Belum ada Dasar Hukum Tentang incest ( seks sedarah )
Sunday, 2 March 2014
Sudut Hukum | Entah mengapa saya teringat akan kasus seks
sedarah yang terjadi di blang pidie Aceh, kasus ini memang sudah lama terjadi,
yaitu pada tahun 2011. Saya mencoba menelusuri kembali berita itu di serambi.
Ada yang menarik dalam kasus itu, pada saat
itu, sebagaimana yang dikutip oleh serambi, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja, Wilayatul Hisbah, dan
Pemadam Kebakaran (Kasatpol PP, WH, dan PK) Abdya, Muddasir mengakui
kewalahan mencari dasar hukum yang tepat dalam khazanah hukum positif Indonesia
untuk mengganjar pelaku inses (incest)
Pasal perzinaan dalam KUHP
Dalam KUHP, masalah
perzinaan diatur dalam Pasal 284
Pasal 284 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan:
1.a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan
mukah.
2.a.
Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya
bahwa yang turut bersalah telah kawin.
b.
Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW
berlaku baginya.
(2)
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar,
dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan
diikuti dengan permintaan bercerai atau pidah meja atau ranjang karena alasan
itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72,
pasal 73, pasal 75 KUHP
(4)
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan
belum dimulai.
(5)
Jika bagi suami isteri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang
menyatakan pisah meja atau ranjang menjadi tetap.
Kalau kita perhatikan pasal di atas maka
ada beberapa unsur yang terdapat dalam pasal tersebut, yaitu:
- Salah satu pihak telah menikah sah (tentang Sah-nya perkawinan dapat kita lihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan),
- Adanya persetubuhan atas dasar suka sama suka (Unsur pasal ini menekankan bahwa persetubuhan sudah harus benar-benar terjadi. Perbedaan persetubuhan dalam Pidana Perzinahan dan Pidana Pemerkosaan adalah, Dalam Pidana Perzinahan terjadinya persetubuhan oleh karena suka sama suka sedangkan dalam Pidana Pemerkosaan, terjadinya persetubuhan oleh karena tidak disukai oleh salah satu pihak dan diikuti dengan adanya ancaman kekerasan),
- Harus ada Pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan (unsur ini menggambarkan bahwa pidana perzinahan sebagai sebuah delik aduan yang absolut, tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan). Bila dari ketiga unsur ini, salah satu tidak terpenuhi, maka sudah pasti seseorang tidak dapat diproses sebagai pelaku tindak pidana perzinahan.
Setelah melihat ketiga unsure
tersebut maka wajar saja Muddasir selaku kepala WH dan Satpol PP
mengatakan tidak menemukan hukumnya, karena dalam KUHP tidak mengatur masalah
seks sedarah.
Dalam qanun Aceh juga
belum mengaturnya, sehingga sangat disayangkan hal ini harus diserahkan ke
ketua ada untuk dicari hukumannya.
Jika dibandingkan dengan Negara secular.
Dasar hukum tentang
masalah seks sedarah tidak ada baik dalam KUHP maupun dalam Qanun aceh, hal ini
sangat memalukan jika kita bandingkan dengan Negara yang tidak menerapkan
syariat Islam, seperti Thailand dan Filipina.
Di Thailand, negara penjual sex terbesar di Asia, pelaku incest dikenai
hukuman mati.
Di Philipina, negara seribu tawaran seks, pelaku incest disuntik mati[1]
Kenapa di Indonesia kasus ini belum diatur,
padahal, kalau kita lihat, kasus seperti ini lebih menyakitkan jika
dibandingkan dengan kasus pemerkosaan biasa. Baik dari segi moral maupun segi
pertanggung jawabannya.
Apakah KUHP baru akan mengakomodir kasus
sex sedarah ini? Kita tunggu saja …
[1] www.lbh-apik.or.id/incest-kp%20rawa.htm,