Hukum Adat
Wednesday, 15 October 2014
SUDUT HUKUM | Hukum
adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di
Indonesia dan negara-negara Asialainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok.
Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah
peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan
ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat
yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.
Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini.
Di satu pihak ada yang menyatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arabyang
berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof. Amura, istilah ini berasal dari
Bahasa Sanskerta karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang
Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua
kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat
kebendaan.
Perdebatan
istilah Hukum Adat
HukumAdat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra
Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal
istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh)
pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi
adalah de atjehers.
Kemudian
istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang
Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar
pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht dalam bukunya
yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda)
pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan
di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam
Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang
Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.
Dalam
masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman
Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja.
Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh
para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.
Dalam
bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di
Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah
sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat
ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe
Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai lanjutan
kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit
bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada
adat.
Sedangkan
pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah dimiliki oleh
mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu tahun
masehi.
SBY menggunakan pakaian adat Aceh |
Prof.
Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat
telah dipergunakan seorang Ulama Aceh yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh
Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630. Prof. A. Hasymi
menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang
mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
Perdebatan Definisi Hukum Adat
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim
diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi
kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma,hukum, dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena
istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka
istilah hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan.
Namun
menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai hukum kebiasaan.
Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena
kebiasaan berarti demikian lamanya orang bisa bertingkah laku menurut suatu
cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan
oleh masyarakat. Jadi, menurut Van Dijk, hukum adat dan hukum kebiasaan itu
memiliki perbedaan.
Sedangkan
menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan,
namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen). Berbeda
dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari
hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam
bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.
Menurut
Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori keputusan)
mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang
menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai
kewibawaan dan pengaruh, serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta
merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan
tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi
juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar
juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.
Syekh
Jalaluddin menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan
tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat
dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada
peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa
tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada
di belakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan
peristiwa lain.
Definisi Hukum Adat
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven
Menurut
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan
tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak
lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki
makna hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang
dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran
terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.
- menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yang baku.
- menurut Prof. Djojodigoeno kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukumtertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).
Ter Haar
Ter
Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa
yang dinamakan hukum adat.
Hukum
adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat,
terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang
membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal
pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa,
sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang
pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas
dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya
tidak-tidaknya ditoleransi.
Hukum
adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua
kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak
hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga di luar itu
didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan
nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan
anggota-anggota persekutuan tersebut.
Lingkungan Hukum Adat
Prof.
Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat
(rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum
adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat
tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum
(Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
- Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
- Tanah Gayo, Alas dan Batak
- Tanah Gayo (Gayo lueus)
- Tanah Alas
- Tanah Batak (Tapanuli)
- Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
- Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
- Nias (Nias Selatan)
- Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
- Mentawai (Orang Pagai)
- Sumatera Selatan
- Bengkulu (Renjang)
- Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
- Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
- Jambi (Batin dan Penghulu)
- Enggano
- Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
- Bangka dan Belitung
- kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
- Gorontalo (Bolaang Mongondow, Suwawa, Boilohuto, Paguyaman)
- Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
- Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
- Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula)
- Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
- Irian
- Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
- Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
- Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
- Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
- Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)
Penegak hukum adat
Penegak
hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar
pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup
sejahtera.
Aneka
Hukum Adat
Hukum
Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
- Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
- Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
- Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai
persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat
merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa,
dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adatsuku Nuaulu yang
terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail
lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, di mana
proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau perangkat proses
ritual adat suku Nuaulu tersebut.
Dalam
penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku
Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau
mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam penjatuhan putusan pidana
terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam
kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat
adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan
ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan
kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian
masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan
ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
- Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
- Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
- Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia
merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, di mana diakui
keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam praktiknya
(deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola
ketertiban di lingkungannya.
Ditinjau
secara preskripsi (di mana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan
keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun
dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria
No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
sumber : Wikipedia