Khawarij
Monday, 24 February 2014
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada masa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan Khulafaur Rasyidin, kaum muslimin
masih bersatu. Mereka berada di dalam satu aqidah, satu fikrah, dan satu
jamaah. Apabila ada perselisihan di antara mereka dalam suatu permasalahan,
maka akan segera dapat dipecahkan dikarenakan mereka langsung mengembalikan
masalah tersebut kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Masa tersebut
adalah masa yang bersih atau bisa disebut masa keemasan bagi persatuan umat
Islam dalam aqidah yang satu yang tidak ada perselisihan dan perpecahan. Hal
ini disebabkan karena orang-orang yang hidup pada zaman tersebut yakni para
sahabat senantiasa dibimbing oleh wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sehingga setiap ada
permasalahan mereka bisa langsung bertanya kepada beliau.
Para Sahabat
hidup pada zaman Nabi dalam satu Aqidah. Karena mereka mendapati masa-masa
turunnya wahyu. Mereka dimuliakan karena persahabatannya dengan Rasul. Mereka
adalah para sahabat yaitu yang beriman terhadap apa yang dibawa oleh
Rasulullah, pernah melihat beliau, dan mati dalam keadaan Islam.
Fitnah dan
firqah di antara kaum muslimin baru muncul di akhir kekhalifan Utsman bin Affan
Radhiyallaahu 'anhu, yaitu ketika ada sekelompok orang yang menuduh Utsman bin
Affan Radhiyallaahu 'anhu bertindak kolusi, dengan mengangkat gubernur dari
kalangan kerabatnya. Tuduhan tersebut berlanjut pada pembunuhan Utsman bin
Affan Radhiyallaahu 'anhu oleh kaum dzalimin. Dari sinilah berawal peristiwa
berdarah antar kaum muslimin.
1.2. Rumusan Masalah
Ketika
kekhalifahan dijabat oleh Ali Radhiyallaahu 'anhu beliau sebagai pengganti
Ustman Radhiyallaahu 'anhu, sebagian kaum muslimin menuntut dengan segera
qisash terhadap para pembunuh Utsman. Namun Ali Radhiyallaahu 'anhu tidak
segera memenuhi permintaan mereka karena satu pertimbangan yaitu ingin
membenahi dahulu pemerintahannya, baru setelah itu membereskan kasus pembuhunan
Utsman.
Akhirnya
terjadilah pertumpahan darah antara pendukung Ali dengan pendukung Aisyah
Radhiyallaahu 'anha yang dibantu oleh Zubair dan Thalhah yang terkenal dengan perang Jamal. Kemudian terjadilah
pertumpahan darah antara pendukung Ali dengan Muawiyah yang terkenal dengan
perang Shiffin. Dan berakhir dengan adanya tahkim di antara kedua belah pihak.
Setelah
terjadinya tahkim muncullah firqah Khawarij yang mengafirkan kedua belah pihak
karena tahkimur rijal (berhukum dengan hukum manusia). Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Ahlul Bid’ah yang pertama kali keluar dari Jama’atul
Muslimin adalah firqah Khawarij”.
Untuk
mengetahui lebih menyeluruh mengenai firqah Khawarij, maka pemakalah membatasi
masalah yang dikaji sebagai berikut:
Ø Bagaimana pemikiran-pemikiran firqah
Khawarij yang menyimpang dari aqidah Ahli Sunnah?
Ø Bagaimana sifat-sifat yang terdapat
dalam firqah Khawarij agar
kita dapat menjauhi firqah tersebut?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penting bagi
Umat Islam untuk membentengi aqidah dari berbagai kesesatan dan penyimpangan.
Pentingnya membentengi aqidah dari aneka penyimpangan itu merupakan hal yang
sangat perlu dimengerti oleh Umat Islam terutama para ulama, da’i, mubalig, dan
pelajar Islam. Oleh karena itu, tujuan dan manfaat yang hendak dicapai dalam
penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
Ø Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran
dari firqah Khawarij yang
perlu dijauhi oleh kaum muslimin.
Ø Mengidentifikasi sifat-sifat tercela
dari firqah Khawarij yang masih muncul hingga saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI KHAWARIJ
Khawarij
(dalam bahasa Arab: خوارج baca Khawarij, secara harfiah berarti:
Mereka yang keluar) ialah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan
Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu, lalu menolaknya. Namun realitanya tidak
demikian karena tidak semua yang keluar dari pemerintahan Ali disebut Khawarij
seperti kelompok Mu’awiyah yang menuntut balas atas pembunuhan khalifah Utsman.
Penamaan Khawarij lebih kepada kelompok yang membawa aliran aqidah mengafirkan
orang yang melakukan dosa besar termasuk yang menerima tahkim (arbitrase)
antara kelompok Ali dan Mu’awiyah namun kemudian menolaknya.
Awal
keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman Amirul Mu’minin
Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu ketika terjadi tahkim (musyawarah dua
utusan). Mereka berkumpul di suatu tempat yang disebut Harura (satu tempat di
daerah Kufah) di daerah yang kini ada di Irak selatan. Oleh sebab itulah mereka
juga disebut Al-Haruriyah.
2.2. SEJARAH MUNCULNYA KHAWARIJ
Para Ahli
sejarah berbeda pendapat tentang awal kemunculan firqah Khawarij, di antara
mereka ada yang mengatakan bahwa Khawarij muncul pada masa Nabi, yaitu ketika
berdirinya Dzul Khuwaishirah untuk menentang dan mengomentari pembagian ghanimah
yang dilakukan oleh Nabi, dengan mengatakan bahwa beliau tidak adil. Perbuatan Dzul Khuwaisirah ini tidak bisa
disebut sebagai firqah Khawarij karena dilakukan sendirian, akan tetapi bisa
dikatakan bahwa benih-benih Khawarij telah ada pada masa Rasulullah, ini
pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Jauzi, serta yang lainnya.
Sedang
pendapat yang kuat adalah Firqah Khawarij muncul ketika mereka keluar dari
peristiwa tahkim antara Ali dan Mu’awiyah.[1] Dengan rincian kisah sebagai berikut;
Pada tahun 37
H Mu’awiyah, Gubernur Syiria memberontak terhadap Amirul Mu’minim Ali bin Abi
Thalib. Pemberontakan itu meletus dalam suasana berkabung dan emosi yang
meletup-letup karena pembunuhan Utsman
bin Affan Radhiyallaahu
'anhu. Ali
mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara,
yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syiria. Dengan pemecatan itu
Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan Ali. Tidak jelas mana yang lebih
dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian Utsman atau ingin
mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.
Sebelum
peperangan meletus, Ali sudah mengirim Jarir bin Abdillah Al-Bajuli untuk
berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan
karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh Ali. Mu’awiyah
menuntut dua hal:
1. Ekstradisi
dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amirul Mu’minim Utsman bin
Affan.
2. Pengunduran
diri Ali dari jabatan Imam (Khalifah)
dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.
Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar
meletus Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats bin Aibi Al
Yarbu’I At-Tamimi, Ali bin Hatim At-Tha’I, Yazid ibn Qais Al-Arhabi , dan Ziyad
bin Khasafah At-Taimi At-Tamimi, untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi
perundingan ini pun juga berakhir dengan kegagalan.
Pada
masa ini terjadilah perbedaan ijtihad antara sahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sehingga
muncullah peperangan antara dua belah pihak yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu
'anhu dan para pendukungnya berhadapan dengan Muawiyah Radhiyallaahu 'anhu dan
para pendukungnya. Lalu terjadilah perdamaian antara kedua kubu tersebut. Namun
justru dari titik-titik perdamaian ini muncul suatu golongan firqoh dlollah
(aliran sesat) yang pertama yakni munculnya golongan Khawarij.
Golongan
Khawarij adalah golongan yang mengkafirkan kedua kubu sahabat Nabi yang
melakukan perdamaian. Munculnya Khowarij bertepatan dengan kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu pada tahun 37 Hijriyah yaitu ketika Ali bin Abi
Thalib Radhiyallaahu 'anhu dan pendukungnya menerima tahkim dengan Muawiyah Radhiyallaahu
'anhu dan para pendukungnya dimana mereka masing-masing mengutus utusannya. Di
pihak Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu diutuslah Abu Musa al Asy’ari Radhiyallaahu
'anhu sedang di pihak Muawiyah diutuslah Amr bin al Ash Radhiyallaahu 'anhu. Di
tengah-tengah kejadian ini muncullah dikalangan pendukung Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu
'anhu, orang-orang yang tidak menyetujui tahkim dengan perwakilan seperti itu
dan mereka menyatakan bahwa, dengan melakukan demikian Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah Radhiyallaahu 'anhu telah berhukum kepada manusia dan bukan berhukum
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian mereka mendatangi Ali bin Abi Thalib
Radhiyallaahu 'anhu dan menyerunya untuk bertobat. Mereka mengatakan bahwa
mereka ketika itu telah kafir namun mereka telah bertobat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan menyeru Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu untuk
bertobat dari perbuatannya.[2]
Mereka
memiliki landasan berpijak dari Al-Qur’an, namun pijakan yang mereka jadikan
sebagai dalil dalam pemahamannya salah, yaitu ketika mereka membaca ayat
Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 44:
!4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
"Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.”
Kemudia
mereka juga mengungkapkan ayat di dalam surat Al-Hujurat ketika dua golongan
saling bertentangan maka harus diperangi golongan yang dzolim di antara mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS.
Al-Hujurat: 9). Dengan ayat di atas mereka berpendapat bahwa Ali bin Abi
Thalib Radhiyallaahu
'anhu telah melanggar hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan harus diperangi.
Maka jika tidak bertobat hukumnya menjadi kafir. Menurut pandangan mereka Ali
bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu telah bertahkim kepada manusia ketika
mengutus Abu Musa al Asy’ari Radhiyallaahu 'anhu sedang di pihak Muawiyah Radhiyallaahu
'anhu mengutus Amr bin al Ash Radhiyallaahu 'anhu. Padahal Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu
'anhu telah memberi penjelasan kepada
mereka untuk menghilangkan syubhat yang ada dalam memahami tahkim. Bahwa
sesungguhnya ketika seseorang berhukum kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan
berarti langsung bertanya kepada
Al-Qur’an tapi harus ada orang yang
menyelenggarakan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan dalam surat
An-Nisa ayat 35, tentang konflik dua pihak antara suami dan istri, Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberikan ketentuan, yakni agar diutuslah hakim diantara
dua pihak yaitu pihak suami dan istri.
Hal ini
seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu dengan mengutus Abu
Musa al-Asy’ari Radhiyallaahu 'anhu serta Muawiyah mengutus Amr bin Ash Radhiyallaahu
'anhu. Namun penjelasan ini tidak diterima oleh orang-orang Kahwarij, mereka
tetap terus dengan prinsip batilnya, dengan telah mengkafirkan Ali bin Abi
Thalib Radhiyallaahu 'anhu dan memeranginya. Bahkan lebih jauh lagi,
orang-orang Khawarij juga mengkafirkan
pelaku dosa besar. Karena kesalahan di dalam mengambil pemahaman dalil-dalil
Al-Qur’an bahwa pemahaman
dalil-dalil Al-Qur’an bahwa makna tbrãÏÿ»s3ø9$# ãNèd y7Í´¯»s9'ré'sù ini mengandung pengertian, baik kafir kecil maupun kafir besar, sedangkan
mereka mengklaim bahwa ayat tersebut adalah total kafir besar dan semua
ayat-ayat yang menyatakan kekufuran ini adalah kufur besar tanpa melihat
qorinah-qorinah yang memalingkan dari
kafir besar sehingga semua kalimat-kalimat itu tidak dibedakan dan dipukul rata
maknanya.
Kelompok
khawaij meneriakkan La hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum
Allah). Mereka meminta Ali mengaku salah, bahkan mengakui bahwa dia telah kafir
karena menerima Tahkim. Mereka mendesak Ali supaya membatalkan hasil
kesepakatan Tahkim. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali
berperang di pihak Ali. Tentu saja Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh
dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau Ali mungkir
janji koalisinya akan semakin pecah. Lagi pula bagaimana mungkin dia mau
mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik semenjak
beriman.
Karena
tuntutan mereka tidak dipenuhi Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp Ali di
Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura inilah, maka untuk pertama kali
mereka itu dikenal dengan nama golongan
Al-Haruriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sendiri dan memilih
Abdullah bin Wahab Ar-Rasidi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka
keluar dari kubu Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan Al-Khawarij, bentuk
jama’ dari Khariji (yang keluar).
Semakin
lama kelompok yang memisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan
Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan
kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat
sungai Tigris. Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan
hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah
ke Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke
Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah
pimpinan Abdullah ibn Wahab Ar-Rasibi. Semula Ali tidak menanggapi secara serius
gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang
kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat
mereka.
Ali
kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. Ali menawarkan kepada
mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syiria, atau
pulang ke kampung masing-masing. Sebagian memenuhi anjuran Ali; ada yang
bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke
daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka
menyerang pasukan Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan
pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh.
Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak
peristiwa Nahrawan itulah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah
semakin radikal dan kejam. Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh
Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan.
Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik Ali dapat
menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan Ali
tidak pernah bisa berangkat ke Syiria. Antara tahun 39 dan 40 H berulang kali
orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras Ali untuk menghadapinya.
Mu’awiyah pun, setelah Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Mu’minim dan
terkenal hilm (lemah lembut dan arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu
tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.
Inilah
dasar pemikiran sesat yang tumbuh pada sebagian kaum muslimin dimana hal ini terus
berlanjut hingga saat ini. Sehingga masih ada orang yang ketika menemukan
kata-kata kufur, langsung ditafsirkan sebagai kufur akbar yang mengeluarkan
seseorang dari Islam dan otomatis pelakunya akan langsung kafir. Ini adalah
pemikiran yang sangat berbahaya sekali.
Khowarij
ini termasuk pokok pangkal golongan bid’ah yang menitis pada golongan-golongan
lain berikutnya bahkan dalam perkembangannya berkembang prinsip-prinsip yang
lain yang tidak hanya sekedar pengkafiran dalam hal siyasah.
2.3. SEKTE-SEKTE KHAWARIJ
Dalam
perkembangan selanjutnya Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok, karena
sudah menjadi dustur mereka kalau berbeda pendapat segera memisahkan diri
membentuk kelompok sendiri. Para sejarawan berbeda pendapat tentang jumlah
kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak kurang
dari dua puluh kelompok, sebagian ushul dan yang lain furu’. Yang termasuk
ushul menurut Abu Hasan Al-Asy’ary adalah: Al-Azariqah, Al-Ibadiyah,
An-Najdiyah dan Ash-Shufriyah. Sementara menurut Syahrastani yang masuk ushul
adalah Al-Muhakkimah Al-Ula, Al-Azariqah, an-Najdat, Al-Baihasiyah,
Al-Ajaridah, Ats-Tsa’alibah, Al-Ibadhiyah dan Ash-Shufriyah. Yang termasuk
furu’ banyak sekali, tidak relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di
antaranya adalah Al-Athawiyah, Al-Fadikiyah dan Al-Ajaridah.
2.4. TOKOH-TOKOH KHAWARIJ
1. Abdullah ibn
Wahhab Al-Rasyibi pemimpin sekte Al-Muhakkimat. Dia adalah tokoh utama dari
12.000 orang yang keluar dari barisan Ali Radhiyallaahu 'anhu dan
menjadikan Harura sebagai basis pergerakan. Di desa itu, Abdullah bersama
kroninya mendirikan “khilafah baru” dengan pemimpinnya Abdullah sendiri.
2. Nafi’ ibn
Al-Azraq merupakan salah seorang pengikut sekte Muhakkimah yang tersisa dalam
peperangan di Nahrawan. Bersama kroni-kroninya, ia kembali menyebarkan paham
Khawarij dengan berganti baju Al-Azariqah.
3. Najdah ibn
Amir Al-Hanafi, pemimpin sekte Al-Najd, merupakan koalisi dari beberapa tokoh
Khawarij-seperti Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil, Atiah Al-Hanafi, dan Najdah
sendiri-akibat kekecewaan terhadap kepemimpinan Nafi’ Al-Azraq.
2.5. PEMIKIRAN ALIRAN
KHAWARIJ
1. Menganggap
kafir orang-orang yang berseberangan dengan mereka, terutama yang terlibat
dalam perang Shiffin. Karenanya, tidak ada istilah damai untuk penentang
Khawarij, mengingat yang dimaksud ishlah dalam surat Al-Hujurat ayat 9 adalah
sesama orang Islam, tidak dengan orang kafir.
2. Orang Islam
yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan pembunuh adalah kafir dan
selamanya masuk neraka.
3. Hak khilafah
tidak harus dari kerabat nabi atau suku Quraisy khususnya, dan orang Arab
umumnya. Seorang khalifah harus dipilih oleh kaum Muslimin melalui pemilihan
yang bebas. Khalifah yang taat kepada Allah dan umat yang durhaka kepada
khilafah yang wajib ditaati, boleh diperangi dan dibunuh.
4. Orang musyrik
adalah yang melakukan dosa besar, tidak sepaham dengan mereka, atau orang yang
sepaham tetapi tidak ikut hijrah dan berperang bersama mereka. Orang musyrik
itu halal darahnya. Nasib mereka bersama anak-anaknya akan kekal di neraka.
5. Mereka
menganggap bahwa hanya daerahnya yang disebut Darul Islam, dan daerah orang
yang melawan mereka adalah Darul Harb. Karenanya, orang yang tinggal dalam
wilayah Darul Harb, baik anak-anak maupun wanita, boleh dibunuh.
6. Ajaran agama
yang harus diketahui hanya ada dua, yakni mengetahui Allah dan rasul-Nya.
Selain dua hal itu tidak wajib diketahui.
7. Melakukan
taqiyah (menyembunyikan keyakinan demi keselamatan diri), baik secara lisan
maupun perbuatan adalah dibolehkan bila keselamatan diri mereka terancam.
8. Dosa kecil
yang dilakukan secara terus menerus akan berubah menjadi dosa besar dan
pelakunya menjadi musyrik.
2.6. PENYIMPANGAN KHAWARIJ
DARI AQIDAH AHLUS SUNNAH
1. Mengafirkan
para pelaku dosa besar dari kaum muslimin.
2. Orang Islam
yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan pembunuh adalah kafir dan
selamanya masuk neraka.
3. Menghalalkan
darah kaum muslimin yang berseberangan dengan mereka.
4. Mengafirkan
Ali dan para sahabat yang mendukungnya.
2.7. SIFAT-SIFAT KHAWARIJ
Khawarij
mempunyai sifat-sifat yang telah Rasulullah ramalkan dalam hadits-hadits beliau
di kemudian hari. Di antara sifat-sifatnya adalah:
1. Suka mencela dan menganggap sesat
Sifat yang
paling Nampak dari Khawarij adalah suka mencela terhadap para imam, menganggap
mereka sesat, dan menghukumi mereka sebagai orang-orang yang telah keluar dari
kebenaran dan keadilan. Sifat ini tercermin dalam perkataan Dzul Khuwaishirah
terhadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dengan perkataannya, “Wahai Rasulullah, berlaku
adillah![3]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Inti kesesatan mereka berkenaan dengan aimmatul
huda (para imam yang diberi petunjuk) dan jama’atul muslimin, bahwa mereka
semua keluar dari keadilan dan mereka semua sesat, pendapat ini kemudian
diikuti orang-orang yang keluar dari As-Sunnah seperti Rawafidh dan yang
lainnya, mereka mengategorikan apa yang mereka pandang kedzaliman ke dalam
kekufuran.[4]
2. Berprasangka buruk (su’udhan)
Sifat ini
tercermin dalam perkataan Dzul Khuwaishirah kepada Rasulullah,
وَاللَّهِ إِنَّ هَذِهِ الْقِسْمَةَ
مَا عُدِلَ فِيهَا وَمَا أُرِيدَ بِهَا وَجْهُ اللَّهِ
Demi Allah, ini benar-benar suatu
pembagian yang tidak adil dan tidak dikehendaki di dalamnya wajah Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Mengenai
permasalahan tersebut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, “Pada masa
peperangan Hunain, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membagi ghanimah Hunain untuk orang-orang yang
hatinya lemah, yaitu penduduk Najd dan bekas tawanan Quraisy, seperti Uyainah
bin Hafs, dan beliau tidak memberikan kepada para Muhajirin dan Anshar sedikit
pun. Maksud beliau memberikan kepada mereka adalah untuk mengikat hati
mereka dengan Islam, karena keterikatan hati mereka memberikan maslahat
umum bagi kaum muslimin. Sedangkan yang tidak beliau beri karena mereka lebih
baik di mata beliau dan mereka adalah sebaik-baik hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika pemberian itu tidak dipertimbangkan
untuk maslahat umum, maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak akan memberikan kepada para aghniya’
(orang-orang kaya), para pemimpin yang ditaati di kalangan mereka, dan akan
memberikan kepada para Muhajirin dan Anshar yang lebih membutuhkan dan lebih
utama. Oleh sebab inilah orang-orang Khawarij mencela Nabi untuk berlaku adil.
Memang mereka terkenal dengan shaum, shalat, wara’, serta zuhudnya; akan tetapi
itu semua tanpa disertai ilmu, mereka keluar dari Sunnah dan jama’ah, sehingga
mereka mencela pembagian tersebut, padahal pemberian itu menurut maslahat
Ad-Dien, jika pemberian itu akan semakin mengundang ketaatan kepada Allah dan
semakin bermanfaat bagi din-Nya, maka pemberian itu jauh lebih utama. Pemberian
kepada orang yang membutuhkannya untuk menegakkan agama, menghinakan musuh-musuhnya,
menenangkan dan meninggikannya adalah lebih utama dari pada pemberian yang
tidak demikian, walaupun yang kedua lebih membutuhkan.[5]
3. Berlebih-lebihan di dalam Ibadah
Sifat ini
ditunjukkan oleh Nabi dalam sabdanya,
Akan muncul
suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, bacaan kalian tidaklah sebanding
dengan bacaan mereka sedikit pun, tidak pula shalat kalian sebanding dengan
shalat mereka sedikit pun, dan tidak pula shaum kalian sebanding dengan shaum
mereka sedikitpun. (H.R Muslim)
Hasan bin Ali
berkata mengenai mereka, “Kaum yang tidak kembali kepada kebenaran dan tidak
mencegah (menjauhi) dari yang batil.
Ashim
menyifati sahabat Najdat dengan perkataannya, “Mereka adalah orang-orang yang
shaum pada siang hari, mengisi waktu malamnya, dan mengambil shadaqah atas
dasar Sunnah.
Imam Nawawi
berkata, “Yang dimaksud mereka tidak mendapatkan bagian kecuali hanya dalam
lisannya saja dan tidak sampai tenggorokan apalagi sampai ke hatinya karena
yang dituntut adalah memikirkan, dan mentadaburinya sampai meresap ke dalam
hati. Dan ada yang berpendapat, “Mereka tidak mengamalkan Al-Qur’an maka tidak
ada pahala di dalam bacaannya dan tidak sampai ke dalam hati kecuali hanya
sampai lisannya saja.”
Mereka
bukanlah para qura’, sebagaimana pemahaman salaf, sesuai apa yang
diterangkan oleh Ibnu Khaldun, “Yang dimaksud Qura’ pertama kali adalah orang
yang membaca Al-Qur’an, menghafal, memahami makna, mentadaburi ayat-ayat, dan
beradab dengan akhlaknya. Sedangkan mereka hanya sampai pada kerongkongan
saja.”
Ibnu Abbas
juga telah mengisyaratkan pelampauan batas mereka ini ketika pergi untuk
menambah pendapat mereka, beliau berkata, “Aku belum pernah menemui suatu kaum
yang bersungguh-sungguh, dahi mereka luka karena seringnya sujud, tangan mereka
seperti lutut onta, mereka mempunyai baju yang murah, tersingsing dan
berminyak, dan wajah mereka menunjukkan kurang tidur karena banyak berjaga di
malam hari.[6]
4. Keras terhadap kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka
Sejarah telah
mencatat dalam lembaran-lembaran hitamnya mengenai perbuatan mereka, di
antaranya kisah Abdullah bin Khabab yang mereka bunuh dengan kejam. Nadjat
menambah keyakinan Khawarij dengan perkataannya, “Barangsiapa yang tidak keluar
bersama mereka dan memerangi kaum muslimin, maka mereka kafir walaupun dia
berkeyakinan seperti keyakinan mereka.
Ahmad Salam
berkata, “Mereka adalah orang-orang yang menghalalkan darah orang-orang muslim.
Dari Masruq dari Aisyah, dia
berkata bahwa Rasulullah telah menyebutkan tentang Khawarij, beliau bersabda,
“Mereka adalah sejelek-jelek umatku yang diperangi sebaik-baik umatku.”
Ibnu Umar
menganggap mereka adalah sejelek-jelek makhluk, dikarenakan ayat-ayat yang
seharusnya diturunkan kepada orang-orang kafir, mereka timpakan kepada
orang-orang muslim.
Keseluruhan
golongan Khawarij sepakat atas pengafiran Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin
Affan Radhiyallaahu
'anhum, Ashhabul Jamal
dua hakim yang diutus dan orang-orang yang ridha dengan penetapan hasil hukum
tersebut atau membenarkan kedua hakim/ salah satunya dan bolehnya keluar/
memberontak kepada penguasa yang zhalim. Mereka juga sepakat bahwa orang yang
melakukan dosa besar adalah kafir.
5. Muda umurnya dan berakal buruk
Akan keluar suatu kaum pada akhir
zaman, umurnya masih muda, sedikit ilmunya, mereka mengatakan dari perkataan
sebaik-baik manusia, iman mereka tidak melebihi kerongkongannya (tidak masuk
hati), mereka terlepas dari Ad-Din seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar
berkata, ”Maksud dari Ahdatsul Asnan adalah yang muda umurnya, dan yang
dimaksud dengan Sufahatul Ahlam adalah akal mereka rusak.” Imam Nawawi,
“Sesungguhnya tatsabut (kemapanan) dan bashirah (wawasan) yang
kuat akan muncul ketika usianya sempurna, banyak pengalaman serta kuat akalnya.
Ali
berkeinginan untuk menerangkan kedangkalan pikiran dan rusaknya akal mereka
sebagaimana diterangkan dalam hadits. Maka beliau kumpulkan manusia dan menyeru
kepada Mushaf kemudian memukulnya dengan tangannya dan berkata, “Wahai Mushaf,
terangkan kepada para manusia,” maka mereka berkata, “Ini bukan manusia? Dia
hanyalah tinta dan kertas, dan kita berbicara sebagaimana apa yang kita riwayatkan
darinya.” Ali berkata, “Ini adalah kitab Allah yang memutuskan antara aku dan
mereka. Allah berfirman kepada wanita dan laki-laki,
÷bÎ)ur
óOçFøÿÅz
s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ)
!#yÌã $[s»n=ô¹Î)
È,Ïjùuqã ª!$#
!$yJåks]øt/
3 ¨bÎ)
©!$#
tb%x. $¸JÎ=tã
#ZÎ7yz
ÇÌÎÈ
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.
An-Nisa : 35)
Sedangkan
umat Muhammad lebih besar dari pada seorang perempuan dan laki-laki, mereka
membenci aku dikarenakan aku mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah, padahal
Rasulullah pernah mengadakan perdamaian dengan Suhail bin Amru. Allah Ta’ala
berfirman,
ôs)©9
tb%x. öNä3s9
Îû ÉAqßu «!$#
îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9
tb%x. (#qã_öt ©!$#
tPöquø9$#ur
tÅzFy$#
tx.sur
©!$#
#ZÏVx.
ÇËÊÈ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
(QS. Al-Ahzab : 21).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Khawarij
(dalam bahasa Arab: خوارجbaca Khawarij, secara harfiah berarti:
Mereka yang keluar) ialah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan
Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu, lalu menolaknya. Namun realitanya tidak
demikian karena tidak semua yang keluar dari pemerintahan Ali disebut Khawarij
seperti kelompok Mu’awiyah yang menuntut balas atas pembunuhan khalifah Utsman.
Penamaan Khawarij lebih kepada kelompok yang membawa aliran aqidah mengafirkan
orang yang melakukan dosa besar termasuk yang menerima tahkim (arbitrase)
antara kelompok Ali dan Mu’awiyah namun kemudian menolaknya.
Awal
keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman Amirul Mu’minin
Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu ketika terjadi tahkim (musyawarah dua
utusan). Mereka berkumpul di suatu tempat yang disebut Harura (satu tempat di
daerah Kufah) di daerah yang kini ada di Irak selatan. Oleh sebab itulah mereka
juga disebut Al-Haruriyah.
Adapun
penyimpangan-penyimpangan kelompok Khawarij sehingga termasuk firqoh dlollah
adalah:
1. Mengafirkan para
pelaku dosa besar dari kaum muslimin.
2. Orang Islam
yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan pembunuh adalah kafir dan
selamanya masuk neraka.
3. Menghalalkan
darah kaum muslimin yang berseberangan dengan mereka.
4. Mengafirkan
Ali dan para sahabat yang mendukungnya.
Kelompok
khawarij memiliki landasan berpijak dari Al-Qur’an, namun pijakan yang mereka
jadikan sebagai dalil dalam pemahamannya salah, yaitu ketika mereka membaca
ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 44:
5.
!4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
"Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.”
3.2. Saran
Merupakan
tugas yang sangat penting bagi seluruh kaum muslimin agar berhati-hati terhadap
pemikiran-pemikiran yang terdapat pada kelompok Khawarij, oleh karena itu kita
perlu mewaspadai hal-hal yang muncul pada saat ini yang mengadopsi pemahaman
Khawarij.
Ulama ahlussunnah
telah sepakat tentang bahayanya mengkafirkan seorang muslim. Tentang
pengkafiran (takfir) terhadap seorang muslim Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam telah memperingatkan hal ini, beliau bersabada, “Siapa saja seseorang
yang mengatakan kepada saudaranya, “hei kafir”, maka julukan itu akan kembali
kepada salah seorang dari keduanya. Jika orang yang dituduh itu benar, maka
sesuai dengan apa yang dituduhkan, tapi jika tidak, maka tuduhan itu akan
kembali kepada yang melemparkannya.” (HR. Muslim).
Uraian yang
pemakalah sampaikan masih banyak kekurangan dan sumber yang dijadikan rujukan
karena keterbatasan pemakalah. (* Ahmad Idris)
DAFTAR PUSTAKA
Al
Qur’an al Karim
Al-Mubarakfuri,
Syaikh Shafiyyurrahman. Sirah Nabawiyah. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
2010.
Al-Utsaimin,
Syaikh Muhammad Bin Shalih. Syarah Riyadush Shalihin. Jakarta : Darus
Sunnah, 2010.
Majalah
UMMATie. Pustaka MIM. “Sejarah Munculnya Penyimpangan Aqidah”. Edisi 07, Thn. III, Maret 2010 : 8-10.
Lajnah
Ilmiah Hasmi. Sirotul Mustaqim Jalan Yang Lurus. Bogor : Pustaka MIM,
2010.
Tim
Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur. Dirasatul Firaq : Sejarah Pemikiran Islam.
Solo : Pustaka Arafah, 2010.
[1] Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur, Dirasatul Firaq (Cet. I; Solo: Pustaka Arafah, 2010), h. 60-61.
[2] Majalah UMMATie Pustaka MIM. 2010, Maret Edisi 07. “Sejarah Munculnya Penyimpangan Aqidah”, hal. 8-11.
[3] Fathul Bari: XII/359, hadits 6933
[4] Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur, Dirasatul Firaq (Cet. I; Solo: Pustaka Arafah, 2010), h. 71.
[5] Ibid., h. 72
[6] Ibid., h. 73
[2] Majalah UMMATie Pustaka MIM. 2010, Maret Edisi 07. “Sejarah Munculnya Penyimpangan Aqidah”, hal. 8-11.
[3] Fathul Bari: XII/359, hadits 6933
[4] Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur, Dirasatul Firaq (Cet. I; Solo: Pustaka Arafah, 2010), h. 71.
[5] Ibid., h. 72
[6] Ibid., h. 73