HUKUM Kawin kontrak
Thursday, 1 May 2014
Oleh : Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA
SUDUT HUKUM | Kawin kontrak yang dalam bahasa Arab disebut zuwaaj
muaqqad atau kawin sebentar. Waktunya terserah perjanjian kontrak yang
disetujui oleh kedua belah pihak. Boleh satu tahun, boleh satu bulan, boleh
satu hari dst. Mirip sekali dengan nikah mut’ah, bedanya hanya pada batas lama
waktunya. Batasan pada mut’ah terserah si laki-laki, boleh berapa saja,
terserah kekuatan dan minat si laki-laki.
Dalam ke dua jenis perkawinan ini, mereka
tidak saling mewarisi bila salah satu pelakunya mati, meskipun masih dalam
waktu yang disepakati. Juga tidak wajib memberi nafkah (belanja) dan tidak
wajib memberi tempat tinggal. Dilakukan tanpa wali dan tanpa saksi, begitu pula
tanpa talak, tetapi habis begitu saja pada akhir waktu yang disepakati.
Pelakunya boleh perjaka atau duda, bahkan yang sudah punya istri. Sedang si
wanita boleh masih perawan atau sudah janda.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah
menyatakan, nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu,
sehingga bila waktunya telah habis, maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar
tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah, wanita yang menjadi istri juga tidak
mempunyai hak waris jika si suami meninggal dunia. Dengan begitu, tujuan nikah
mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam, sebagaimana
disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat
dirugikan. Oleh karenanya, nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dari definisi dan penjelasan ini saja,
kita telah dapat mengetahui hukum keabsahannya. Nikah seperti ini
bertentangan dengan tujuan nikah yang sangat mulia dalam Islam.
Sebagaimana
dikemukakan para ulama, berdasarkan Al-Quran dan hadits, dalam ajaran Islam,
maksud utama pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan
keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar
kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah).
Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah
tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.
Dalam hal ini, Syaikh al-Bakri dalam
kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan: “Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya.
Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan
belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling
mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan
menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan.”
Nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika
awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi
dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim: “Yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini
adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni
dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang
Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari
perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari
kiamat.”
Ulama Ahli Fiqh menyebutkan alasan
pembolehan sementara itu hanyalah karena dalam keadaan perang yang jauh dari
istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat, maka Allah
Swt memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ibnu Abbas ra, berfatwa, sebagaimana
disebutkan dalam kitab Tahzhib as-Sunan: “Dihalalkan nikah mut’ah karena dalam
keadaan darurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika
dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang
kepepet dalam keadaan darurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah,
dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan
dharurat maka hukumnya menjadi boleh.”
Fatwa itu didasarkan pada shahih:
“Diriwayatkan bahwa Ali ra berkata: Rasulullah saw melarang nikah mut’ah ketika
perang Khaibar.” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikian juga Salamah bin al-Akwa’
ra berkata: “Rasulullah saw memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada
tahun Authas (ketika fathu Mekkah) kemudian (setelah itu) melarangnya.” (HR.
Muslim).
Rabi’ bin Sabrah ra juga meriwayatkan
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku
pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya
sampai hari kiamat. Oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan
mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian
berikan kepada wanita yang kalian mut’ah.” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai,
Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Dari hadis-hadis tersebut, para ulama
berketatapan hati secara ijmak menyatakan bahwa nikah mut’ah hukumnya
haram. Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang
melaksanakan nikah mut’ah, maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan
secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam
an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim: “Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika
saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah
(batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan.”
Dari uraian di atas, ananda dapat
menyimpulkan sendiri bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika keadaan
darurat di zaman Rasul saw masih hidup, tapi kemudian diharamkan untuk
selama-lamanya. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah atau Kawin kontrak
pada masa sekarang, maka nikah tersebut batal, hukumnya haram dan
hubungan badan adalah zina. Demikian, wallahu a’lamu bish-shawab.