Asas Universal
Thursday, 3 April 2014
Asas Universal
SUDUT HUKUM | Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian
dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional
(asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib
turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan
internasional (kepentingan universal) karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP
(mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut
dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas
Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yan
dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2
KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga
mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal
laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat
menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin
juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang
kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan
Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan
nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas,
pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara
asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional
(asas universal).
Pasal 7 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap pejabat yang di luar Indonsia melakukan salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua”.
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang
sebagian besar sudah diserap menjadi tindak pidana korupsi. Akan tetapi
pasal-pasal tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420,
423, 425, 435) telah dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dengan rumusan tersendiri sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang terdapat
dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal 7
KUHP masih dapat diterapkan ? untuk masalah tersebut harap diperhatikan pasal
16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi :
“setiap orang di luar wilayah
Negara republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau
keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang
sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14”
Pasal 8 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di
luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam
Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku
ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas
kapal di Indonesia, maupun dalam ordonansi perkapalan”.
Dengan telah diundangkannya tindak pidana tentang kejahatan
penerbangan dan kejahatan terhadap sarana / prasarana penerbangan berdasarkan
UU No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A.
pertimbangan lain untuk memasukkan Bab XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8 KUHP
adalah juga menjadi kenyataan bahwa kejahatan penerbangan sudah digunakan
sebagai bagian dari kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok
terorganisir pasal 9 KUHP.
Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8
dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum-hukum
internasional.
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi
:
1) Kepala
Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak
eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka
2) Duta
besar Negara asing beserta keluarganya meeka juga mempunyai hak eksteritorial.
3) Anak
buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar
kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang
mempunyainya
4) Tentara
Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.