Budaya Malu Langka, Korupsi Merajalela
Friday, 4 July 2014
Budaya malu harus mulai ditanamkan sejak taman kanak-kanak.
“Korupsi sudah membudaya”.
Anda mungkin pernah mendengar frasa yang pernah dilontarkan oleh salah seorang
Tokoh Proklamator, Mohammad Hatta ini. Frasa ini mengundang pro dan kontra.
Sekretaris Komisi Hukum Nasional (KHN), Prof. JE Sahetapy termasuk yang kontra.
“Namun, hati nurani
saya, terlepas dari adanya Undang-undang Korupsi, tidak setuju kalau
dikatakan bahwa korupsi sudah membudaya,” ujar Sahetapy dalam acara
Dialog Kepemimpinan Nasional “Membangun Budaya Malu”, 10 Juni lalu di Jakarta.
Meskipun tidak
sepakat jika korupsi disebut telah membudaya, namun Sahetapy tidak
memungkiri bahwa korupsi di Negeri ini sudah begitu merajalela. Korupsi,
kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini, seolah-olah tidak
mengenal batas, ruang dan waktu, terjadi di semua lapisan birokrasi
pemerintahan di Indonesia.
Menurut Sahetapy,
fenomena korupsi yang merajalela ini menandakan bahwa rasa bersalah dan
malu seolah-olah tidak adalagi di dalam hati nurani orang-orang yang terlibat korupsi
di Indonesia.
“Dalam konteks
teori saya Sobural, yaitu akronim dari skala nilai sosial,
aspek budaya dan faktor struktural masyarakat, seharusnya permasalahan korupsi
ini harus dikupas dan ditelaah dari perspektif budaya,” paparnya.
Sahetapy mengatakan
perilaku korupsi itu membungkam hati nurani sehingga si pelaku tidak
hanya kehilangan rasa bersalah, tetapi juga rasa malu. Sahetapy mencontohkan
ketiadaan rasa malu itu terlihat ketika seorang tersangka atau terdakwa korupsi
masih sempat tersenyum.
“Meskipun Indonesia
belum atau tidak memiliki Shame Culture dan
atau Guilt Culture, saya anggap, terlepas dari seharusnya ada sikap ‘praduga
tak bersalah’, sikap yang demikian sulit dapat ditolerir,” ujar Sahetapy.
Menurut Sahetapy,
rasa malu harus ditanam pada diri setiap orang. Di lingkungan keluarga, ibu
sebagai pendidik utama dapat berperan dalam menanamkan rasa malu. Rasa malu
yang telah ditanam dari lingkungan keluarga itu lalu dipoles kembali di
lingkungan sekolah.
“Masih dibutuhkan
banyak penelitian namun langkah permulaan harus dimulai. Saya sadar bahwa
mengubah kultur ke arah shame culture danguilt culturemembutuhkan waktu dari generasi ke generasi dan
itu tidak mudah,” kata Sahetapy.
Di forum yang sama,
Tokoh Pers Atmakusumah mengatakan hilangnya budaya malu sebenarnya tidak hanya
terjadi di Indonesia saja. Di Australia, kata Atmakusumah, tengah ramai
diperbincangkan tentang sulitnya membangun karakter manusia yang ideal.
“Kalau mengajarkan
kemahiran membaca, menulis, berhitung kepada anak-anak cukup dengan waktu
setengah atau satu tahun. Tapi untuk membangun karakter yang ideal,
ternyata memerlukan waktu sedikitnya 15 tahun,” paparnya.
Atmakusumah
berpendapat para pengelola pendidikan, para guru perlu diingatkan tentang
betapa pentingnya memberikan pendidikan moral, pendidikan karakter yang
baik. “Minimal dari taman kanak-kanak lah,” imbuhnya.
Menurut
Atmakusumah, pembentukan karakter yang baik itu dapat berlandaskan pada
ajaran agama,
filosofi, dan ideologi. Namun, dia tegaskan, agama harus menjadi pegangan utama.
Tokoh Agama, Romo
Benny Susetyo berpendapat masyarakat Indonesia sebenarnya adalah masyarakat
yang religius. Namun nyatanya, bagi sebagian masyarakat Indonesia, agama itu
dianggap hanya sebagai aksesori semata. Agama menjadi suatu ritual sehingga
tidak mempengaruhi cara berpikir, bertindak, bernalar seseorang
“Rasa malu hilang
karena apa? Karena kita ada persoalan-persoalan yang menganggap semua itu
dianggap wajar. Rasa malu itu terkait dengan hubungan bagaimana orang itu
dihargai.” (hukumonline.com)