Kausalitas
Friday, 4 April 2014
SUDUT HUKUM | Didalam delik-delik yang dirumuskan
secara materiil (selanjutnya disebut delik materiil), terdapat unsur akibat
sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan
(essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan dengan delik formil terjadinya
akibat itu hanya merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika
disini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik
(materiil) itu tidak ada, paling banyak ada percobaan.
Misalnya :
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan
sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena pembunuhan.
Keadaan yang menentukan di sini adalah
terampasnya nyawa seseorang. Contoh: matinya si A.
Oleh karenanya untuk dapat menuntut
seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan suatu perbuatan yang
menyebabkan matinya seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa karena
perbuatan X itu maka timbul akibat matinya A. “akibat” ini artinya “perubahan
atas suatu keadaan” dimana dapat berupa suatu pembahayaan atau perkosaan
terhadap kepentingan hukum.
Hubungan sebab akibat
(causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga
merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door
het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2,
195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355
ayat 2 dan 3 KUHP.
Persoalan kausalias ini terjadi karena
kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi sebab dari suatu akibat. Perlu
diketahui bahwa persoalan ini tidak hanya terdapat dalam lingkungan hukum
pidana saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum
perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam hukum dagang misalnya dalam
persoalan asuransi.
Persoalan ini pun
terdapat dalam lapangan ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat.
Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian,
maka terjadilah beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak menetapkan
hubungan obyektif antara perbuatan (manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki
oleh undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa ditelusuri sampai ke sebab.
Akan tetapi sebenarnya tidak boleh
dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat terdapat “peringatan”, bahwa
kejadian “B” yang terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu disebabkan karena
kejadian “A” (post hoc non propter hoc)