Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Thursday, 20 February 2014
Sudut Hukum | Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad
lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase
sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang
berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in
serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H).
Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama
pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310
H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh
baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat
ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas).
Atas dasar ciri dominan tersebut,
ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan
kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak
zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad
SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
·
Segi sumber : Ia adalah
hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung
al-Mustasnayat
·
Segi cakupan makna dan
bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas,
tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi
Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, seperti:
لاضرر و لا ضرار
Artinya:”Tidak boleh menyulitkan (orang lain)
dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”
Demikian beberapa sabda
Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya
adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut
serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena
dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi
yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun.
Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu
Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah
yang disusun adalah :
”Harta setiap yang
meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut
berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga
ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts),
apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang
mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup
pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang
dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yang dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak
terpaksa”.
Ulama berikutnya
yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang
dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan
untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
2. Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada
zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat
imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan
agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa
berikutnya. Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi
kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku
kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
·
Al-Asybah wa
al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
·
Kitab al-Qawaid, karya
al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
·
Al-Majmu’ al-Mudzhab fi
Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
·
Al-Qawaid fi al-Fiqh,
karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
3. Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun
demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada
zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah:
“seseorang tidak
dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut
disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi
idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak
diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”