Ajaran-ajaran tentang kausalitas
Friday, 4 April 2014
SUDUT HUKUM | Ajaran-ajaran tentang kausalitas
1.
Teori Ekivalensi
(aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua non
dari von Buri
Teori ini
mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama,
sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat,
baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan
mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan
terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat
dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan
“nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya
akibat.
Contoh : A dilukai ringan, kemudian
dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan
ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A.
Teori ekivalensi ini memakai
pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam
hubungan ini baik dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill
(di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu
adalah “the whole of antecedents” (1843).
Van Hamel, seorang penganut teori
ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana teori ini boleh digunakan,
apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan dengan
sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara hubungan
kausal dan pertanggung jawaban pidana.
Kritik / keberatan terhadap teori ini
: hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab”
sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya.
Jadi misal : B ditikam oleh A sampai
mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau
itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan
pisau.
Jadi pembuatan
pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan keberatan itu,
maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang
akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan
akibat itu beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor lainnya
dipisahkan sebagai faktor-faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).
Kebaikan teori
ini : mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan juga
karena tori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan
berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang
sebagai pangkal dari teori-teori lain.
2.
Teori-teori Individualisasi
Teori-teori ini
memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit
terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling
menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya
merupakan syarat belaka. Penganut-penganutnya tidak banyak antara lain :
1.
Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab
adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung)
2.
Binding. Teorinya disebut
“Ubergewichtstheorie)”
Dikatakan : sebab dari sesuatu
perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang
menahan (negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih
unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya
(in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang
negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat terakhir yang
menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu.
3.
Teori-teori
generalisasi
Teori-teori ini melihat secara ante
factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu
ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu,
artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak,
mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate
untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh
karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie).
Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat :
a. Suatu
jotosan ang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah.
Akan tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang
adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa.
b. Seorang
yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara
sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka
oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena
menekan urat. Dianipun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu
tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut.
c. Seorang
petani membakar tumpukan rumput kering (hooi), dimana secara kebetulan
bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah
pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya tergantung dari keadaan. Jika biasanya
menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan
petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan
kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka
perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.
Hal yang merupakan persoalan dalam
teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu sebab itu pada umumnya
cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini
ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
1.
Penentuan
subyektif (subjective ursprungliche Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah
apa yang oleh sipembuat dapat diketahui / diperkirakan bahwa apa yang dilakukan
itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu (Von Kries jadi pandangan
atau pengetahuan si pembuatlah yang menentukan).
2. Penentuan
obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu perbuatan
itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif
kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi bukan yang diketahui atau
yang dapat diketahui oleh sipembuat, melainkan pengetahuan dari hakim.
Dasar penentuan (Beurteilungs
standpunkte) ini disebut “objektive nachtragliche Prognose” (Rumelin).
Sebenarnya dalam teori kausal adequat
subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan tentang kesalahan); oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini
bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai
sebab yang adequate apabila sipembuat dapat mengira-ngirakan atau membayangkan
(voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang umumnya membayangkan
terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat membayangkan dan seharusnya dapat
membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka
ia juga menentukan pertanggunganjawab (pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam
arti yang sesungguhnya.
Contoh
: seorang majikan, yang sangat membenci pekerjanya, tetapi tidak berani
melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu mati. Pada waktu hujan yang disertai
petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar
orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan pekerjanya itu mati disambar
petir.
Menurut teori ekivalensi : ya, sebab
seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka ia tidak mati.
Konsekwensi ini umumnya dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih memuaskan
apabila dipakai teori adequate. Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke
tempat lain pada umumnya tidak mempunyai kadar untuk kematian seseorang karena
disambar petir. Penyambaran petir adalah hal yang kebetulan. Dengan ini maka
tidak ada hubungan kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.
Beberapa penganut teori adequat yang
lain :
1. Simons
:
Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan
dapat disebut sebagai sebab dari suatu akibat, apabila menuntut pengalaman
manusia pada umumnya harus diperhitungkan kemungkinan, bahwa dari perbuatan
sendiri akan terjadi akibat itu”.
2. Kami
(Ringkasan Hukum Pidana hal. 47) berpendirian senada dengan Simons. Beliau
katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan hukum itu terdiri atas persangkaan,
(presumptie), bahwa alur peristiwa di dunia ini ada biasa dan normal. Ini
kesimpulan pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang pada umumnya, biasanya,
dengan mengikuti hal ikhwal yang berada dan menurut pengalaman kita, dengan
kadarnya memadai sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai suatu
sebab”.
3. Pompe
: yang disebut sebab ialah perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu
mempunyai strekking untuk menimbulkan akibat yang bersangkutan.
Tinjauan
terhadap teori-teori kausalitas tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat
dikatakan teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi suatu
penambahan. Teori ini ditambah dengan penentuan ada dan tidaknya unsur
kesalahan pada sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup memuaskan apakah
sesuatu perbuatan itu merupakan sebab dari sesuatu akibat yang dimaksudkan
dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Mengenai
teori adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut
sesuai dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk
melindungi kepentingan hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang
membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut maka hukum pidana harus membuat
“pagar” terhadap perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian. Dalam
hal ini teori adequat dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan
tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam kenyataan, ia menggunakan
istilah-istilah yang tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman manusia
pada umumnya dan sebagainya.
Dalam
yurisprudensi Hindia Belanda, yang sesuai dengan asas konkordantie pada waktu
itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat dengan nyata teori
mana yang dipakai. Hooggerechtshof condong
ke teori adequate. Akan tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan
pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan, bahwa antara perbuatan dan
akibat harus ada hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk en rechtsreeks)
a. Putusan
Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (. 147 hal 115) sebuah mobil menabrak
sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas rel dan seketika itu
dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api
itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari
penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat
dipertanggungjawabkan atas kesalahan si terdakwa (pengendara mobil).
b. Putusan
Politierechter Bandung 5 April 1933
Seorang ayah yang membiarkan anaknya
yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya. Anak tersebut menabrak
orang. Disini memang perbuatan si ayah dapat disebut syarat (voorwaarde) dari
tabrakan itu, akan tetapi tidak boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh
karena antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada hubungan kausal yang
langsung.
c. Putusan
Politierechter Palembang 8 Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2
Pebruari 1937.
Perbuatan terdakwa yang tidak menarik
seorang pengemudi mobil yang sembrono dari tempat kemudi (stuur) dan membiarkan
pengemudi tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai sebab dari kecelakaan
yang terjadi, oleh karena antara perbuatan terdakwa dan terjadinya kecelakaan
itu tidak terdapat hubungan yang langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan
pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang sebagai suatu syarat dan bukan
sebab.
d. Putusan
Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei 1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Jakarta
Terdakwa sebagai kerani bertanggung
jawab atas tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh terlalu berat muatannya
dan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa sebagai
orang yang mengatur pemasukan barang-barang angkutan dalam kapal in casu tidak
mempedulikan peringatan-peringatan dari berbagai pihak tentang terlalu beratnya
muatan pada waktu kapal akan berangkat.
Di dalam pertimbangan juga disebut
bahwa perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat” dengan “kecelakaan itu”.
B. Kausalitas dalam hal tidak berbuat
Persoalan ini timbul dalam delik-delik
omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem commissa (delik omissi yang
tak sesungguhnya). Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang dilakukan
dengan “tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya mudah, karena delik
omissi itu adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang
kausalitas.
Yang ada persoalan ialah pada delik
commisionis per omission commissa. Pada delik ini ada pelanggaran larangan
dengan “tidak berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa pendirian :
a.
Tidak mungkin
orang tidak berbuat bisa menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan kepada
dalil ilmu pengetahuan alam yang berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak
mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini tidak bisa diterima, karena dalil
pengetahuan alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu pengetahuan rokhani
(seperti hukum pidana ini).
b.
Yang disebut
sebab ialah perbuatan yang positif yang dilakukan oleh sipembuat pada saat
akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak
memberi susu, yang disebut sebagai sebab ialah “sesuatu yang dilakukan ibu itu
pada saat ia tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan
“teori berbuat lain. Teori inipun tidak dapat diterima, karena kepergian ibu
itu tidak bisa dianggap ada perhubungan dengan akibat itu.
c.
Yang disebut
sebagai sebab ialah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini
disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal seorang penjaga wesel yang
menyebabkan kecelakaan kereta api karena tidak memindahkan wesel; menurut
ajaran ini yang menjadi sebab ialah apa yang dilakukan penjaga wesel. Teori
inipun tidak memuaskan, sebab sulit dilihat hubungannya antara penerimaan
jabatan dengan akibat yang timbul.
d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab dari sesuatu akibat,
apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Kewajiban itu timbul dari
hukum, tidak hanya yang nyata-nyata tertulis dalam suatu peraturan tetapi juga
dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang
berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di bawah ini diberi contoh-contoh
apakah ada kewajiban berbuat atau tidak :
1) Ada
anak yang dibunuh; orang tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat
apa-apa. Apakah orang tua bertanggung jawab sebagai ikut berbuat dalam
pembunuhan ?
Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober 1883):
tidak, tetapi memang sikap semacam itu sangat tercela (laakbaar) dan tidak
patut.
2) Seorang
penjaga gudang membiarkan pencuri melakukan aksinya, ia dapat
dipertanggungjawabkan, sebab sebagai penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan
berbuat sesuatu.
Kesimpulan mengenai kausalitas dalam
hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi, bahwa tidak berbuat itu
dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga
merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per omissionem commissa (delik omissi
yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama
sekali” akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”, yang diharapkan untuk
diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” pada
hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat untuk
terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate, mengingat keadaan yang
kongkrit, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya akibat, jadi juga dapat
menjadi “sebab”.
Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal
hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif (yang menyangkut perbuatan)
dari keseluruhan syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari persoalan
kesalahan atau pertanggungan jawab pidana yang merupakan segi subyektifnya,
ialah yang menyangkut orangnya.