-->

Orang-Orang Yang Wajib Taqlid

SUDUT HUKUM | Kira-kira apa yang dipahami seorang yang awam tatkala membaca terjemahan ayat-ayat berikut, khususnya pada potongan ayat berikut ini :


“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah. Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.”  (QS. Al An’am: 114).
Orang-Orang Yang Wajib Taqlid

Bisa jadi seorang awam yang membaca beberapa ayat di atas akan menyimpulkan bahwa, dasar hukum yang berlaku dalam Islam hanyalah Al-Quran semata sebagaimana pemahaman orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW.


Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik.  (QS. An Nahl: 67).

Bisa jadi ia juga akan menyimpulkan bahwa khamer atau minuman yang memambukkan hukumnya adalah halal bahkan merupakan salah satu rezeki yang baik dari Allah.


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130).

Bisa juga dia akan menyimpulkan bahwa memakan harta yang dihasilkan dari proses yang riba tidaklah haram jika sedikit dan tidak berlipat ganda.

Padahal, bagi yang sedikit banyak membaca pendapat-pendapat ulama terkait ayat-ayat di atas, dapat memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan di atas adalah keliru.


A. Instrumen Dalam Memahami Al-Quran


Dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an, dibutuhkan banyak instrumen, yaitu berbagai ilmu penunjang. Maksudnya agar kita mendapatkan pemahaman yang benar, sebagaimana diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Di antaranya adalah kaedah-kaedah tafsir Al-Quran, asbabunnuzul, ilmu tentang as-saabiq dan al-laahiq, an-nasikh dan al-mansukh, dalalah al-alfadz, al-manthuq dan al-mafhum, al-‘am dan al-khas, al-muqayyad dan al-muthlaq, musthalah al-hadits dan lainnya.

Sebagai satu contoh, terkait ayat ke-114 dari surat Al-An'am. Ayat ini seringkali dipakai (dicomot) oleh orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW untuk melegitimasi keyakinan mereka terkait sumber hukum dalam Islam. Dimana mereka mengatakan bahwa hanya Al-Quran sajalah yang dapat menjadi sumber atau standar hukum dalam Islam. Sedangkan sunnah dan sumber lainnya tidak diperlukan. Alasannya, karena Al-Quran dianggap telah merinci (mufashshal) semua masalah dan tidak memerlukan rincian lainnya.

Padahal jika mereka ingin jujur dan konsisten dalam keyakinannya, mereka pasti akan pula menjadikan Sunnah Nabi sebagai dasar hukum yang juga dilegitimasi oleh Allah SWT dalam banyak ayat Al Qur’an, sebagaimana pula pada ijma’ dan qiyas.

Atau jika mereka menggunakan konsep as-saabiq dan al-laahiq dalam membaca ayat di atas, pastilah kesimpulan mereka bahwa Al Qur’an telah merinci setiap masalah agama bahkan dunia akan terbantahkan dengan sendirinya.

Allah SWT berfirman:

“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.

Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu  (QS. Al An’am: 111-114).

Berdasarkan konsep as-saabiq (membaca korelasi sebuah ayat dengan ayat sebelumnya), kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Quran yang Allah turunkan dengan terperinci adalah terkait dengan masalah ukhrawi atau masalah ghaib.

Sedangkan untuk masalah-masalah hukum seperti shalat, zakat, haji dan lainnya, Allah tidak menurunkan penjelasannya secara rinci. Allah menugaskan rasul-Nya untuk menjelaskan rincian hukum-hukum tersebut yang selanjutnya diteruskan oleh ulama-ulama yang mewarisi ilmu para rasul.

Allah SWT berfirman:


Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An Nahl: 44).


Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (An Nahl: 64).

Di samping itu, tidaklah mungkin terjadi kontradiksi/pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya, sebagaimana ketetapan Allah SWT,
 “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa: 82).

Dalam konteks memahami nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits inilah, akhirnya para ulama menetapkan bahwa wajib seorang yang awam, -yaitu orang-orang yang tidak memiliki kompetensi sebagai mujtahid serta tidak memiliki ilmu-ilmu atau perangkat-perangkat untuk berijtihad-, untuk bertanya dan mengikuti pendapat-pendapat ulama yang mumpuni dan diakui. Atau dalam literatur fiqih disebut dengan taqlid. [1]

Bukankah dalam perkara dunia saja hal ini merupakan suatu yang lumrah terjadi. Seorang yang sakit umumnya tanpa berpikir panjang akan menuruti saran-saran dokter untuk kesembuhannya. Hal yang sama pun berlaku dalam masalah agama, bahkan dirasa lebih urgen, sebab dimensi agama mencakup dunia dan akhirat.

Yang tentunya dibutuhkan kehati-hatian yang lebih agar amalan yang dilakukan sesuai dengan koridor yang diinginkan oleh Allah dan Rasulnya.


B. Pengertian Taqlid


Secara bahasa kata taqlid (التَّقْلِيدُ) merupakan mashdar dari kata qallada (قَلَّدَ) yang berarti mengikatkan sesuatu dileher seseorang. [2].

Sedangkan secara istilah, setidaknya terdapat dua definisi berbeda terkait pengertian taqlid.

1. Pengertian Pertama

Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqih, yaitu:


قَبُول قَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ


“Menerima/mengikuti perkataan orang lain yang (perkataannya) tidak bersifat hujjah.”

Seperti seorang yang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah SAW atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma’ maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.[3]

2. Pengertian Kedua


الأْخْذُ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عدم مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ


“Mengambil perkataan/pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar/dalil dari perkataan tersebut.”

Seperti layaknya seorang awam atau anak kecil yang baru belajar tata cara shalat tanpa ia mengetahui dalil-dalil dari amalan yang ia lakukan.

Definisi ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan imam Asy Syawkani untuk menetapkan tingkatan ittiba’ antara tingkatan ijtihad dan taqlid. Di mana mereka mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengambil pendapat orang lain sembari ia tahu dalil yang mendasari pendapat ini.[4]

Hanya saja menurut penulis definisi yang kedua ini mengandung kelemahan dari beberapa sisi:

Pertama : Pendapat ini diambil oleh minoritas ulama, bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa telah terjadi ijma’ di antara ulama bahwa manusia terbagi dua; mujtahid dan muqallid. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Rusyd, Abu Hamid Al Ghazali dan imam Al Harawi.

Kedua : Terlepas seseorang mengatahui dalil yang mendasari pendapat seorang mujtahid atau tidak, maka ia pada ada dasarnya tetaplah muqallid (bertaqlid) kepada mujtahid tersebut.

Sebab meskipun ia tahu dalil pendapatnya, tetaplah ia masih tidak mampu untuk menetapkan sebuah dalil atas sebuah masalah yang dihadapi kecuali jika yang bersangkutan telah mencapai derajat mujtahid yang dibuktikan dengan pengetahuannya yang mendalam terhadap perangkat-perangkat ijtihad sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Al Ghazali ketika menjelaskan tentang syarat-syarat mujtahid :

“Harus mengetahui lengkap dalil-dalil syar’i (madarik asy syar’) yaitu dengan mengetahui dalil-dalil yang membuahkan hukum dan mengetahui tata cara membuahkannya.

Adapun dalil yang membuahkan hukum ada empat:

  1. Al Qur’an
  2. As Sunnah
  3. Al Ijma’
  4. Akal.


Sedangkan tata cara membuahkannya dengan empat ilmu, dua ilmu pokok yaitu

  1. Ilmu tentang cara menetapkan dalil atas sebuah masalah (ushul fiqih)
  2. Ilmu bahasa Arab dan nahwu,


dan dua ilmu penyempurna yaitu

  1. Nasikh mansukh
  2. Ilmu musthalah hadits.” [5]


Ketiga : Atau bisa pula dua definisi di atas disingkronkan (al jam’u wa at tawfiq) dengan menyimpulkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai mujtahid pada masalah yang ia dapat berijtihad di dalamnya dan ia disebut pula sebagai seorang muqallid dalam masalah yang lain. Dan ini adalah maksud dari ucapan ulama,
“Sesungguhnya baik ijtihad maupun taqlid bisa saja terbagi-bagi”. [6]

Keempat : Selain itu, jika merujuk kepada definisi pertama bahwa taqlid adalah mengikuti ucapan ulama yang pada dasarnya bukan merupakan hujjah, akan tetapi kita tahu bahwa ulama yang boleh diikuti ucapannya adalah ulama yang mempunyai kapabilitas berijtihad dan kemampuan memamahi dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah secara luas, seperti empat imam mazhab; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Dan kita ber-husnu dzan (berprasangka baik) kepada mereka bahwa pastilah pendapat-pendapat mereka didasari atas sebuah dalil.

Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya mengambil mazhab 4 (dalam menjalankan agama) adalah maslahat yang besar dan berpaling darinya secara keseluruhan adalah bencana yang besar.” [7]


أن هذه المذاهب الأربعة المدونة قد اجتمعت الأمة أو من يعتد به منها على جواز تقليدها إلى يومنا هذا وفي ذلك من المصالح ما لا يخفى لا سيما في هذه الأيام التي قصرت فيها الهمم وأشربت النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه


“Sesungguhnya empat mazhab yang telah terkodifikasi ini telah disepakati oleh umat akan bolehnya bertaqlid kepada mereka hingga hari ini. sebab di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak diragukan lagi, apalagi di saat banyak orang kehilangan semangat (dalam menuntut ilmu), takluknya jiwa oleh hawa nafsu, dan setiap diri merasa ‘ujub (benar sendiri) dengan pendapatnya.”


C. Dalil-dalil Wajibnya Bertaqlid kepada Ulama


Dalam kitabnya, Alla Mazhabiyyah, DR. Said Ramadhan Al Buthi menyebutkan sejumlah dalil atas wajibnya seorang yang awam bertaqlid kepada pendapat ulama yang mumpuni.

1. Firman Allah SWT:


فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ


“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43).

Dan sudah menjadi konsensus ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalil sebuah masalah untuk ittiba’ (taqlid) kepada orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqih berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

2.  Ijma' Ulama

Sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulullah SAW berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa (mujtahid).

Dan sudah jelas bahwa agama diambil dari semua shahabat, tetapi mereka ada yang mempunyai kapasitas berijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah semua shahabat, serta di antaranya juga ada mustafti atau muqallid dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangat banyak.

Dan seorang shahabat yang menjadi mufti tidak setiap menyebutkan hukum selalu memaparkan dalilnya kepada si penanya.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga mengutus seorang faqih dari kalangan shahabat ke pelbagai daerah yang penduduknya tidak tahu menahu tentang hukum Islam kecuali akidah Islam dan keyakinan rukun-rukunnya saja. Dan kemudian mereka mengikuti apa saja yang difatwakan oleh shahabat tersebut dan mendorong mereka mengikutinya dalam praktik amaliyyah, ibadah, muamalah dan macam ragam urusan halal dan haram.

Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa bab taqlid dan meminta fatwa, mengambil dalil akan wajibnya orang awam bertaqlid, ia berkata, “Aku mengambil dalil atas hal tersebut dengan dua jalan, salah satunya adalah ijma’ shahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam dan tidak memerintahkan mereka supaya menggapai derajat ijtihad. Dan hal itu sudah maklum secara pasti serta mutawatir dari ulama dan yang awam dari mereka.”[8]

Al Amidi dalam Al Ihkam berkata, “Adapun dalil ijma’ nya, orang-orang awam di masa shahabat dan tabi’in, sebelum munculnya orang-orang yang menyelisihi, selalu meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikutinya dalam kaitan hukum-hukum syariat. Ulama yang mujtahid tersebut bergegas menjawab hukum tanpa menyebutkan dalilnya, dan faktanya shahabat tidak ingkar dan tidak melarang. Hal itu menjadi ijma’ akan bolehnya orang awam mengikuti mujtahid secara mutlak.” (Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, 2/171).

3. Dalil Akal

Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqih, pilihannya hanya ada dua; antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid. Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena ia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan profesi maisyah pastilah akan terbengkalai. Klimaksnya, dunia ini akan rusak. Dan pilihan terakhirlah yang ditempuh, yaitu taqlid.[9]

Sedangkan terkait perkataan emapat imam mazhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang tidak mampu berijtihad dari Al Qur’an dan Al Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. [10]

Wallahua'lam bis asshawab


Rujukan:


[1] Lihat: Ibnu Rusyd Al Hafiid, Adh Dharuri fie Ushul Al Fiqh 1/94, Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustahasfa, h. 382-383.

[2] Raudhah An Nadzir 2/449
[3] Syarh Musallam Ats Tsubut 2/400, Raudhah An Nadzir 2/450
[4] I’lam Al Muwaqqi’in 4/192, 236
[5] Al Musthashfa 1/342-343. 
[6] Said Ramadhan Al Buthi, Alla Mazhabiyyah Akhtar Bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah
[7] ‘Iqd Al Jid fi Ahkam Al Ijtihad wa At Taqlid h. 20). Dan beliau berkata dalam kitabnya, Al Inshaf fi Bayan Asbab Al Ikhtilaf, (h. 97
[8] Al Mustashfa 2/385
[9] Alla Mazhabiyyah: Akhar bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah, h. 70-73, Takhrij Ahadits Al Luma’ h. 348. 
[10] Al-Mizan Al-Kubra 1/62
oleh :Isnan Ansory, M. Ag, dimuat di rimahfiqh.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel