliharaan dan realisasi dri maqashid al-syari’ah, yaitu dalam rangka pemeliharaan kepentingan lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan , dan harta, tidak perlu dikeragui dan harus dijadikan hujjah untuk kemudian dapat diikuti.

Intelektual hukum Islam sangat menyadari akan relatifitas maslahah. Seuatu yang dipandang maslahah oleh sebagian orang belum tentu dipandang maslahah juga oleh yang lain. Untuk mengeliminasikan relatifitas tersebut diperlukan beberapa kriteria dalam erifikasinya, salah satunya disebutkan bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan maqashid al-syari’ah. Dalam melakukan ijtihad dengan menggunakan metode maslahah harus dapat dipastikan bahwa kemaslahatan tersebut secara hakiki betul-betul sejalan atau tidak bertentangan dengan maqashid al-syari’ah. 

Metode maslahah terikat pada konsepsi bahwa syariat dilembagakan untuk kepentingan manusia dan berfungi memberikan manfaat dan mengeliminasikan kemafsadatan. Sehingga dengan pengetahuan yang memadai tentang maqashid al-syari’ah mujtahid diharapkan mampu mempertimbangkan ijtihadnya dengan tidak keluar dari konteks maqashid al-syari’ah. Oleh karena itu al-Syathibi menyebutkan bahwa validitas maslahah sangat ditentukan oleh; adanya kesesuaian antara maslahah dengan maqashid al-syari’ah dan tidak terdapat kontradiksi dengan dasar dan prinsip hukum lainnya, esensi dan substansinya harus logis dan implemetasinya bertujuan mengeliminasi kesempitan dan kesulitan hidup manusia.

Hukum maslahah juga merupakan perluasan lebih jauh dari nash, hanya saja nash-nya itu bukan indiviudal spesifik, tetapi didasarkan kepada nash kolektik yaitu kumpulan dari beberapa nash, kemudian daripadanya disimpulkan prinsip-prinsip umum syari’ah yaitu kemaslahatan manusia. Legitimasinya sebagai hukum syar’i adalah karena adanya mula’amah/munasabah.

Dengan metode ini perkembangan yang terjadi yang terjadi dalam tataran sosiologis akan senantiasa dapat disikapi meskipun kasus tersebut tidak tertera ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam teks-teks al-Qur`an secara individual dan kasus yang serupa juga tidak ditemukan sehingga padanya tidak dapat diterapkan analogi (qiyas). Namun dengan hukum maslahah perkembangan hukum dapat disikapi dengan merujuk pada ketentuan nash yang diambil dari kumpulan beberapa nash secara kolektif.

Dari pemaparan tentang korelasi antara maqashid al-syari’ah dengan metode maslahah jelaslah bahwa dalam rangka pengembangan pemikiran hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam nash, maka pemahaman terhadap maslahah sebagai tujuan pensyariatan hukum Islmam menjadi lebih urgen. Lebih dari itu adalah untuk mengetahui apakah terhadap suatu kasus hukum tersebut masih bisa diterapkan, jika situasi dan kondisi sosiologis komunitas Islam telah berubah. Untuk itu pengetahuan tentang maqashid al-syari’ah menjadi kunci keberhasilan sorang mujtahid dalam ijtihad-ijtihadnya.

Dari hal itu, tampaknya pengembangan hukum Islam dengan metode maqashid al-syari’ah akan banyak mengacu kepada persoalan-persoalan muamalah, karena bagaimana-pun, dalam kaitannya dengan ibadah mahdhah sepertinya pengembangan kurang bisa diterapkan mengingat prinsip umum dari ibadah adalah terlarang selama tidak ada dalil yang menyuruhnya secara jelas. Akan tetapi dalam muamalah prinsip umumnya bertolak belakang dengan ibadah, di mana muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Oleh karena itu kajian maqashid al-syari’ah, yang merupakan bahagian terbesar dari filsafat hukum Islam, sangat membuka peluang dalam menyelesaikan berbagai kasus yang muncul dalam bidang muamalah yang aturannya dalam nash pada umumnya bersifat global.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel