Hikmah Mahar
Wednesday, 2 July 2014
SUDUT HUKUM | Wujud mahar (maskawin) bukanlah untuk menghargai atau
menilai perempuan, melainkan sebagai bukti bahwa
calon suami sebenarnya cinta kepada calon istrinya, sehingga dengan suka dan rela hati ia
mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada istrinya
itu, sebagai tanda cuci hati dan sebagai pendahuluan, bahwa suami akan terus-menerus memberi nafkah kepada istrinya, sebagai kewajiban suami
terhadap istrinya. Oleh sebab itu, maskawin tidak ditentukan berapa banyaknya,
tetapi cukup dengan tanda cinta hati. Laki-laki yang tidak mau membayar mahar adalah
suatu bukti bahwa ia tidak menaruh cinta walau pun sedikit kepada istrinya.
Adapun hikmah mahar adalah:
1.
Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita
yang dicari laki-laki bukan laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang
berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus
mengorbankan hartanya.
2.
Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang
suami kepada isterinya, karena maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang
oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan nihlah
(pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar harga wanita.
3.
Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan
berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.
4.
Menunjukkan tanggung jawab suami dalam
kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah
pemimpin atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak
itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih
bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap isterinya. (ANIQOTUS SA’ADAH)