SUBYEK TINDAK PIDANA
Friday, 4 April 2014
SUDUT HUKUM | Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa
unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang
dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu:
1. pidana pokok:
- pidana mati
- pidana penjara
- pidana kurungan
- pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan.
2. pidana tambahan:
- pencabutan hak-hak tertentu
- perampasan barang-barang tertentu
- dimumkannya keputusan hakim, Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.
c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
d. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia.
Dalam perkembangannya apakah kecuali
manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak pidana misalnya badan hukum
? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah pasal
59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu
perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana
adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang
anggota pengurus dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa
pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya.
Keterangan : di dalam hukum acara, ini
disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering van bewijslast).
Dalam KUHP juga ada pasal lain yang
kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai subyek hukum, akan tetapi
disinipun yang diancam pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide pasal 169 :
“ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399,
mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam
keadaan pailit merugikan perseroannya.
Bahwasanya yang menjadi subyek tindakpidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan (M.v.T) terhadap pasal 59
KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”.
Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia,
misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi” (S.1948-144) dan
“Ordonansi pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan yang mengatur
apabila suatu badan (hukum) melakuka tindak pidana yang disebut dalam
ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat
7. Atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak
pidana ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana dalam ayat 1 dan 2
dengan tegas menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana.
Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai
persoalan ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan dengan dibantu oleh ilmu
pengetahuan hukum harus menemukan sendiri penyelesaian untuk problem dalam
materi baru ini”.
Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu
untuk menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak lebih luas dari pada biasanya
dalam buku pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum kiranya akan
menduduki tempat yang penting dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai
penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan kerap kali menjadi sumber
perbedaan pendapat”.
Dalam pada itu sekarang suda pasti,
bahwa menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan tindak pidana, ya bahkan
kadang-kadang korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat, bahwa korporasi
dapat mempunyai kesalahan dan bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan tidak
adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam hal. 477 van Hattum menulis a.l. :
(terjemahan) …………. sebaiknya pembentuk undang-undang membuat
ketentuan-ketentuan umum dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu
korporasi.