ASPEK PEMBIAYAAN DARI TINDAK PIDANA
Sunday, 20 July 2014
SUDUT HUKUM | Pada awal Mei 2006 lalu, Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Kapolri) menyatakan, akan mencari pihak-pihak yang membiayai kegiatan unjuk rasa kaum buruh
yang berakhir rusuh. Pernyataan ini merupakan suatu kemajuan dalam rangka mengungkapkan
dan memberantas suatu tindak pidana.
Tulisan ini membahas aspek pembiayaan dari suatu tindak pidana
dengan mengambil contoh tindak pidana konvensional, seperti pembunuhan, tindak
pidana kerah putih, seperti mani-pulasi pasar, dan tindak pidana luar biasa, seperti terorisme.
Pentingnya Aspek Pembiayaan Pembiayaan adalah salah satu aspek penting dari tindak pidana.
Sering, keberhasilan atau terjadinya tindak pidana sangat ditentukan oleh
pembiayaan yang diberikan kepada para pelaku sebagai eksekutor. Acap kali,
motivasi seseorang untuk melakukan tindak pidana tergantung dari beberapa besar bayaran yang
diterimanya. Inilah yang disebut dengan financial crime, yaitu tindak pidana
yang dilakukan dengan tujuan mencari uang. Disamping itu, pembiayaan itu
sendiri, terutama bagi kejahatan terorganisasi ( organized crime ), merupakan
suatu life-blood of the crime , tulang punggung para kriminal yang sangat
menentukan keberhasilan suatu tindak pidana.
Sehubungan dengan itu, untuk dapat berhasil membongkar dan
memberantas tuntas sutau tindak pidana, salah satu aspek penting yang harus diketahui
penyidik adalah aspek pembiayaan dari tindak pidana tersebut. Aspek pembiyaan yang perlu
diketahui adalah bagaimana hubungan keuangan antara para pelaku tindak pidana.
Hubungan keuangan ini dapat diketahui, secara konvensional, dengan melakukan
pemerik-saan para saksi atau pelaku tindak pidana. Tetapi, dapat juga diketahui
melalui pendekatan akutansi forensik yang akan menjelaskan secara finansial:
apa yang terjadi, siapa pelakunya, di mana terjadinya, kapan terjadinya,
mengapa tindak pidana itu terjadi dan bagaimana terjadinya. Tujuan pendekatan
ini sama dengan metode yang dilakukan para wartawan dalam menulis
berita yang kita kenal dengan rumus 5W+1H. Dengan mengetahui hubungan keuangan ini, akan
diketahui hubungan dan kedudukan para pelaku. Disinilah perlunya keahlian
penyidik untuk melakukan semacam financial investigation. Kalau penyidik tidak
memiliki keahlian di bidang ini, dapat dibantu oleh akuntan yang bekerja di
sektor publik atau akuntan publik.
Dalam perkara pembunuhan oleh pembunuh bayaran, perlu diketahui
hubungan keuangan antara pelaku pembu-nuhan dengan orang yang menyuruh melakukan
pembunuhan. Misalnya dalam kasus pembunuhan Boedyharto Angsono, bos PT.Aneka
Sakti Bakti, atas perintah mantan menantunya sendiri Gunawan Santoso (GS) pada
2003, perlu dicari hubungan keuangan antara orang yang memberi perintah (GS)
dengan para eksekutor di lapangan, yaitu beberapa oknum marinir.
Dalam kasus tindak pidana manipulasi pasar di bursa, selain perlu
diketahui komunikasi antara penjual dan pembeli di bursa, juga sangat penting diketahui
hubungan keuangan antara penjual dan pembeli tersebut. Dapat saja terjadi, saham tidak
berkualitas yang di jual di bursa “digoreng” dengan rekayasa penawaran dan
permintaan yang terus menerus, sehingga menimbulkan harga semu yang tidak
menunjukkan harga pasar berdasarkan mekanisme pasar yang sebenarnya. Saham
murah bisa menjadi mahal. Lebih celaka lagi, jika pada saat harga saham sudah
tinggi salah satu pihak, penjual atau pembeli gagal melakukan pembayaran atau
penyerahan saham yang diperdagangkan. Akibatnya, PT. Kliring Penjaminan Efek
Indonesia (KPEI), sebagai penjamin, dapat terkena getahnya dengan memenuhi
kewajiban tersebut yang sesungguhnya lahir dari transaksi semu atau manipulasi
pasar.
Dalam kasus tindak pidana terorisme yang diatur didalam
Undang-undang (UU) No. 15/2003 pun, aspek pembiayaan ini sangat menonjol. Bahkan UU ini
mengkriminalisasi suatu perbuatan yang membiayai kegiatan terorisme dalam pasal 11 dan 13.
Misalnya mereka yang mengumpulkan dana, sebaha-gian atau seluruhnya, untuk
kegiatan terorisme, jelas dilarang oleh UU ini (Pasal 11). Perbuatan dilarang
lainnya, dukungan terhadap kegiatan terorisme dengan cara meminjamkan uang,
barang atau kekayaan kepada pelaku terorisme (Pasal 13). Semuanya dengan
ancaman hukuman minimal tiga tahun penjara dan maksimal lima belas tahun penjara.
Khusus mengenai pembiayaan terorisme ini, sejak 1999 sudah ada
konvensi internasional yang mengaturnya, yaitu International Convention for the Supression
of Terrorist Financing yang sudah diratifikasi Indonesia dengan UU No.6/2006, beberapa
bulan lalu. Masalah pembiayaan terorisme ini menjadi semakin penting dengan terjadinya
peristiwa runtuhnya World Trade Center New York pada 11 September 2001 lalu. Sebagai
kelanjutan peristiwa tersebut, Financial Action Task Force on Money Laundering
pada Oktober 2001 di Washington DC memutuskan rekomondasi khusus agar seluruh
negara menyatakan perbuatan pembiayaan terorisme sebagai suatu tindak pidana.
Dalam kaitan ini, kiranya perlu dijelaskan, bahwa dalam UU Tindak Pidana
Pencucian Uang diatur, harta kekayaan yang sah, apabila dipergunakan untuk
membiayai kegiatan terorisme dapat diklasifikasikan sebagai transaksi yang
mencurigakan yang harus di laporkan kepada PPATK (pasal 2 ayat 2). Ini semua
dalam rangka mendeteksi, mencegah, dan memberantas tindak pidana terorisme.
Kemampuan sistem yang diciptakan UU untuk mendeteksi tindak pidana terorisme
tidaklah bersifat antisipatif atau (forward) tetapi lebih banyak bersifat
penelu-suran ke belakang ( backward) untuk mendukung penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana terorisme yang sudah terjadi.
Informasi yang Dapat Dimanfaatkan Penelitian terhadap hubungan keuangan antara
para pelaku tindak pidana, dapat dilakukan juga dengan memanfaatkan dan menganalisis laporan yang diterima
oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yaitu Laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan (LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) untuk jumlah lima
ratus juta rupiah dan Laporan Pembawaan Uang Keluar dan Masuk Wilayah Pabean untuk jumlah
seratus juta rupiah. LTKM dan LTKT dilaporkan oleh penyedia jasa keuangan,
termasuk bank, sementara laporan pembawaan uang keluar dan masuk wilayah pabean
dilaporkan oleh Bea dan Cukai.
Sampai dengan akhir April 2006, LTKM yang diterima sudah lebih dari
4300 laporan, sedangkan LTKT sekitar 1,7 juta laporan. Sementara laporan
pembawaan uang keluar dan masuk wilayah pabean hampir delapan ratus laporan.
Selain informasi dari laporan ini, informasi tambahan dapat diperoleh dari
mitra kerja di luar negeri yang jumlahnya lebih dari seratus negara.
Akhirnya dapatlah disimpulkan, bahwa dengan mengetahui aspek
pembiayaan dapat dibongkar atau diberantas berbagai macam tindak pidana. Untuk
tindak pidana tertentu, seperti makar atau separatisme, pendekatan pembiyaan
ini dapat mencegah pembiayaan makar atau separatis. Dengan memotong jalur pembiayaan mereka, para pelaku
tindak pidana ini tidakdapat membeli senjata, melakukan ujuk rasa, bepergian ke
luar negeri atau melakukan kegiatan lain yang merugikan. Oleh karena itu, untuk
efektifnya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana, mengetahui aspek pembiayaan
ini adalah suatu hal yang mutlak dilakukan oleh para penegak hukum. Untuk
mencapai hal itu, tidak hanya diperlukan peningkatan kapasitas penyidik, tetapi
juga diperlukan kerja sama antara berbagai pihak yang terkait.*
*Dimuat dalam Harian Seputar Indonesia. Selasa, 30 Mei 2006