Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam
Saturday, 14 June 2014
SUDUT HUKUM | (http://goo.gl/qoayVR)
FANPAGE FB: Klik disini
1.
Pengertian
Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam
a.
Pengertian dif'a
asy-syar'i
(pembelaan
syar‟i khusus) atau
daf‟u as-sail (menolak penyerang atau pembelaan
diri)
Menurut
istilah yang dinamakan daf‟u
as-sail (menolak penyerang/ pembelaan
diri) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya atau jiwa orang lain, atau
hak manusia untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain dari kekuatan
yang lazim dari setiap pelanggaran dan penyerangan yang tidak sah. Penyerangan
khusus baik yang bersifat wajib maupun hak bertujuan untuk menolak serangan,
bukan sebagai hukuman atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut
tidak membuat penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak.
“Barangsiapa yang menyerang
kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu.”
b.
Hukum pembelaan diri
Para
fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah
untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap
jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas hukumnya, apakah
merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi, konsekuensinya apabila membela diri
merupakan suatu hak, maka seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan
mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya
apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa
ketika meninggalknnya.
Serangan
seseorang adakalanya ditujukan kepada kehormatan jiwa atau harta benda. Untuk
membela kehormatan, para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah wajib.
Apabila seorang laki-laki hendak memperkosa seorang perempuan sedangkan untuk
mempertahankan kehormatannya tidak ada lagi kecuali membunuhnya maka perempuan
tersebut wajib membunuhnya, demikian pula bagi yang menyaksikan.
Untuk
membela jiwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya. Menurut
mazhab Hanafi dan pendapat yang rajih dalam mazhab Maliki dan mazhab
Syafi‟i membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan menurut pendapat yang marjuh(lemah)
di dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi‟i serta pendapat yang rajih (kuat)
di dalam mazhab Hanbali membela jiwa hukumnya jaiz (boleh) bukan
wajib.
c.
Serangan anak-anak,
orang gila dan hewan
Imam
Malik, Asy-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika seseorang
diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan maka harus membela diri. Jadi,
jika korban tidak memiliki cara lain untuk membela diri dari serangan mereka
kecuali dengan membunuh, dan tidak bertanggungjawab baik secara pidana maupun
perdata sebab korban hanya menunaikan kewajibannya
untuk menolak serangan terhadap jiwanya.
Imam
Abu Hanifah serta muridnya kecuali Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang
diserang harus bertanggung jawab secara perdata yaitu dengan membayar diat atas
anak-anak, orang gila dan harga binatang yang telah dibunuhnya. Alasannya adalah
karena pembelaan diri dilakukan untuk menolak tindak pidana, padahal perbuatan
anak-anak, orang gila dan hewan tidak dianggap sebagai tindak pidana karena
binatang tidak berakal.
Abu
Yusuf berpendapat bahwa orang yang diserang hanya bertanggungjawab atas harga
hewan karena perbuatan anak kecil dan orang gila tetap dianggap sebagai tindak
pidana. Meskipun penjatuhan hukuman atas keduanya dihapuskan karena
keduanya tidak memiliki pengetahuan (kecakapan bertindak). Berdasarkan pendapat
ini, dapat dikatakan bahwa menolak serangan anak kecil dan orang gila adalah
dalam keadaan membela diri sedangkan menolak serangan hewan merupakan keadaan
darurat yang memaksa. Alasan
ulama yang mengatakan ditegakannya pembelaan diri dalam segala keadaan bahwa
manusia berkewajiban untuk membela dirinya dan orang lain dari segala serangan
terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban manusia untuk menjaga harta
pribadinya dan harta orang lain dari semua serangan yang ditujukan terhadap
harta, baik bersifat pidana maupun bukan.
d.
Syarat-syarat pembelaan
1)
Adanya serangan atau tindakan melawan hukum
Perbuatan
yang menimpa orang yang diserang haruslah perbuatan yang melawan hukum. Apabila
perbuatan tersebut bukan perbuatan yang melawan hukum, maka pembelaan
atau penolakan tidak boleh dilakukan. Jadi, pemakaian hak atau menunaikan
kewajiban baik oleh individu maupun penguasa, atau tindakan yang diperbolehkan
oleh syara‟ tidak disebut sebagai serangan, seperti pemukulan oleh orang tua
terhadap anaknya sebagai tindakan pengajaran atau pendidikan atau algojo yang
melaksanakan hukuman potong tangan terhadap terhukum sebagai
pelaksanaan tugas.
Menurut
Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad penyerangan tidak perlu harus berupa
perbuatan jarimah yang diancam dengan hukuman, tapi cukup dengan
perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan
dan oleh karenanya serangan orang gila
dan
anak kecil dapat dilawan.
Menurut
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman
dan dilakukan oleh orang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan (serangan) bukan
jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya perbuatan yang
tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu
hanya berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan gurunya Imam
Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam
dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana.
Pembelaan
diri hanya terdapat pada orang yang diserang, bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi
batas dalam melakukan pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya
sebagai penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan dari
orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka tindakan itu dapat
dibenarkan.
2)
Penyerangan harus terjadi seketika
Apabila
tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan orang yang baru akan diserang
saja merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Pembelaan baru
boleh diperbolehkan apabila benar-benar telah terjadi serangan atau diduga kuat
akan terjadi. Apabila terjadi serangan yang masih ditunda seperti ancaman dan
belum terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi jika ancaman sudah
dianggap sebagai bahaya maka penolakannya harus dengan cara yang seimbang,
antara lain seperti berlindung atau melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang
berwenang.
3)
Tidak ada jalan lain untuk mengelakkan serangan
Apabila
masih ada cara lain untuk menolak serangan maka cara tersebut harus digunakan.
Jadi, jika seseorang masih bisa menolak serangan dengan teriakan-teriakan, maka
tidak perlu menggunakan senjata tajam untuk melukai atau bahkan senjata api
yang dapat membunuh orang yang menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah
dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan tersebut dianggap sebagai
serangan dan termasuk jarimah.
Para
fuqaha berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk menghindari serangan. Sebagaian fuqaha
menyatakan bahwa lari bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari
serangan, karena itu dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi
menurut sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk membela
diri.
4)
Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya
Apabila
penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan, hal itu bukan lagi disebut pembelaan
melainkan penyerangan. Dengan demikian, orang yang diserang selamanya harus
memakai cara pembelaan yang seringan mungkin, dan selama hal itu masih bisa
dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih berat.
Antara
serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang sangat erat, karena pembelaan
timbul dari serangan. Dalam perampasan harta, pembelaan
belum berarti selesai dengan larinya penyerang yang membawa harta rampasannya. Dalam hal ini,
orang yang diserang harus berupaya mencari dan menyelidikinya sampai berhasil
mengembalikan harta yang dirampas oleh penyerang, dengan menggunakan kekuatan
yang diperlukan, bahkan bila diperlukan maka boleh membunuhnya.
e.
Melewati batas ukuran pembelaan diri (yang dibolehkan)
Jika
seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih besar dari
kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas tindakannya itu.
Contoh:
- Jika serangan dapat ditolak dengan mengancam si penyerang, namun orang yang diserang itu memukul si penyerang maka harus bertanggungjawab atas pemukulan tersebut.
- Jika serangan dapat ditolak dengan pukulan tangan namun orang yang diserang melukai si penyerang maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu.
- Jika seragan dapat ditolak dengan pelukaan, tapi orang yang diserang itu membunuh, maka harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu.
- Jika si penyerang melarikan diri dan orang yang diserang mengejar lalu melukainya maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu.
- Jika perlawanan penyerang dapat dilumpuhkan, namun orang yang diserang memotong tangan atau kakinya atau membunuhnya maka harus bertanggungjawab atas tindakannya itu
Contohnya,
apabila seseorang bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah karena
mengenai orang lain sehingga melukai atau bahkan membunuhnya, si pembela diri
harus bertanggung jawab atas pelukaan atau pembunuhan tersalah tersebut
meskipun bermaksud dengan sengaja melakukan pembelaan diri. Hal ini disamakan dengan
berburu binatang tapi tersalah sehingga mengenai orang lain. Berburu itu adalah
perbuatan yang diperbolehkan tapi pemburu tetap bertanggungjawab atas
penembakan tersalah yang mengenai manusia tersebut.
2.
Pembelaan umum (Amar
Ma'ruf Nahi Munkar)
Pembelaan
umum artinya pembelaan untuk kepentingan umum atau menganjurkan untuk melakukan
apa yang seharusnya dilakukan menurut syara’ dan mencegah apa yang seharusnya
ditinggalkan.
a.
Dasar hukum pembelaan umum
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Para
fuqaha berpendapat bahwa pembelaan umum atau amar ma‟ruf nahi
munkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh
ditinggalkan. Pembelaan umum diadakan dengan tujuan agar masyarakat berdiri
diatas kebajikan dan pada individu-individu yang ada di masyarakat ditumbuhkan sifat
keutamaan sehingga dengan demikian kapasitas jarimah dan penyelewengan akan
menjadi berkurang. Akan tetapi, para fuqaha masih berbeda pendapat tentang
ketentuan atau batas wajib tersebut dalam 2 hal yaitu sifat dari kewajiban
tersebut, apakah wajib ain atua wajib kifayah dan tentang orang yang
terkena kewajiban tersebut.
Menurut
sebagian fuqaha adalah wajib ain yang dikenakan kepada setiap muslim, bahkan
menurut mereka kewajiban tersebut lebih kuat dari pada kewajiban haji, karena
untuk kewajiban haji disyaratkan adanya kesanggupan (istitha‟ah), sedangkan
untuk pembelaan umum tidak disyaratkan kesanggupan.
Para
fuqaha Yang berpendapat bahwa hukum pembelaan umum hukumnya wajib
kifayah berdasarkan atas firman Allah SWT
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”
Jihad
atau berperang diwajibkan atas setiap orang tetapi kewajiban menjadi tehapus
jika sudah ada orang lain yang menjalankannya. Dalam ayat tersebut terdapat
kalimat (waltakum minkum) yang artinya adalah hendaklah ada diantara
kamu, konotasinya adalah tidak menunjukan keseluruhan umat.
Tentang
orang yang diwajibkan melakukan pembelaan umum, menurut
sebagian fuqaha adalah setiap orang. Tetapi menurut fuqaha lainnya yaitu hanya
orang yang mempunyai kesanggupan seperti: pemuka agama atau ulama‟, dengan
alasan dikhawatirkan jika dibebankan kepada setiap orang, sedangkan orang
tersebut tidak mengetahui tentang hukum Islam maka bisa terjadi keadaan
sebaliknya yaitu melarang kebaikan dan memerintahkan keonaran.
b.
Sumber dan hukum tindakan pembelaan umum
Ma‟ruf
atau kebaikan adalah setiap ucapan atau perbuatan yang perlu diucapkan atau
diperbuat sesuai dengan ketentuan dan prinsip umum syari‟at Islam, seperti
berakhlak mulia, berbuat baik kepada fakir dan miskin dan sebagainya. Munkar
adalah setiap perbuatan yang dilarang terjadinya menurut syari‟at Islam.
Menyuruh
kebaikan (amar ma‟ruf) bisa berupa perkataan seperti ajakan untuk membeantu
korban gempa atau dapat berupa perbuatan seperti pemberian contoh hal yang baik
kepada orang lain. Bisa juga gabungan antara perbuatan dan ucapan seperti
mengajak untuk mengeluarkan zakat sekaligus mengeluarkannya. Sedangkan melarang
kemungkaran (nahi munkar) bisa berupa perkataan seperti melarang orang lain
minum minuman keras. Dengan
demikian,
menyuruh kebaikan adalah menganjurakan untuk mengerjakan atau mengucpkan apa
yang seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah membujuk orang lain agar
meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan.
c.
Syarat-syarat pembelaan umum
Hukum
pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam pelaksanaanya diperlukan
syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan orang yang melaksanakannya. Syarat
tersebut ada yang berkaitan dengan tabiat (sifat) kewajiban
dan ada pula yang berkaitan denagn prinsip dasar syariat.
- Dewasa dan berakal sehat (mukalaf)
- Beriman
- Adanya kesanggupan
- Adil
- Izin (persetujuan)
d.
Syarat melarang keburukan
Untuk
melaksanakan amar ma‟ruf tidak diperlukan syarat khusus, karena amar ma‟ruf berupa nasihat,
petunjuk dan pengajaran. Jadi, bisa dilakukan setiap saat dan kesempatan.
Adapaun untuk mencegah kemungkaran maka diperlukan syarat tertentu, yaitu:
- Adanya perbuatan buruk atau munkar
- Keburukan atau kemunkaran terjadi seketika
- Kemunkaran itu diketahui dengan jelas
Dalam
firman Allah SWT dijelaskan;
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Pemberantasan kemungkaran harus dengan cara seringan mungkin.”
e.
Cara memberantas kemungkaran
Apabila
seseorang melakukan keburukan (kemungkaran) sedang ia tidak tahu perbuatannya
adalah keburukan, cara yang baik untuk mencegahnya adalah dengan meberi
penjelasan dengan sikap yang halus dan lemah lembut bahwa perbuataanya itu
adalah suatu perbuatan yang buruk.
- Penjelasan
Jika
seseorang melakukan suatu perbuatan mungkar tetapi dia tidak tahu bahwa
perbuatannya adalah keburukan, maka cara yang baik untuk mencegahnya adalah
memberi penjelasan kepadanya bahwa perbuatannya adalah suatu perbuatan mungkar
- Memberi nasihat dan petunjuk
Ditunjukan
kepada orang yang memulai suatu perbuatan dan menyadarinya bahwa perbuatan itu
adalah perbuatan munkar. Jika dengan nasihat dan petunjuk bisa diduga pelaku
perbuatan tersebut akan meninggalkan kemungkaran tersebut.
- Menggunakan kekerasan
- Hanya dalam keadaan darurat dan orang yang melakukan perbuatan tidak dapat diatasi dengan cara halus
- Orang yang menggunakan kekerasan tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang kasar, melainkan dengan kata-kata yang baik, benar, sopan serta sesuai dengan kebutuhan
- Mengadakan tindakan dengan tangan
Cara
ini hanya berlaku pada perbuatan maksiat yang menurut tabiatnya dapat mengalami
perubahan materiil dan tiak berlaku pada maksiat yang berkaitan dengan lisan
dan hati. Ada 2 syarat yang diperlukan:
- Orang yang melakukan pemberantasan tidak perlu menggunakan tangannya sendiri, selama pelaku dapat dan bersedia mengubahnya sendiri
- Tindakan dengan tangan harus disesuaikan dengan kadarnya.
- Menggunakan ancaman pemukulan dan pembunuhan
Cara
ini baru tahap ancaman, bukan tindakan. Ancman tersebut harus merupakan ancaman
yang bisa diwujudkan, bukan ancaman yang tidak boleh diwujudkan. Misalnya,nanti
kamu saya dera atau saya pukuli dengan perkataan yang lebih keras.
- Menggunakan pemukulan dan pembunuhan
Cara
ini beleh dilakukan dalam keadaan darurat dan digunakan secara bertahap sesuai
dengan keperluan. Pembunuhan hanya boleh digunakan apabila sudah tidak ada
jalan lain lagi untuk memberantas perbuatan maksiat yang terjadi.
- Minta bantuan orang lain
Apabila
dengan dirinya sendiri seseorang tidak mampu untuk memberantas kemungkaran dan
memerlukan bantuan orang lain dengan kekuatan dan senjatanya maka para fuqaha
berbeda pendapat. Sebagian fuqaha berpendapat meminta bantuan orang lain untuk memberantas
kemungkaran tidak diperbolehkan karan cara tersebut dikhawatirkan bertambah
luasnya keributan dan ketidaktentraman sebab orang yang diberantas juga akan
mendatangkan temannya sehingga dapat menimbulkan peperangan. Perorangan boleh
menggunakan cara ini jika mendapat
izin dari penguasa.
Menurut
sebagian fuqaha lainnya, cara tersebut boleh digunakan tanpa memerlukan izin dari penguasa sebab cara
tersebut pada hakikatnya sama dengan
cara lain yang menimbulkan kemungkinan terjadinya keributan yang lebih luas. Ketujuh cara tersebut dapat
digunakan terhadap siapa saja, kecuali terhadap orang tua, suami dan pihak
penguasa. Dalam firman Allah SWT.
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau keduaduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
SUDUT HUKUM | (http://goo.gl/qoayVR)
FANPAGE FB: Klik disini