Biografi Imam Malik
Saturday, 5 July 2014
SUDUT HUKUM | Imam Malik yang bernama lengkap Abu
Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Husail bin Amr bin Haris al Asbahi al-Madani,
Beliau lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M. Beliau berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial
tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun
setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu
Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H.
Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Imam Malik dilahirkan dari sepasang
suami-istri Anas bin Malik dan Aliyah binti Suraik, bangsa Arab Yaman. Ayah Imam Malik
bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi seorang tabi'in yang sangat minim
sekali informasinya. Dalam buku sejarah hanya mencatat, bahwa ayah Imam Malik
tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, nama suatu tempat di padang pasir
sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah. Kakek Malik, Abu Umar,
datang ke Madinah dan bermukim di sana sesudah Nabi wafat. Karenanya kakek Imam Malik ini
tidak termasuk golongan sahabat, tetapi masuk golongan tabi’in mukhadlram.
Imam Malik, dilahirkan dalam keluarga
yang tekun mempelajari hadis. Dalam masyarakat,
kakeknya (Malik bin Abi Amar) adalah salah seorang dari ulama’ tabi’in yang
menerima hadis dari Utsman dan Thalkhah. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh
cucunya Malik, Nafi’ dan Abu Suhail. Menurut kenyataan, Abu Suhail inilah yang paling memperhatikan urusan riwayah.
Walaupun ayah Imam Malik tidak terkenal sebagai ahli ilmu, namum kakek dan
pamannya terkenal sebagai ahli ilmu. Dengan demikian tidak mengherankan apabila
beliau tumbuh dalam keluarga hadis, cenderung jiwanya mempelajari kepada hadis.
Sejak kecil, beliau (Imam Malik) rajin
menghadiri majelismajelis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari itu,
ibundanya sendiri yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.
Pada mulanya beliau belajar fiqih pada
gurunya bernama Rabi’ah Ibn Abdirrahman, seorang ulama yang terkenal pada waktu
itu. Setelah usianya 17 tahun, beliau lebih
memperdalam mempelajari hadis kepada Ibn Syihab, disamping juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat. Diceritakan bahwa Malik telah
belajar dan menerima ilmu dari 100 orang ulama yang ahli dengan berbagai
cabangnya.
Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam
Malik tumbuh sebagai seorang ulama’ yang terkemuka,
terutama dalam bidang hadis dan fiqih. Bukti atas hal itu adalah ucapan Al-Dahlami ketika dia
berkata: “Malik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadis di Madinah,
yang paling tahu keputusan-keputusan Umar, yang paling mengerti tentang
pendapat-pendapat Abdullah bin Umar, Aisyah r.a, dan sahabat-sahabat mereka,
atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepada suatu masalah, dia
menjelaskan dan memberi fatwa”.
Imam Malik terkenal pula dengan sebutan Daar Al-Hijrat (Imam dari kota Madinah).
Sebutan ini diberikan kepadanya karena dalam sejarah hidupnya, beliau tidak
pernah meninggalkan kota Madinah, kecuali hanya untuk menunaikan ibadah haji ke
Makkah.
Akhirnya, berkat ketekunan dan
kepandaiannya dalam belajar ilmu hadis dan fiqih, beliau memiliki keahlian dalam dua bidang
ilmu ini. Orang-orang Hijaz menjuluki sebagai Al-Sayyid Al-Fuqaha’ Al- Hijaz (Pemimpin dari Fuqaha’ Hijaz).
Imam Malik semasa hidupnya sebagai
pejuang demi agama dan umat Islam seluruhnya. Imam Malik juga dilahirkan pada pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik Al-Umawi. Dia
meninggal dunia pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid di masa Abasiyyah. Zaman hidup Imam Malik adalah sama dengan zaman hidup Imam
Abu Hanifah.
Semasa hidupnya Imam Malik mengalami dua
corak pemerintahan, Umayyah dan Abasiyyah,
dimana terjadi perselisihan hebat diantara dua pemerintahan tersebut. Di masa itu pengaruh ilmu
pengetahuan Arab, Persi dan Hindia (India) tumbuh dengan subur dikalangan
masyarakat di kala itu.
Imam Malik juga dapat menyaksikan
perselisihan antara pendukung Abbasiyyah versus pendukung Alawiyyin, kekerasan kepada golongan Khawarij, dan
pertentangan antara golongan Syiah, Ahli Sunnah serta Khawarij. Beliau juga menyaksikan percampuran antara bangsa Arab, Persi, Romawi dan
India. (ANIQOTUS SA’ADAH)