KEBAHAGIAAN
Friday, 11 July 2014
SUDUT HUKUM | Sebagai
awal kajian ini sangat menarik apabila kita merenungkan pendapat Richard Carlson1
tentang
fenomena dan eksistensi bahagia, yang
menurutnya
bahagia adalah hak setiap orang dengan berbagai macam strata dan status, cuma pandang dan pola
pemaknaan lebih lanjut ia mengatakan;
Seseorang pernah bertanya kepada saya, “Jika harus memilih satu frasa atau pedoman yang telah membantumu mempertahankan sudut pandang yang tepat ketika orang lain bersikap menjengkelkan, apa yang akan kau pilih?” Kata-kata yang keluar dari mulut saya adalah, “Semua orang berhak merasa bahagia”. Pikirkanlah sebentar. Semua orang ingin bahagia, orang-orang yang kamu kenal dan mereka yang tidak kamu kenal, orang yang kamu sukai dan orang yang tidak kamu sukai. Orang yang baik, orang jahat, semua orang ingin bahagia dan semua orang dengan caranya masing-masing mencoba menjadi bahagia. Bahkan orang-orang yang melakukan hal buruk sering melakukan hal buruk itu sebagai upaya aneh untuk membuat diri mereka sendiri lebih bahagia. Itu hanya bagian sikap manusiawi.
Kalau
memperhitungkan faktor ini dalam hidupmu, kamu akan takjub melihat apa yang
bisa terjadi pada dirimu. Dari pada menjadi kesal atau merasa terganggu oleh
orang lain ketika mereka mengatakan atau melakukan hal-hal yang tidak kamu
sukai, kamu malah bisa mempertahankan sudut pandang dan selera humor sambil
tetap bersimpati
Kebahagiaan
menurut Ahmad Asy-Syarbashi3, merupakan
harapan terindah dalam kehidupan yang
selalu dihayalkan oleh setiap orang. Manusia selalu mencari kebahagiaan pada
setiap waktu dan tempat. Sebagian di antara
mereka
benar-benar menemukan, meskipun orang-orang yang bahagia sedikit sekali.
Sebagian yang lain telah diperdaya oleh buruk sangka dan telah dikalahkan oleh
kegelisahan. Mereka menghabiskan hidup mereka dengan keyakinan bahwa mereka
tercegah dari kebahagiaan dan bahwa penderitaan adalah bagian yang tak terpisahkan
dari mereka, padahal kebahagiaan ada di depan orang-orang yang lalai. Terdapat
perbedaan pendapat yang cukup tajam tentang batasan dan penentuan kebahagiaan.
Manusia
jika bebas dari belenggu hawa nafsu dan khayalan yang bohong serta angan-angan yang
berlebihan, dan ia menyadari bahwa kehidupan
tidak
murni berisi kebaikan namun perpaduan antara kebaikan dan keburukan, gerakan dan diam, kenyamanan, dan
keletihan, sehat dan sakit, kekuatan dan
kelemahan,
maka ia akan mengetahui jalan kebahagiaan dan akan berusaha mencapainya. Bisa saja ia
mencapainya dan menikmatinya di dunia suatu benda yang lebih berharga dari pada
kebahagiaan itu sendiri. Rumah, harta dan berbagai pesona dunia tidak dapat
menggantikan hakikat kebahagiaan. Tetapi manusia mampu mengenal kebahagiaan
sebagai sesuatu yang jauh dari kebinasaan atau ketidaknyamanan.
Ketika
seseorang terkena penyakit kronis, dan ia merasakan, lalu ia mulai mencari sebab-sebab yang
dapat menyembuhkannya, sehingga ia
mendapatkan
kesembuhan dan kesehatannya mulai pulih kembali, maka saat itu ia merasakan bentuk kesenangan setelah
sebelumnya ia merasakan kepayahan.
Ketika
manusia terkena kesempitan hidup yang cukup merisaukannya lalu ia berjuang sekuat tenaga
untuk mengatasinya, sehingga ia mampu
menyingkirkannya
dan ia menemukan kembali kedamaiannya, maka saat itu ia
juga
merasakan kebahagiaan. Jika seseorang memiliki suatu tujuan yang ingin dicapainya,
kemudian ia mencurahkan waktunya, hartanya, tenaga, dan pikirannya, bahkan ia
sampai bergadang tengah malam lalu ia pun mencapai tujuan yang diinginkan
tersebut, maka saat itu ia merasakan kedamaian dan ketenangan serta kebahagiaan
yang mengalir dalam jasmani dan rohaninya. Itu juga termasuk salah satu bentuk
kebahagiaan. Demikianlah bahwa setiap kali manusia berhasil melewati suatu
penderitaan atau mampu untuk mengatasi suatu kesulitan atau mampu menyingkirkan
suatu krisis, maka saat itu terwujudlah dihadapannya suatu kebahagiaan.
Menurut
Ahmad Asy-Syarbashi, bahwa kebahagiaan terwujud dengan jelas dalam pelaksanaan kewajiban.
Sebab, pelaksanaan kewajiban memiliki kenikmatan rohani yang tidak dapat
diketahui kecuali bagi orang yang mempunyai prinsip dalam kehidupan dan
berusaha memperjuangkannya. Terkadang saat engkau melaksanakan kewajiban,
engkau terkena kesulitan-kesulitan materi yang cukup banyak, namun engkau menganggapnya
kecil dan terkadang engkau malah menikmatinya karena ketenangan jiwamu,
kedamaian hatimu, keteguhan rohanimu, serta keluhuran hati nuranimu. Ketika
engkau bangkit untuk
melaksanakan
sesuatu yang menurut keyakinanmu sebagai suatu kewajiban, maka semua
penderitaan tersebut akan kau lupakan dan engkau akan dibawanya pindah ke taman
kebahagiaan yang mengagungkan, maka berusahalah untuk melepaskan diri dari
segala
penderitaanmu
dan laksanakanlah kewajibanmu dengan sabar niscaya engkau termasuk orang-orang
yang berbahagia.
Definisi
Kebahagiaan
Haji
Abdul Malik Karim Amirullah atau lebih dikenal dengan Hamka dalam bukunya Tasawuf
Modern banyak mengutip berbagai macam
pendapat
tentang definisi kebahagiaan dalam perspektif yang berbeda. Di antara pendapat
yang dikutipnya adalah pendapat Khalid al-Barmaky, Hutai’ah, Zaid bin Tsabit,
Ibnu Khaldun, Abu Bakar Ar-Razi dan Al-Ghazali.
Yahya
bin Khalid al-Barmaky, seorang wazir yang mashur di dalam Daulat Bani Abbas,
berpendapat bahwa kebahagiaan adalah sentosa
perangai,
kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar menuju maksud, sedangkan Hutai’ah dalam sebuah
syairnya ia menulis; “Menurut pendapatku
bukanlah
kebahagiaan itu pada mengumpulnya harta benda, tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia, taqwa akan
Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya
disimpan
pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para orang yang taqwa”.
Menurut
Zaid bin Tsabit kebahagiaan adalah jika petang dan pagi seorang manusia telah memperoleh aman dari
gangguan manusia itulah dia orang yang
bahagia.
Sedangkan Ibnu Khaldun berpendapat bahagia itu adalah tunduk dan patuh
mengikuti garis-garis Allah dan perikemanusiaan. Di sisi lain Abu Bakar Ar-Razi,
berpendapat bahagia yang dirasakan oleh seorang tabib, ialah jika ia dapat
menyembuhkan orang yang sakit dengan tidak mempergunakan obat, cukup dengan
mempergunakan aturan makan saja, sebagai wacana tambahan al-Ghazali berpendapat
bahagia adalah kelezatan yang sejati yaitu bilamana manusia dapat dengan tetap
mengingat Allah.
Ketahuilah
bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasa nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan
kelezatan itu ialah menurut tabiat
kejadian masing-masing, maka kelezatan ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga
mendengar suara yang merdu, demikian
pula segala anggota yang lain di tubuh manusia. Adapun kelezatan hati ialah
teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat
Tuhan. Tiap-tiap barang yang dahulunya
tiada dikenal oleh manusia, bukan buatan gembiranya
jika
telah dikenalnya. Tak ubahnya dengan orang yang baru pandai bermain catur, dia
tidak berhenti-henti bermain, meskipun telah dilarang berkali-kali, tidak sabar
hatinya kalau tidak bertemu dengan buah dan papan catur itu. Demikian pulalah
hati, yang dahulunya belum ada ma’rifatnya kepada Tuhannya, kemudian itu dia
mendapat nikmat mengenal-Nya, sangatlah gembiranya dan tidak sabar dia menunggu
masa akan bertemu dengan Tuhan itu, karena kelezatan mata memandang yang indah
tadi. Tiap-tiap bertambah
besar ma’rifat, bertambah pula besar kelezatan.
Konsep
kebahagiaan al-Ghazali secara garis besar bergantung pada tiga hal yaitu kekuatan amarah,
kekuatan syahwat dan kekuatan ilmu.
Ketiganya
harus ada pada posisi dan porsi seimbang, jangan berlebih-lebihan menurut kekuatan amarah, yang
menyebabkan mempermudah yang sukar dan
membawanya
pada penyesalan. Jangan pula berlebih-lebihan pada kekuatan syahwat, sehingga
membawa pada jati diri yang paradoks dan membawa kesia-siaan. Yang dibutuhkan
adalah keseimbangan antara kekuatan syahwat, dan marah, bila ini terjadi
luruslah jalan menuju Tuhan. Maka sangat perlunya
manusia
berjalan di tengah-tengah di antara tiga kekuatan itu. Jangan berlebihlebihan menurutkan
kekuatan marah, yang menyebabkan mempermudah yang sukar dan membawanya kepada
binasa. Jangan pula berlebih-lebihan pada kekuatan syahwat, sehingga menjadi
seorang yang humuq (pandir), yang membawa kerusakan pula. Maka jika
kekuatan syahwat dan marah itu ditimbang baik-baik dan diletakkan di
tengah-tengah luruslah perjalanannya menuju petunjuk Tuhan. Demikianlah pula
dari hal marah. Kalau kemarahan itu berlebihan dari yang mesti, hilanglah diri
dari perasaan cemburu dan hilang pula perasaan bertanggung jawab atas agama dan
keperluan hidup atas dunia.
Tetapi
kalau marah terletak di tengah-tengah, timbullah kesabaran, keberanian dalam perkara yang memerlukan
keberanian, dan segala pekerjaan dapatlah
dikerjakan
menurut hikmat.
Demikian
pula hanya dengan syahwat, kalau syahwat itu
bertambah-tambah,
terjadilah fasiq (melanggar perintah Alah). Kalau syahwat kurang terjadilah
kelemahan hati dan pemalas. Kalau
syahwat berjalan di tengah-tengah, timbullah ‘Iffah artinya dapat memerintah diri sendiri, dan qanaah,
yaitu cukup dengan apa yang
ada serta tidak berhenti berusaha.
Kata
beliau, “Di dalam batin engkau ada terkumpul beberapa sifat yang ganjil, serta kebinatangan,
sifat keganasan dan sifat malaikat.
Tetapi
dirimu yang sejati ialah nyawamu, rohmu. Hendaklah engkau tahu bahwa
sifat-sifat yang tersebut tadi bukan kejadian yang asli dari jiwamu, dia hanya
sifat-sifat yang mendatang kemudian. Sebab itu hendaklah engkau perhatikan
baik-baik dan ketahui pula makanan apakah yang setuju dengan sifat-sifat tadi, untuk
mencapai bahagia.
Kebahagiaan
sifat kebinatangan ialah makan, minim, tidur dan sebagainya.
Kalau engkau dimasuki oleh sifat kebinatangan itu lebih dari pada ukuran yang
mesti, tentu engkau hanya bersungguh-sungguh memikirikan makan, dan minum saja.
Deskripsi
di atas adalah kajian tentang definisi kebahagiaan dilihat dari sudut pandang religiusitas
berikut ini akan dikaji definisi kebahagiaan
dengan
sudut pandang yang berbeda, yaitu dengan paradigma filosofis yang menyajikan pemikiran dari
Puspoprojo, Aristoteles yang mewakili filsafat klasik
dan Louis O.Kattsoff.
Kebahagiaan
dalam perspektif Puspoprojo adalah keinginan yang terpuaskan
karena disadari memiliki sesuatu yang baik secara lebih spesifik ia memfokuskan pendapatnya pada konsep
seseorang dapat merasa puas dan pasti
mampu membatasi keinginan-keinginannya dengan membuat kompromi yang bijaksana,
tetapi
ada satu hal penting yang menurutnya perlu diberi perhatian
khusus adalah bahwa kepuasan jasmani semata bukanlah kebahagiaan. Sebenarnya hanya
mahkluk yang berakal budi saja yang benarbenar dapat bahagia. Sebab hanya
merekalah yang dapat merenungkan keadaanya, menyadari, serta mengerti kepuasan
yang mereka alami.
Kebahagiaan
adalah keadaan subjektif yang menyebabkan seseorang merasa dalam dirinya ada kepuasan
keinginannya dan menyadari dirinya memiliki
sesuatu
yang baik. Keadaan semacam itu hanya ada dalam sesuatu yang mampu merenungkan
dirinya dan sadar akan dirinya, yaitu makhluk yang berakal budi.
Kebahagiaan
tidaklah sama dengan kegembiraan atau kesenangan. Kebahagiaan
adalah suatu keadaan yang berlangsung (a lasting condition) dan bukanlah suatu perasaan atau emosi
yang berlalu. Secara umum boleh jadi seseorang merasa bahagia meskipun ia
sedang menderita kesedihan, demikian pula seseorang yang mengalami
ketidakbahagiaan yang kronis juga bisa mengenal saat-saat gembira. Juga
kebahagiaan bukanlah suatu disposisi atau sikap jiwa yang riang gembira,
meskipun tidak disangkal bahwa hal-hal tersebut bisa menolong ke arah
kebahagiaan. Sebab sebagian orang dapat memiliki perilaku demikian meskipun
dalam menghadapi kekecewaan.
Seseorang
itu merasa bahagia dengan sempurna karena ia secara utuh memiliki yang baik dan
sempurna. Kebahagiaan sempurna itu datang dan sepenuhnya memuaskan segala
keinginan kita, sedangkan kebahagiaan disebut tidak sempurna apabila tidak
memuaskan semua keinginan kita atau, andaikata dapat memuaskan semua keinginan,
tetapi tidaklah memuaskan keinginan dengan sepenuhnya. Guna menghindari
kekacauan, hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh di sini bahwa filsafat
moral memandang kebahagiaan kodrati saja (natural happiness).
Kebahagiaan
kodrati adalah pemuasan segala hasrat yang termasuk dan muncul dari kodrat telanjang
manusia (man’s bare nature). Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan
bukanlah suatu perolehan untuk manusia dan corak bahagia itu lain-lain dari
berbagai ragam, menurut corak dan ragam orang yang mencarinya. Kadang-kadang
sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak demikian oleh orang lain,
sebab kebahagian merupakan suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang
menurut kehendak masing-masing.
Ia
juga berpendapat bahwa bahagia itu bukan mempunyai arti dari satu kejadian, melainkan berlainan coraknya
menurut tujuan masing-masing manusia.
Bahagia adalah tujuan akhir tiap-tiap manusia. Pendapat
Aristoteles ini akan semakin beda apabila dipadukan dengan pendapat Hendrik
Ibsen,
yang
secara mendasar ia frustasi dan kecewa dengan realitas bahagia ini. Hendrik
berpendapat bhawa mencari bahagia itu hanya menghabiskan umur, karena jalan
untuk menempuhnya sangat tertutup. Setiap usaha untuk melangkah ke sana
senantiasa memperoleh kecewa, karena mulamula orang yang menujunya menyangka
bahwa perjalanan telah dekat, tetapi secara nyata sangat jauh. Menurutnya,
manusia belum pernah mencapai bahagia sebab setiap jalan yang ditempuh
menjauhkan jalan manusia kepadanya.
Pendapat
Hendrik Ibsen ini kontraproduktif dengan Leo Tolsyoy, secara mendasar ia
berargumen bahwa yang menjadi sebab
manusia
putus asa di dalam mencari bahagia ialah karena bahagia itu diambilnya untuk dirinya sendiri
bukan untuk bersama. Padahal segala
bahagia
yang diborong untuk sendiri itu mustahil berhasil karena bahagia semacam itu
selalu mengganggu kebahagiaan orang lain. Orang lain yang terganggu akhirnya
responsif jika ia tersinggung dan berusaha mempertahankan diri oleh sebab itu
bukan lagi menuntut bahagia memberi keuntungan, tetapi memberi kerugian
bersama, pendapat Tolstoy ini mendapat pengakuan dari Bertrand Russel dan
George Bernard Snaw.
Louis
O.Kattsoff mengkaji kebahagiaan ini dikorelasikan dengan etika. Diawal kajiannya ia
memperkenalkan istilah teknik. Suatu ajaran yang mendasarkan diri pada suatu
tujuan terakhir dinamakan ajaran teologis, sedangkan sebuah teori yang
mengajarkan bahwa perbuatan-perbutan kesusilaan berusaha mencari serta
menemukan kebahagiaan atau kenikmatan dikatakan bersifat teologis. Yang namanya
tujuan dapat berupa apa saja.
Tujuan
dapat pula dimisalkan berupa keselamatan abadi dan suatu teori yang memberi titik berat pada kenikmatan
atau kebahagiaan dikatakan bersifat
hedonistik.
Hedonisme
adalah suatu teori yang mengatakan bahwa kenikmatan atau akibat-akibat yang
nikmat dalam dirinya sudah mengandung kebaikan. Dalam usaha memilah-milah
berbagai corak hedonisme menurutnya perlu secara hati-hati dibedakan antara
teori yang mengatakan bahwa manusia dalam kenyataannya mencari kenikmatan
(Hedonisme Psikologis) dengan prinsip
yang mengatakan bahwa manusia seharusnya mencari kenikmatan (Hedonisme Etnis),
juga orang mungkin berpendirian seharusnya yang kita usahakan ialah kebahagiaan
yang sebesar-besarnya bagi diri sendiri (Hedonisme Egoistik) atau dengan
pandangan yang mengatakan bahwa satusatunya prinsip kesusilaan ialah
kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi seluruh manusia (Hedonisme
Utilitarianisme atau Altruistis).