PENGERTIAN ETIKA
Wednesday, 2 July 2014
SUDUT HUKUM | Mendefenisikan
kata etika tidak semudah mengucapkannya. Kita sering mendengar kata “etis”, “moral”
dan “etika”. Sama dengan istilah-istilah ilmiah lainnya etika
berasal dari bahasa Yunani, ethos dalam bentuk tunggal, dan ta etha dalam
bentuk jamak. Ethos bisa diartikan tempat tinggal yang biasa; padang
rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara
berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) hanya mempunyai satu arti yaitu
adat kebiasaan.
Dari
banyak arti di atas, arti terakhir yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya
istilah “etika” yang sudah dipakai Aristoteles untuk menunjukkan filsafat
moral. Dengan melihat asal usul kata ini “etika” berarti: ilmu tentang
apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Ethos,
yang merupakan asal usul kata etika, juga bermakna semangat khas yang
dimiliki oleh kelompok tertentu. Menurut K. Bertens, ethos menunjukkan
ciri-ciri, pandangan, dan nilai yang menandai kelompok tertentu atau yang
menurut Concise Oxford Dictionary: “characteristic spirit of community, people or
system.” Hal ini tercermin dalam konsep etos kerja atau etos profesi. Semangat, ciri-ciri, dan pandangan khas yang
dirumuskan untuk profesi tertentu disebut kode etik, misalnya kode etik kedokteran,
kode etik guru, kode etik jurnalistik dan sebagainya.
Istilah
yang dekat dan hampir sama dengan etika adalah moral, yang mana kedua
kata ini selalu bersinggungan dan terkadang juga dipakai sebagai sinonim,
sekarang biasanya orang cenderung memakai “morality” untuk menunjukkan tingkah
laku itu sendiri. Moral dan etika mempunyai arti yang sama, moral
berasal dari bahasa Latin mos (jamak; mores) yang juga berarti; adat,
kebiasaan. Jadi, secara etimologi kata “etika” dan “moral” memang mempunyai
arti yang sama, tapi berbeda dari asal katanya. Yang pertama dari bahasa Yunani dan yang kedua berasal dari bahasa Latin.
Mengenai
moral dan etika ada pendapat lain yang menjelaskan bahwa itu adalah dua hal yang berbeda, dikatakan bahwa etika
berkaitan dengan kelakuan manusia, atau dapat
dikatakan bahwa etika adalah ilmu kritis yang mempertanyakan dasar rasionalitas sistem-sistem moralitas yang
ada. Dengan kata lain etika akan bertanya mengapa ajaran moral ini boleh
dan ini tidak boleh, apa dasar yang harus saya ikuti. Sedangkan moralitas
adalah sistem nilai mengenai bagaimana
manusia harus hidup secara baik sebagai manusia.
Ada
keterangan menarik -bagi penulis- dari Frans Magnis Suseno, dia menerangkan etika bukan suatu
sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan
merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi, etika
dan ajaran-ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana
harus hidup bukan etika, melainkan
ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap
yang
bertanggungjawab
berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Lebih
lanjut Bertens menjelaskan pengertian/arti etika, pertama,
kata etika bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang “etika suku-suku
Indian”, “etika agama Budha”, “etika Protestan”, maka tidak
dimaksudkan “ilmu” tapi arti pertama tadi. Secara singkat, arti ini bisa
dirumuskan juga sebagai “sistem nilai”.
Dan bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
Kedua, etika
berarti juga: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Departemen Kesehatan RI pernah menerbitkan
kode etik untuk rumah sakit yang diberi judul “etika rumah sakit Indonesia”.
Di sini dengan “etika” jelas dimaksudkan kode etik. Ketiga, etika
mempunyai arti lagi: ilmu tentang yang baik dan buruk. Etika baru
menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai
tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat,
sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat
moral.
Lebih
lanjut Sonny Keraf memberikan penjelasan pengertian Etika sebagai
filsafat moral adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma
yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan mengenai
masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan
norma-norma moral yang umum diterima.
Dalam
Islam istilah etika sering disebut dengan akhlak, berasal dari bahasa
Arab jama’ dari “khuluqun” yang menurut bahasa diartikan budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau adat. Kalimat tersebut mengandung segisegi persesuaian
dengan ‘khalqun’ yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan ‘khaliq’
yang berarti pencipta dan ‘makhuq’ yang berarti yang diciptakan.
Perumusan
pengertian ‘akhlaq’ timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik
antara khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq. Perkataan ini
bersumber dari kalimat yang tercantum dalam al Qur’an:
Artinya
: sesungguhnya engkau (ya Muhammad) mempunyai budi pekerti yang luhur.
Adapun
pengertian ilmu akhlaq secara terminologi adalah ilmu yang menentukan batas
antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan tercela, tentang perkataan atau
perbuatan manusia lahir dan batin. Etika dalam Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber
moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan,
didasarkan pada ajaran Allah swt. (al Qur’an) dan ajaran Rasul-nya (hadits).
Imam
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin sebagaimana dikutip Ali Hasan
menjelaskan pengertian khuluq (etika) adalah suatu sifat yang
tetap dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
dengan tidak membutuhkan pikiran.
Kritis
dan rasional harus diakui menjadi sifat dasar etika, dengan mempersoalkan
norma-norma yang berlaku. Sehingga akan menimbulkan pertanyaan apa dasar dari
norma-norma yang diterapkan di masyarakat?, etika mempertanyakan “apa
hak tiap lembaga, seperti keluarga, sekolah, agama atau negara mengeluarkan
perintah atau larangan yang harus ditaati?”
Merespon
pertanyaan mendasar di atas, hemat penulis etika diartikan sebagai ilmu
yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan
moralitas, dan juga untuk menyelidiki tingkah laku moral. Maka untuk
mempermudah menyelidiki atau mempelajari tingkah laku moral, Bertens membagi
beberapa pendekatan yang sering diberikan. Yaitu, etika deskriptif, etika
normatif dan metaetika.
1. Etika
Deskriptif
Pendekatan
ini melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya, adat kebiasaan,
anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan
dan yang tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas
yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau
subkultur-subkultur yang tertentu, dalam suatu periode sejarah dan sebagainya.
Sebagai
contoh, semisal seorang etikawan akan membentuk suatu pendirian yang
berbobot tentang masalah korupsi, maka dia harus mengetahui bagaimana korupsi
dalam masyarakatnya sendiri dan dalam masyarakat-masyarakat lain, baik di zaman
sekarang atau di masa lampau. Dengan kata lain, untuk mengemukakan pandangan
filosofisnya tentang koruspsi ia harus mengetahui latar belakang sosiologis dan
historisnya. Dan sebaliknya seorang antropolog, sosiolog, psikolog dan
sejarahwan yang menyoroti fenomena moral harus mendalami cukup mendalam tentang
teori etis. Bila ia dapat menguasai tersebut pandangan dan penelitiannya
tentang masalah moral akan lebih terarah dan berbobot.
2. Etika
Normatif
Etika
normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang dimana
diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral. Di sini ahli
bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti halnya dalam etika
deskriptif, tapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan tentang perilaku
manusia. Ia tidak lagi membatasi diri dengan memandang fungsi prostitusi dalam
suatu masyarakat, tapi menolak prostitusi sebagai suatu lembaga yang
bertentangan dengan
martabat
wanita, biarpun dalam praktek tidak bisa diberantas secara tuntas. “Martabat manusia harus dihormati” dapat dianggap sebagai contoh tentang norma semacam itu.
Etika
normatif meninggalkan sifat netral, dengan mendasarkan pendiriannya atas norma. Dan tentang norma-norma yang diterima
dalam suatu masyarakat atau diterima oleh seorang filsuf lain ia berani
bertanya apakah norma-norma itu benar atau tidak. Hal ini berarti bisa
dirumuskan bahwa etika normatif tidak deskriptif melainkan preskriptif (=memerintahkan),
tidak melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan
moral. Tentunya dengan argumentasi-argumentasi yang menjadi dasar dalam
menyalahkan atau membenarkan suatu tingkah laku atau anggapan moral.
Secara
gampang dan singkat dapat dikatakan, etika normatif bertujuan merumuskan
prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan
dapat digunakan dalam praktek.
Selanjutnya,
etika normatif dibagi menjadi etika umum dan etika khusus.
a. Etika
Umum
Memandang
tema-tema umum, seperti; apa itu norma etis? Jika ada banyak norma etis,
bagaimana hubungannya satu sama lain? Mengapa norma moral mengikat kita? Dan
lain sebagainya. Tema-tema inilah yang menjadi objek penyelidikan etika
umum.
b. Etika
Khusus
Berusaha
menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang
khusus. Etika khusus mempunyai tradisi panjang dalam sejarah filsafat
moral. Kini tradisi ini kerap kali dilanjutkan dengan memakai suatu nama baru,
yaitu “etika terapan” (applied ethics). Dapat dikatakan juga
bahwa dalam etika khusus itu premis normatif dikaitkan dengan premis
faktual untuk sampai pada kesimpulan etis yang bersifat normatif juga.
3.
Metaetika
Dalam
bahasa Yunani meta mempunyai arti “melebihi”, “melampui”. Istilah ini
diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas
secara langsung, melainkan ucapanucapan kita di bidang moralitas. Metaetika
seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi dari pada perilaku etis, yaitu
pada taraf “bahasa etis”. Atau bahasa yang kita gunakan dalam bidang moral.
Manfaat
Etika
Untuk
apa kita membahas etika? Berbeda dengan ajaran moral etika tidak
mempunyai pretensi secara langsung dapat menjadi manusia bisa lebih baik.
Setiap orang perlu bermoral tapi tidak setiap orang perlu beretika. Etika adalah
pemikiran sistematis tentang moralitas. Yang dihasilkan secara langsung
bukanlah kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Frans
Margins Suseno menerangkan paling tidak ada empat alasan yang menjadikan etika
bermanfaat di zaman sekarang. Pertama, kita hidup dalam masyarakat yang
semakin pluralistik, juga dalam bidang moralitas. Setiap hari kita bertemu
orang-orang dari suku, agama dan daerah berbeda. Kita berhadapan dengan sekian
banyak pandangan moral yang sering saling
bertentangan dan semua mengajukan klaim mereka kepada kita.
Untuk
mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral tersebut kita memerlukan refleksi
kritis atas etika. Kedua,
kita hidup dalam masa transformasi masyarakat tanpa tanding. Perubahan itu terjadi di bawah
hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan kita, yaitu gelombang
modernisasi. Dalam situasi ini etika mau membantu kita agar tidak
kehilangan orientasi, dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa saja yang
boleh berubah, dan dengan demikian kita dapat mengambil sikap-sikap yang dapat
kita pertanggungjawabkan.
Ketiga,
tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial budaya dan moral yang kita
alami ini dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memancing dalam air keruh.
Mereka menawarkan ideologi-ideologi sebagai obat penyelamat. Etika dapat
membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi tersebut dengan kritis
dan objektif dan untuk membentuk penilaian tersendiri agar tidak mudah
terpancing.
Keempat, etika
juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan
mereka dalam iman kepercayaan mereka, di lain pihak sekaligus mau
berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam suatu
dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah ini.(UBBADUL ADZKIYA’)