Pertanggungjawaban Pidana
Sunday, 20 July 2014
SUDUT HUKUM | Pertanggungjawaban Pidana
A. Pertanggungjawaban Pidana menurut Hukum Pidana Islam
a. Pengertian dan sebab-sebab penghapus tindak pidana dalam Pertanggungjawaban Pidana
Hukum
Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang menyangkut hubungan pribadi
manusia dengan Tuhannya maupun hubungan
sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah hukum
pidana Islam yang dalam tradisi fiqih disebut dengan istilah jarimah atau
jinayah, yang secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik yang
dilarang oleh syari'at dan diancam dengan hukuman bagi pelanggarnya.
Prinsip
tersebut berkali-kali ditandaskan dalam al-Quran dalam beberapa ayatnya yaitu
sebagai berikut :
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu, dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain"
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabbmu Menganiaya hamba-hambaNya.”
"Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”
Suatu
perbuatan tidak dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana sebelum ada
ketentuan Undang-undang yang melarang. Suatu perbuatan dan pelanggaran dari
ketentuan Undang-undang tersebut berakibat pada pelaku tindak pidana untuk
diminta pertanggungjawabannya.
Pertanggungjawaban
Pidana (al-Mas'uliyyah al-Jināiyyah)
ditegakkan atas
3 hal, yaitu:
- pelaku melakukan perbuatan yang dilarang
- pelaku mengerjakan dengan kemauan sendiri (mukhtar)
- pelaku mengetahui akibat perbuatannya (mudrik)
Ketiga
hal tersebut di atas harus terpenuhi, sehingga bila salah satunya tidak
terpenuhi maka tidak ada Pertanggungjawaban Pidana. Pelanggaran atau
kejahatan terhadap ketentuan hukum dapat berupa berbuat atau tidak
berbuat. Pelaku jarimah dapat dihukum apabila perbuatannya dapat
dipersalahkan. Setiap perbuatan pidana atau peristiwa pidana itu harus
mengandung unsur-unsur sifat melawan hukum, perbuatan tersebut dapat
dipersalahkan dan perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dalam hukum
dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum.
Lebih
lanjut dikatakan bahwa jarimah dapat dipersalahkan terhadap pelakunya apabila
pelaku tersebut sudah berakal, cukup umur, dan bebas berkehendak. Dalam arti
pelaku tersebut terlepas dari unsur paksaan dan dalam keadaan kesadaran yang
penuh.
Sedangkan
menurut syari'at Islam Pertanggungjawaban Pidana didasarkan atas dua
perkara, yaitu kekuatan berpikir dan pilihan (iradah dan ikhtiar).
Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan masa yang
dilalui hidupnya.
Unsur-unsur
jarimah dalam hukum pidana Islam, yaitu:
- Adanya nas yang melarang dan mengancam perbuatan itu
- Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah
- Si perbuat adalah mukallaf
Pada
dasarnya orang yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada yang di
antaranya tidak dihukum karena mabuk, gila dan belum dewasa.
Dalam
syarat sahnya memberi hukuman kepada mukallaf ada dua syarat yang harus
dipenuhi, yaitu:
- sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu memahami nas-nas hukum yang dibebankan al-Qur'an dan sunnah baik langsung maupun yang melalui perantara.
- Sang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya, pengertian ahli secara etimologis adalah kelayakan atau layak.
Oleh
karena itu kedua syarat tersebut apabila telah terdapat pada seseorang maka ia
dapat dikenai pertanggungjawaban. Jadi prinsip dasar dari kedua prinsip syarat
tersebut adalah kemampuan membedakan dengan menggunakan akalnya. Tanggung jawab
dapat diartikan bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan. Sedang bertanggung
jawab merupakan sikap tidak tergantung
dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Jelasnya pengertian tanggung jawab
di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri seseorang bahwa setiap tindakan
akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri.
Dalam
hukum pidana Islam, Pertanggungjawaban Pidana dapat terhapus
karena adanya sebab-sebab tertentu baik yang berkaitan dengan perbuatan si
pelaku tindak pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat
delik.62
Dalam
keadaan pertama, perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang mubah (tidak
dilarang), sedangkan dalam keadaan kedua perbuatan tersebut tetap dilarang tapi
tidak dijatuhi hukuman ketika melakukannya.
Seperti
kejahatan yang dilakukan dalam keadaan dipaksa, tidak akan ada tuntutan hukum
atas hal tersebut asalkan terbukti benarnya, kemudian kejahatan yang dilakukan
oleh seseorang dalam keadaan tidak sadar seperti mengigau, meskipun dia tampak
awas, namun dia tetap tertidur. Maka secara hukum dia tidak
bertanggungjawab, begitu juga dengan tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang masih anak-anak dan seseorang yang dalam keadaan gila atau sakit
saraf.
a.
Pembolehan perbuatan yang dilarang.
Pada
dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu diharamkan tetapi
terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian perbuatan yang dilarang bagi orang
yang memiliki karakter-karakter khusus sebab kondisi seseorang atau keadaan
masyarakat menuntut adanya pembolehan
ini. Juga karena orang yang diperkenankan untuk melakukan perbuatan yang
dilarang sebenarnya melakukannya untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa
tujuan hukum Islam. Contohnya membunuh. Perbuatan ini diharamkan bagi
setiap orang. Hukuman bagi pembunuh sengaja adalah qishash yaitu hukuman
mati. Tetapi hukum Islam meberikan hak dalam pelaksanaan hukuman mati
kepada wali korban.
b.
Hak dan kewajiban
Antara
hak dan kewajiban pada dasarnya adalah dua hal yang berbeda. Melakukan hak hanya bersifat boleh,
sedangkan melakukan kewajiban bersifat
harus
secara mutlak. Meskipun hak dan kewajiban berbeda pada tabiatnya, keduanya
sejalan dari segi pidana yaitu bahwa perbuatan yang dilakukannya baik
menjalankan kewajiban maupun menggunakan hak merupakan perbuatan yang
diperbolehkan dan tidak dianggap sebagai tindak pidana. Satu perbuatan dianggap
sebagai hak bagi seseorang, namun dianggap sebagai kewajiban bagi orang lain.
Misalnya: membunuh sebagai hukuman qishash adalah hak bagi wali
korban tapi qishash menjadi wajib bagi algojo yang ditugaskan untuk menjalankannya.
Pendidikan dalam mazhab hanafi adalah hak bagi suami dan ayah, namun merupakan kewajiban
bagi guru dan pengajar.
- Hak tidak mungkin dapat dijatuhi hukuman karena meninggalkannya, sedangkan kewajiban ada kemungkinan dijatuhi hukuman karena meninggalkannya. Ketetapan ini telah disepakati oleh para fuqaha
- Hak terikat dengan syarat keselamatan, sedangkan kewajiban tidak terikat dengan syarat keselamatan. Maksudnya, orang yang menggunakan haknya senantiasa bertanggungjawab atas keselamatan objek karena dia dapat memilih antara melakukan perbuatan yang menjadi haknya atau meninggalkannya.
Orang
yang memiliki kewajiban dia tidak bertanggung jawab atas keselamatan si objek
karena keharusan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan tidak bisa
dittinggalkannya (menurut Imam Abu Hanifah dan Iman Asy- Syafi'i). Adapun Iman
Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa hak sama seperti kewajiban
yaitu tidak terikat oleh syarat keselamatan karena menggunakan hak dalam
batasan yang telah ditetapkan merupakan perbuatan yang mubah dimana tidak adapertanggungjaawaban
terhadap sesuatu yang diperbolehkan.
Pertanggungjawaban
Pidana dapat hapus karena hal-hal yang bertalian dengan pebuatan atau karena hal-hal
yang bertalian dengan pelaku. Sebabsebab yang berkaitan dengan perbuatan yang
diperbolehkan disebut asbab al –ibahah.
Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku disebut asbab raf'i al-uqubah.
Abdul
Qadir Audah sebagaimana dikutip Ahmad Wardi Muslich menngemukakan bahwa sebab
diperolehkannya perbuatan
yang terlarang terdapat enam macam yaitu:
- difa' asy-syar'i (pembelaan yang sah)
- ta'dib (mendidik)
- pengobatan
- permainan kesatriaan
- halalnya jiwa, anggota badan dan harta (ihdar) seseorang
- hak dan kewajiban penguasa
Asbab raf'i al uqubah terbagi
menjadi empat yaitu:
- Paksaan
- Mabuk
- Gila
- Anak di bawah umur
3)
Sebab dan tingkat pertanggung jawaban pidana
Apabila
Pertanggungjawaban Pidana tergantung kepada adanya perbuatan melawan hukum,
sedangkan perbuatan melawan hukum itu bertingkat maka pertanggungjawaban
juga bertingkat-tingkat. Hal ini disebabkan karena kejahatan seseorang itu erat
kaitannya dengan niatnya.
- sengaja (al Amdu)
- menyerupai sengaja (Syibhu al 'Amd)
- keliru (al Khata')
4)
Yang mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana
a.
Pengaruh tidak tahu
Ketentuan
yang berlaku dalam syariat Islam adalah bahwa pelaku tidak dihukum
karena suatu perbuatan yang dilarang, kecuali mengetahui dengan sempurna
tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka tidak dibebani Pertanggungjawaban
Pidana. Dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui maka setiap mukallaf
dianggap mengetahui semua hukum atau undang-undang walaupun dalam
kenyataannya banyak dari mereka yang tidak mengetahui.
Tidak
tahu tentang arti suatu undang-undang dipersamakan dengan tidak tahu bunyi
undang-undang itu sendiri dan kedudukannya, maka tidak bisa diterima sebagai
alasan pembebasan hukuman. Dalam hukum positif kesalahan
pengertian ini disebut sebagai salah tafsir. Salah satu contoh yang terkenal
dalam syari'at Islam tentang salah tafsir adalah bahwa kelompok kaum muslimin
di negeri Syam, minum minuman keras karena menganggap minuman tersebut
dihalalkan, dengan beralasan firman Allah SWT
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Tetapi
meskipun mereka salah menafsirkan ayat tersebut, mereka tetap dijatuhi hukuman
juga.
b.
Pengaruh lupa
Lupa
adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam syari'at Islam, lupa disejajarkan
dengan keliru. Para
fuqaha terbagi dua kelompok dalam membahas hukum dan
pengaruh
lupa:
a)
Lupa adalah alasan yang umum baik dalam urusan ibadah maupun pidana.
Berdasarkan prinsip umum yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan
yang dilarang karena lupa, tidak berdosa dan dibebaskan dari hukuman.
Meskipun demikian tetap dikenakan pertanggungjawaban perdata apabila
perbuatannya menimbulkan kerugian orang lain.
b)
Lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat, karena hukumna
akhirat didasarkan atas kesengajaan sedangkan orang lupa kesengajaan itu sama
sekali tidak ada. Untuk hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan
hapusnya hukuman sama sekali kecuali hal yang berhubungan dengan hak
Allah dengan syarat adanya motif yang wajar untuk melakukan perbuatannya itu
dan tidak ada hal yang mengingatkannya sama sekali. Meskipun demikian pengakuan
lupa dari pelaku tidak bisa membebaskannya dari hukuman sebab pelaku
harus dapat membuktikan kelupaannya dan hal ini sangat sulit dilakukan.
c.
Pengaruh keliru
Keliru
adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang terjadi
karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat atau
kesengajaan melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati. Dalam segi Pertanggungjawaban
Pidana orang yang keliru dipersamakan dengan orang yang sengaja berbuat,
apabila perbuatan yang dilakukannya
itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Sebenarnya Pertanggungjawaban
Pidana hanya dibebankan kepada perbuatan sengaja yang diharamkan oleh
syara' dan tidak dikenakan terhadap kekeliruan.
Dengan
adanya ketentuan pokok dan yang satu lagi merupakan pengecualian dari ketentuan
pokok maka untuk dapat dikenakan hukuman
atas perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari syara'.
Jadi apabila syara' tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena
kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan pokok yaitu bahwa perbuatan tersebut
tidak dikenakan hukuman.
Perbuatan
yang berkaitan dengan jarimah dan hubungannya dengan Pertanggungjawaban Pidana
ada 3:
- Perbuatan langsung (mubasyaroh), Suatu perbuatan yang dengan langsung tanpa perantara telah menimbulkan jarimah dan sekaligus menjadi illat bagi jarimah tersebut, seperti penembakan seseorang dengan pistol terhadap orang lain yang mengakibatkan kematian
- Perbuatan sebab, Suatu perbuatan yang secara tidak langsung menimbulkan jarimah dan menjadi illat-nya pula, tapi dengan perantara perbuatan lain, seperti persaksian palsu atas orang yang sebenarnya tidak bersalah bahwa telah melakukan pembunuhan
- Perbuatan syarat, Suatu perbuatan yang tidak menimbulkan jarimah dan tidak menjadi illatnya seperti orang yang membuat sumur untuk keperluan sehari-hari tetapi digunakan oleh orang lain (orang kedua) untuk menjerumuskan orang ketiga sampai meninggal. Dalam contoh tersebut, adanya sumur menjadi syarat kematian korban dan penjerumusan adalah perbuatan langsung.
Bagi
pembuat syarat, tidak ada Pertanggungjawaban Pidana selama dengan perbuatannya itu tidak
bermaksud untuk turut serta, memudahkan
atau
memberi bantuan untuk terlaksananya jarimah. Sedangkan bagi pelaku perbuatan
langsung dan sebab dikenakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya karena
keduanya merupakan illat (sebab) adanaya
jarimah.
B.
Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
Dalam
sistem hukum pidana positif, Pertanggungjawaban Pidana terkait
erat dengan kesalahan dan perbuatan melawan hukum, sehingga seseorang
mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu:
- Unsur obyektif, yaitu harus ada unsur melawan hukum.
- Unsur subyektif, yaitu terhadap pelakunya harus ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan.
Menurut
Pompe, sebagaimana dikutip oleh Martiman Projohamidjojo, unsur-unsur toerekenbaarheid
(pertanggungjawaban), adalah :
- Kemampuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya.
- Dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya.
- Pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang makna dan akibat)
Satochid
Kartanegara menyatakan bahwa toerekeningsvatbaarheid atau dapat
dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan toerekenbaarheid
(pertanggungjawaban) adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan
sipelaku atau pembuat. Dalam sistem hukum pidana positif (KUHP), pelaku
tindak pidana tidak dapat dikenakan pidana apabila tidak dapat dasar peniadaan
pidana sebagai berikut:
a.
Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana, adalah:
1)
Keperluan membela diri atau noodweer
(Pasal
49 ayat 1 KUHP)
2)
Melaksanakan ketentuan undangundang
(Pasal
50 KUHP)
3)
Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa yang
berwenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP)
Ketiga
alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu tindakan
sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan.
b.
Alasan yang memaafkan pelaku, hal ini termuat dalam :
- Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing)
- Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana
- Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
- Pasal 51 ayat 2 KUHP, menyatakan terhapusnya pidana karena perintah jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya.
Ketentuan-ketentuan
tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum,
sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap nyawa. Dalam mengartikan sebuah
delik atau tindakan yang dapat dipidana haruslah ada unsur-unsur tertentu di
dalamnya, unsur-unsur tersebut menurut hukum positif yaitu : Suatu
perbuatan, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman, dan
Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.