-->

Khawarij


1.1.      Latar Belakang Masalah
Pada masa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan Khulafaur Rasyidin, kaum muslimin masih bersatu. Mereka berada di dalam satu aqidah, satu fikrah, dan satu jamaah. Apabila ada perselisihan di antara mereka dalam suatu permasalahan, maka akan segera dapat dipecahkan dikarenakan mereka langsung mengembalikan masalah tersebut kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Masa tersebut adalah masa yang bersih atau bisa disebut masa keemasan bagi persatuan umat Islam dalam aqidah yang satu yang tidak ada perselisihan dan perpecahan. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang hidup pada zaman tersebut yakni para sahabat  senantiasa dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sehingga setiap ada permasalahan mereka bisa langsung bertanya kepada beliau.
Para  Sahabat hidup pada zaman Nabi dalam satu Aqidah. Karena mereka mendapati masa-masa turunnya wahyu. Mereka dimuliakan karena persahabatannya dengan Rasul. Mereka adalah para sahabat yaitu yang beriman terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah, pernah melihat beliau, dan mati dalam keadaan Islam.
Fitnah dan firqah di antara kaum muslimin baru muncul di akhir kekhalifan Utsman bin Affan Radhiyallaahu 'anhu, yaitu ketika ada sekelompok orang yang menuduh Utsman bin Affan Radhiyallaahu 'anhu bertindak kolusi, dengan mengangkat gubernur dari kalangan kerabatnya. Tuduhan tersebut berlanjut pada pembunuhan Utsman bin Affan Radhiyallaahu 'anhu oleh kaum dzalimin. Dari sinilah berawal peristiwa berdarah antar kaum muslimin.
1.2.      Rumusan Masalah
Ketika kekhalifahan dijabat oleh Ali Radhiyallaahu 'anhu beliau sebagai pengganti Ustman Radhiyallaahu 'anhu, sebagian kaum muslimin menuntut dengan segera qisash terhadap para pembunuh Utsman. Namun Ali Radhiyallaahu 'anhu tidak segera memenuhi permintaan mereka karena satu pertimbangan yaitu ingin membenahi dahulu pemerintahannya, baru setelah itu membereskan kasus pembuhunan Utsman.
Akhirnya terjadilah pertumpahan darah antara pendukung Ali dengan pendukung Aisyah Radhiyallaahu 'anha yang dibantu oleh Zubair dan Thalhah yang terkenal  dengan perang Jamal. Kemudian terjadilah pertumpahan darah antara pendukung Ali dengan Muawiyah yang terkenal dengan perang Shiffin. Dan berakhir dengan adanya tahkim di antara kedua belah pihak.
Setelah terjadinya tahkim muncullah firqah Khawarij yang mengafirkan kedua belah pihak karena tahkimur rijal (berhukum dengan hukum manusia). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ahlul Bid’ah yang pertama kali keluar dari Jama’atul Muslimin adalah firqah Khawarij”.
Untuk mengetahui lebih menyeluruh mengenai firqah Khawarij, maka pemakalah membatasi masalah yang dikaji sebagai berikut:
Ø  Bagaimana pemikiran-pemikiran firqah Khawarij yang menyimpang dari aqidah Ahli Sunnah?
Ø  Bagaimana sifat-sifat yang terdapat dalam firqah Khawarij agar kita dapat menjauhi firqah tersebut?

1.3.   Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penting bagi Umat Islam untuk membentengi aqidah dari berbagai kesesatan dan penyimpangan. Pentingnya membentengi aqidah dari aneka penyimpangan itu merupakan hal yang sangat perlu dimengerti oleh Umat Islam terutama para ulama, da’i, mubalig, dan pelajar Islam. Oleh karena itu, tujuan dan manfaat yang hendak dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
Ø  Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran dari firqah Khawarij yang perlu dijauhi oleh kaum muslimin.
Ø  Mengidentifikasi sifat-sifat tercela dari firqah Khawarij yang masih muncul hingga saat ini.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   DEFINISI KHAWARIJ
Khawarij (dalam bahasa Arab:  خوارج baca Khawarij, secara harfiah berarti: Mereka yang keluar) ialah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu, lalu menolaknya. Namun realitanya tidak demikian karena tidak semua yang keluar dari pemerintahan Ali disebut Khawarij seperti kelompok Mu’awiyah yang menuntut balas atas pembunuhan khalifah Utsman. Penamaan Khawarij lebih kepada kelompok yang membawa aliran aqidah mengafirkan orang yang melakukan dosa besar termasuk yang menerima tahkim (arbitrase) antara kelompok Ali dan Mu’awiyah namun kemudian menolaknya.
Awal keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu ketika terjadi tahkim (musyawarah dua utusan). Mereka berkumpul di suatu tempat yang disebut Harura (satu tempat di daerah Kufah) di daerah yang kini ada di Irak selatan. Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al-Haruriyah.

2.2.   SEJARAH MUNCULNYA KHAWARIJ
Para Ahli sejarah berbeda pendapat tentang awal kemunculan firqah Khawarij, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Khawarij muncul pada masa Nabi, yaitu ketika berdirinya Dzul Khuwaishirah untuk menentang dan mengomentari pembagian ghanimah yang dilakukan oleh Nabi, dengan mengatakan bahwa beliau tidak adil.  Perbuatan Dzul Khuwaisirah ini tidak bisa disebut sebagai firqah Khawarij karena dilakukan sendirian, akan tetapi bisa dikatakan bahwa benih-benih Khawarij telah ada pada masa Rasulullah, ini pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Jauzi, serta yang lainnya.
Sedang pendapat yang kuat adalah Firqah Khawarij muncul ketika mereka keluar dari peristiwa tahkim antara Ali dan Mu’awiyah.[1] Dengan rincian kisah sebagai berikut;
Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syiria memberontak terhadap Amirul Mu’minim Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup  karena pembunuhan Utsman bin Affan Radhiyallaahu 'anhu. Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syiria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian Utsman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.
Sebelum peperangan meletus, Ali sudah mengirim Jarir bin Abdillah Al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal:
1.      Ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amirul Mu’minim Utsman bin Affan.
2.      Pengunduran diri Ali  dari jabatan Imam (Khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.
 Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar meletus Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats bin Aibi Al Yarbu’I At-Tamimi, Ali bin Hatim At-Tha’I, Yazid ibn Qais Al-Arhabi , dan Ziyad bin Khasafah At-Taimi At-Tamimi, untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan ini pun juga berakhir dengan kegagalan.
Pada masa ini terjadilah perbedaan ijtihad antara sahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sehingga muncullah peperangan antara dua belah pihak yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu dan para pendukungnya berhadapan dengan Muawiyah Radhiyallaahu 'anhu dan para pendukungnya. Lalu terjadilah perdamaian antara kedua kubu tersebut. Namun justru dari titik-titik perdamaian ini muncul suatu golongan firqoh dlollah (aliran sesat) yang pertama yakni munculnya golongan Khawarij.
Golongan Khawarij adalah golongan yang mengkafirkan kedua kubu sahabat Nabi yang melakukan perdamaian. Munculnya Khowarij bertepatan dengan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu pada tahun 37 Hijriyah yaitu ketika Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu dan pendukungnya menerima tahkim dengan Muawiyah Radhiyallaahu 'anhu dan para pendukungnya dimana mereka masing-masing mengutus utusannya. Di pihak Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu diutuslah Abu Musa al Asy’ari Radhiyallaahu 'anhu sedang di pihak Muawiyah diutuslah Amr bin al Ash Radhiyallaahu 'anhu. Di tengah-tengah kejadian ini muncullah dikalangan pendukung Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu, orang-orang yang tidak menyetujui tahkim dengan perwakilan seperti itu dan mereka menyatakan bahwa, dengan melakukan demikian Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah Radhiyallaahu 'anhu telah berhukum kepada manusia dan bukan berhukum kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian mereka mendatangi Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu dan menyerunya untuk bertobat. Mereka mengatakan bahwa mereka ketika itu telah kafir namun mereka telah bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyeru Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu untuk bertobat dari perbuatannya.[2]
Mereka memiliki landasan berpijak dari Al-Qur’an, namun pijakan yang mereka jadikan sebagai dalil dalam pemahamannya salah, yaitu ketika mereka membaca ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 44:
!4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ  
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Kemudia mereka juga mengungkapkan ayat di dalam surat Al-Hujurat ketika dua golongan saling bertentangan maka harus diperangi golongan yang dzolim di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS. Al-Hujurat: 9). Dengan ayat di atas mereka berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu telah melanggar hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan harus diperangi. Maka jika tidak bertobat hukumnya menjadi kafir. Menurut pandangan mereka Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu telah bertahkim kepada manusia ketika mengutus Abu Musa al Asy’ari Radhiyallaahu 'anhu sedang di pihak Muawiyah Radhiyallaahu 'anhu mengutus Amr bin al Ash Radhiyallaahu 'anhu. Padahal Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu telah memberi penjelasan  kepada mereka untuk menghilangkan syubhat yang ada dalam memahami tahkim. Bahwa sesungguhnya ketika seseorang berhukum kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan berarti  langsung bertanya kepada Al-Qur’an  tapi harus ada orang yang menyelenggarakan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan dalam surat An-Nisa ayat 35, tentang konflik dua pihak antara suami dan istri, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ketentuan, yakni agar diutuslah hakim diantara dua pihak yaitu pihak suami dan istri.
Hal ini seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu dengan mengutus Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallaahu 'anhu serta Muawiyah mengutus Amr bin Ash Radhiyallaahu 'anhu. Namun penjelasan ini tidak diterima oleh orang-orang Kahwarij, mereka tetap terus dengan prinsip batilnya, dengan telah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu dan memeranginya. Bahkan lebih jauh lagi, orang-orang Khawarij  juga mengkafirkan pelaku dosa besar. Karena kesalahan di dalam mengambil pemahaman dalil-dalil Al-Qur’an bahwa pemahaman dalil-dalil Al-Qur’an bahwa makna tbrãÏÿ»s3ø9$# ãNèd  y7Í´¯»s9'ré'sù ini mengandung pengertian, baik kafir kecil maupun kafir besar, sedangkan mereka mengklaim bahwa ayat tersebut adalah total kafir besar dan semua ayat-ayat yang menyatakan kekufuran ini adalah kufur besar tanpa melihat qorinah-qorinah yang memalingkan  dari kafir besar sehingga semua kalimat-kalimat itu tidak dibedakan dan dipukul rata maknanya.
Kelompok khawaij meneriakkan La hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Mereka meminta Ali mengaku salah, bahkan mengakui bahwa dia telah kafir karena menerima Tahkim. Mereka mendesak Ali supaya membatalkan hasil kesepakatan Tahkim. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali berperang di pihak Ali. Tentu saja Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau Ali mungkir janji koalisinya akan semakin pecah. Lagi pula bagaimana mungkin dia mau mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik semenjak beriman.
Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal  dengan nama golongan Al-Haruriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sendiri dan memilih Abdullah bin Wahab Ar-Rasidi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan Al-Khawarij, bentuk jama’ dari Khariji (yang keluar).
Semakin lama kelompok yang memisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan Abdullah ibn Wahab Ar-Rasibi. Semula Ali  tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka.
Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syiria, atau pulang ke kampung masing-masing. Sebagian memenuhi anjuran Ali; ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itulah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syiria. Antara tahun 39 dan 40 H berulang kali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras Ali untuk menghadapinya. Mu’awiyah pun, setelah Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Mu’minim dan terkenal hilm (lemah lembut dan arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.
Inilah dasar pemikiran sesat yang tumbuh pada sebagian kaum muslimin dimana hal ini terus berlanjut hingga saat ini. Sehingga masih ada orang yang ketika menemukan kata-kata kufur, langsung ditafsirkan sebagai kufur akbar yang mengeluarkan seseorang dari Islam dan otomatis pelakunya akan langsung kafir. Ini adalah pemikiran yang sangat berbahaya sekali.
Khowarij ini termasuk pokok pangkal golongan bid’ah yang menitis pada golongan-golongan lain berikutnya bahkan dalam perkembangannya berkembang prinsip-prinsip yang lain yang tidak hanya sekedar pengkafiran dalam hal siyasah.

2.3. SEKTE-SEKTE KHAWARIJ
Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok, karena sudah menjadi dustur mereka kalau berbeda pendapat segera memisahkan diri membentuk kelompok sendiri. Para sejarawan berbeda pendapat tentang jumlah kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak kurang dari dua puluh kelompok, sebagian ushul dan yang lain furu’. Yang termasuk ushul menurut Abu Hasan Al-Asy’ary adalah: Al-Azariqah, Al-Ibadiyah, An-Najdiyah dan Ash-Shufriyah. Sementara menurut Syahrastani yang masuk ushul adalah Al-Muhakkimah Al-Ula, Al-Azariqah, an-Najdat, Al-Baihasiyah, Al-Ajaridah, Ats-Tsa’alibah, Al-Ibadhiyah dan Ash-Shufriyah. Yang termasuk furu’ banyak sekali, tidak relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di antaranya adalah Al-Athawiyah, Al-Fadikiyah dan Al-Ajaridah.

2.4. TOKOH-TOKOH KHAWARIJ
1.    Abdullah ibn Wahhab Al-Rasyibi pemimpin sekte Al-Muhakkimat. Dia adalah tokoh utama dari 12.000 orang yang keluar dari barisan Ali Radhiyallaahu 'anhu dan menjadikan Harura sebagai basis pergerakan. Di desa itu, Abdullah bersama kroninya mendirikan “khilafah baru” dengan pemimpinnya Abdullah sendiri.
2.   Nafi’ ibn Al-Azraq merupakan salah seorang pengikut sekte Muhakkimah yang tersisa dalam peperangan di Nahrawan. Bersama kroni-kroninya, ia kembali menyebarkan paham Khawarij dengan berganti baju Al-Azariqah.
3.   Najdah ibn Amir Al-Hanafi, pemimpin sekte Al-Najd, merupakan koalisi dari beberapa tokoh Khawarij-seperti Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil, Atiah Al-Hanafi, dan Najdah sendiri-akibat kekecewaan terhadap kepemimpinan Nafi’ Al-Azraq.

2.5. PEMIKIRAN ALIRAN KHAWARIJ
1.    Menganggap kafir orang-orang yang berseberangan dengan mereka, terutama yang terlibat dalam perang Shiffin. Karenanya, tidak ada istilah damai untuk penentang Khawarij, mengingat yang dimaksud ishlah dalam surat Al-Hujurat ayat 9 adalah sesama orang Islam, tidak dengan orang kafir.
2.    Orang Islam yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan pembunuh adalah kafir dan selamanya masuk neraka.
3.    Hak khilafah tidak harus dari kerabat nabi atau suku Quraisy khususnya, dan orang Arab umumnya. Seorang khalifah harus dipilih oleh kaum Muslimin melalui pemilihan yang bebas. Khalifah yang taat kepada Allah dan umat yang durhaka kepada khilafah yang wajib ditaati, boleh diperangi dan dibunuh.
4.    Orang musyrik adalah yang melakukan dosa besar, tidak sepaham dengan mereka, atau orang yang sepaham tetapi tidak ikut hijrah dan berperang bersama mereka. Orang musyrik itu halal darahnya. Nasib mereka bersama anak-anaknya akan kekal di neraka.
5.    Mereka menganggap bahwa hanya daerahnya yang disebut Darul Islam, dan daerah orang yang melawan mereka adalah Darul Harb. Karenanya, orang yang tinggal dalam wilayah Darul Harb, baik anak-anak maupun wanita, boleh dibunuh.
6.    Ajaran agama yang harus diketahui hanya ada dua, yakni mengetahui Allah dan rasul-Nya. Selain dua hal itu tidak wajib diketahui.
7.    Melakukan taqiyah (menyembunyikan keyakinan demi keselamatan diri), baik secara lisan maupun perbuatan adalah dibolehkan bila keselamatan diri mereka terancam.
8.    Dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus akan berubah menjadi dosa besar dan pelakunya menjadi musyrik.

2.6. PENYIMPANGAN KHAWARIJ DARI AQIDAH AHLUS SUNNAH
1.    Mengafirkan para pelaku dosa besar dari kaum muslimin.
2.    Orang Islam yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan pembunuh adalah kafir dan selamanya masuk neraka.
3.    Menghalalkan darah kaum muslimin yang berseberangan dengan mereka.
4.    Mengafirkan Ali dan para sahabat yang mendukungnya.

2.7. SIFAT-SIFAT KHAWARIJ
Khawarij mempunyai sifat-sifat yang telah Rasulullah ramalkan dalam hadits-hadits beliau di kemudian hari. Di antara sifat-sifatnya adalah:
1. Suka mencela dan menganggap sesat
Sifat yang paling Nampak dari Khawarij adalah suka mencela terhadap para imam, menganggap mereka sesat, dan menghukumi mereka sebagai orang-orang yang telah keluar dari kebenaran dan keadilan. Sifat ini tercermin dalam perkataan Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dengan perkataannya, “Wahai Rasulullah, berlaku adillah![3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Inti kesesatan mereka berkenaan dengan aimmatul huda (para imam yang diberi petunjuk) dan jama’atul muslimin, bahwa mereka semua keluar dari keadilan dan mereka semua sesat, pendapat ini kemudian diikuti orang-orang yang keluar dari As-Sunnah seperti Rawafidh dan yang lainnya, mereka mengategorikan apa yang mereka pandang kedzaliman ke dalam kekufuran.[4]


2. Berprasangka buruk (su’udhan)
Sifat ini tercermin dalam perkataan Dzul Khuwaishirah kepada Rasulullah,
وَاللَّهِ إِنَّ هَذِهِ الْقِسْمَةَ مَا عُدِلَ فِيهَا وَمَا أُرِيدَ بِهَا وَجْهُ اللَّهِ
Demi Allah, ini benar-benar suatu pembagian yang tidak adil dan tidak dikehendaki di dalamnya wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengenai permasalahan tersebut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, “Pada masa peperangan Hunain, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membagi ghanimah Hunain untuk orang-orang yang hatinya lemah, yaitu penduduk Najd dan bekas tawanan Quraisy, seperti Uyainah bin Hafs, dan beliau tidak memberikan kepada para Muhajirin dan Anshar sedikit pun. Maksud beliau memberikan kepada mereka adalah untuk  mengikat hati  mereka dengan Islam, karena keterikatan hati mereka memberikan maslahat umum bagi kaum muslimin. Sedangkan yang tidak beliau beri karena mereka lebih baik di mata beliau dan mereka adalah sebaik-baik hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika pemberian itu tidak dipertimbangkan untuk maslahat umum, maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak akan memberikan kepada para aghniya’ (orang-orang kaya), para pemimpin yang ditaati di kalangan mereka, dan akan memberikan kepada para Muhajirin dan Anshar yang lebih membutuhkan dan lebih utama. Oleh sebab inilah orang-orang Khawarij mencela Nabi untuk berlaku adil. Memang mereka terkenal dengan shaum, shalat, wara’, serta zuhudnya; akan tetapi itu semua tanpa disertai ilmu, mereka keluar dari Sunnah dan jama’ah, sehingga mereka mencela pembagian tersebut, padahal pemberian itu menurut maslahat Ad-Dien, jika pemberian itu akan semakin mengundang ketaatan kepada Allah dan semakin bermanfaat bagi din-Nya, maka pemberian itu jauh lebih utama. Pemberian kepada orang yang membutuhkannya untuk menegakkan  agama, menghinakan musuh-musuhnya, menenangkan dan meninggikannya adalah lebih utama dari pada pemberian yang tidak demikian, walaupun yang kedua lebih membutuhkan.[5]


3. Berlebih-lebihan di dalam Ibadah
Sifat ini ditunjukkan oleh Nabi dalam sabdanya,
Akan muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, bacaan kalian tidaklah sebanding dengan bacaan mereka sedikit pun, tidak pula shalat kalian sebanding dengan shalat mereka sedikit pun, dan tidak pula shaum kalian sebanding dengan shaum mereka sedikitpun. (H.R Muslim)
Hasan bin Ali berkata mengenai mereka, “Kaum yang tidak kembali kepada kebenaran dan tidak mencegah (menjauhi) dari yang batil.
Ashim menyifati sahabat Najdat dengan perkataannya, “Mereka adalah orang-orang yang shaum pada siang hari, mengisi waktu malamnya, dan mengambil shadaqah atas dasar Sunnah.
Imam Nawawi berkata, “Yang dimaksud mereka tidak mendapatkan bagian kecuali hanya dalam lisannya saja dan tidak sampai tenggorokan apalagi sampai ke hatinya karena yang dituntut adalah memikirkan, dan mentadaburinya sampai meresap ke dalam hati. Dan ada yang berpendapat, “Mereka tidak mengamalkan Al-Qur’an maka tidak ada pahala di dalam bacaannya dan tidak sampai ke dalam hati kecuali hanya sampai lisannya saja.”
Mereka bukanlah para qura’, sebagaimana pemahaman salaf, sesuai apa yang diterangkan oleh Ibnu Khaldun, “Yang dimaksud Qura’ pertama kali adalah orang yang membaca Al-Qur’an, menghafal, memahami makna, mentadaburi ayat-ayat, dan beradab dengan akhlaknya. Sedangkan mereka hanya sampai pada kerongkongan saja.”
Ibnu Abbas juga telah mengisyaratkan pelampauan batas mereka ini ketika pergi untuk menambah pendapat mereka, beliau berkata, “Aku belum pernah menemui suatu kaum yang bersungguh-sungguh, dahi mereka luka karena seringnya sujud, tangan mereka seperti lutut onta, mereka mempunyai baju yang murah, tersingsing dan berminyak, dan wajah mereka menunjukkan kurang tidur karena banyak berjaga di malam hari.[6]

4. Keras terhadap kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka
Sejarah telah mencatat dalam lembaran-lembaran hitamnya mengenai perbuatan mereka, di antaranya kisah Abdullah bin Khabab yang mereka bunuh dengan kejam. Nadjat menambah keyakinan Khawarij dengan perkataannya, “Barangsiapa yang tidak keluar bersama mereka dan memerangi kaum muslimin, maka mereka kafir walaupun dia berkeyakinan seperti keyakinan mereka.
Ahmad Salam berkata, “Mereka adalah orang-orang yang menghalalkan darah orang-orang muslim.
Dari Masruq dari Aisyah, dia berkata bahwa Rasulullah telah menyebutkan tentang Khawarij, beliau bersabda, “Mereka adalah sejelek-jelek umatku yang diperangi sebaik-baik umatku.”
Ibnu Umar menganggap mereka adalah sejelek-jelek makhluk, dikarenakan ayat-ayat yang seharusnya diturunkan kepada orang-orang kafir, mereka timpakan kepada orang-orang muslim.
Keseluruhan golongan Khawarij sepakat atas pengafiran Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan Radhiyallaahu 'anhum, Ashhabul Jamal dua hakim yang diutus dan orang-orang yang ridha dengan penetapan hasil hukum tersebut atau membenarkan kedua hakim/ salah satunya dan bolehnya keluar/ memberontak kepada penguasa yang zhalim. Mereka juga sepakat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir.

5. Muda umurnya dan berakal buruk
Akan keluar suatu kaum pada akhir zaman, umurnya masih muda, sedikit ilmunya, mereka mengatakan dari perkataan sebaik-baik manusia, iman mereka tidak melebihi kerongkongannya (tidak masuk hati), mereka terlepas dari Ad-Din seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar berkata, ”Maksud dari Ahdatsul Asnan adalah yang muda umurnya, dan yang dimaksud dengan Sufahatul Ahlam adalah akal mereka rusak.” Imam Nawawi, “Sesungguhnya tatsabut (kemapanan) dan bashirah (wawasan) yang kuat akan muncul ketika usianya sempurna, banyak pengalaman serta kuat akalnya.
Ali berkeinginan untuk menerangkan kedangkalan pikiran dan rusaknya akal mereka sebagaimana diterangkan dalam hadits. Maka beliau kumpulkan manusia dan menyeru kepada Mushaf kemudian memukulnya dengan tangannya dan berkata, “Wahai Mushaf, terangkan kepada para manusia,” maka mereka berkata, “Ini bukan manusia? Dia hanyalah tinta dan kertas, dan kita berbicara sebagaimana apa yang kita riwayatkan darinya.” Ali berkata, “Ini adalah kitab Allah yang memutuskan antara aku dan mereka. Allah berfirman kepada wanita dan laki-laki,
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisa : 35)
Sedangkan umat Muhammad lebih besar dari pada seorang perempuan dan laki-laki, mereka membenci aku dikarenakan aku mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah, padahal Rasulullah pernah mengadakan perdamaian dengan Suhail bin Amru. Allah Ta’ala berfirman,
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab : 21).



BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Khawarij (dalam bahasa Arab:  خوارجbaca Khawarij, secara harfiah berarti: Mereka yang keluar) ialah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu, lalu menolaknya. Namun realitanya tidak demikian karena tidak semua yang keluar dari pemerintahan Ali disebut Khawarij seperti kelompok Mu’awiyah yang menuntut balas atas pembunuhan khalifah Utsman. Penamaan Khawarij lebih kepada kelompok yang membawa aliran aqidah mengafirkan orang yang melakukan dosa besar termasuk yang menerima tahkim (arbitrase) antara kelompok Ali dan Mu’awiyah namun kemudian menolaknya.
Awal keluarnya mereka dari pemimpin kaum muslimin yaitu pada zaman Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu 'anhu ketika terjadi tahkim (musyawarah dua utusan). Mereka berkumpul di suatu tempat yang disebut Harura (satu tempat di daerah Kufah) di daerah yang kini ada di Irak selatan. Oleh sebab itulah mereka juga disebut Al-Haruriyah.
Adapun penyimpangan-penyimpangan kelompok Khawarij sehingga termasuk firqoh dlollah adalah:
1.      Mengafirkan para pelaku dosa besar dari kaum muslimin.
2.      Orang Islam yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan pembunuh adalah kafir dan selamanya masuk neraka.
3.      Menghalalkan darah kaum muslimin yang berseberangan dengan mereka.
4.      Mengafirkan Ali dan para sahabat yang mendukungnya.
Kelompok khawarij memiliki landasan berpijak dari Al-Qur’an, namun pijakan yang mereka jadikan sebagai dalil dalam pemahamannya salah, yaitu ketika mereka membaca ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 44:
5.      !4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ  
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
3.2. Saran
Merupakan tugas yang sangat penting bagi seluruh kaum muslimin agar berhati-hati terhadap pemikiran-pemikiran yang terdapat pada kelompok Khawarij, oleh karena itu kita perlu mewaspadai hal-hal yang muncul pada saat ini yang mengadopsi pemahaman Khawarij.
Ulama ahlussunnah telah sepakat tentang bahayanya mengkafirkan seorang muslim. Tentang pengkafiran (takfir) terhadap seorang muslim Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah memperingatkan hal ini, beliau bersabada, “Siapa saja seseorang yang mengatakan kepada saudaranya, “hei kafir”, maka julukan itu akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Jika orang yang dituduh itu benar, maka sesuai dengan apa yang dituduhkan, tapi jika tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada yang melemparkannya.” (HR. Muslim).
Uraian yang pemakalah sampaikan masih banyak kekurangan dan sumber yang dijadikan rujukan karena keterbatasan pemakalah. (*Ahmad Idris)

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an al Karim
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. Sirah Nabawiyah. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Bin Shalih. Syarah Riyadush Shalihin. Jakarta : Darus Sunnah, 2010.
Majalah UMMATie. Pustaka MIM. “Sejarah Munculnya Penyimpangan Aqidah”.  Edisi 07, Thn. III, Maret 2010 : 8-10.
Lajnah Ilmiah Hasmi. Sirotul Mustaqim Jalan Yang Lurus. Bogor : Pustaka MIM, 2010.
Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur. Dirasatul Firaq : Sejarah Pemikiran Islam. Solo : Pustaka Arafah, 2010.





[1] Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur, Dirasatul Firaq (Cet. I; Solo: Pustaka Arafah, 2010), h. 60-61.
[2] Majalah UMMATie Pustaka MIM. 2010, Maret Edisi 07. “Sejarah Munculnya Penyimpangan Aqidah”, hal. 8-11.
[3] Fathul Bari: XII/359, hadits 6933
[4] Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Aly An-Nur, Dirasatul Firaq (Cet. I; Solo: Pustaka Arafah, 2010), h. 71.
[5] Ibid., h. 72
[6] Ibid., h. 73

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel